Konten dari Pengguna

Tren #KaburAjaDulu: antara Pelarian, Self-Healing, dan Kapitalisasi Industri

AMALIA AZMI SITORUS
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Pamulang
24 Februari 2025 11:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AMALIA AZMI SITORUS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan mudik naik pesawat. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan mudik naik pesawat. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi lahan subur bagi tren-tren baru yang mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Salah satu tren yang sedang naik daun adalah #KaburAjaDulu, sebuah frasa yang menggambarkan keinginan banyak orang untuk "kabur" dari rutinitas dan tekanan hidup sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Tren ini semakin relevan di era pasca-pandemi, di mana banyak orang mengalami burnout, ketidakpastian ekonomi, serta tekanan sosial yang semakin meningkat, bahkan mungkin hopeless dengan keadaan di negara sendiri.
Namun, fenomena ini juga mengundang berbagai pertanyaan: Apakah #KaburAjaDulu benar-benar solusi atau hanya sekadar pelarian sementara? Bagaimana dampaknya terhadap individu, masyarakat, dan industri pariwisata?

Fenomena #KaburAjaDulu: Antara Pelarian dan Kebutuhan

Sejak pandemi COVID-19 melanda, banyak orang mulai merasa jenuh dengan rutinitas yang monoton. Work from home (WFH) yang awalnya dianggap sebagai solusi fleksibel, dalam praktiknya justru menimbulkan batas yang semakin kabur antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan meningkatnya tekanan pekerjaan, stres akibat ketidakpastian ekonomi, serta kehidupan sosial yang masih dalam masa pemulihan, banyak orang mencari cara untuk melepaskan diri dari realitas yang penuh tekanan. Dari sinilah #KaburAjaDulu menjadi populer.
ADVERTISEMENT
Namun, ada dua sisi dari tren ini. Di satu sisi, bepergian ke tempat baru bisa menjadi cara untuk "reset" mental dan emosional. Psikolog sering menyarankan bahwa perubahan lingkungan dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, dan memberikan perspektif baru. Di sisi lain, jika dilakukan secara impulsif tanpa menyelesaikan masalah yang mendasarinya, tren ini bisa berubah menjadi bentuk pelarian yang tidak sehat.
Banyak yang memilih untuk bepergian ke tempat-tempat eksotis atau ke negara lain. Sebagian orang merasa lebih baik setelah bepergian, namun tak sedikit yang kembali dengan perasaan kosong karena masalah yang mereka coba tinggalkan masih ada. Dengan demikian, penting untuk memahami apakah #KaburAjaDulu dilakukan sebagai bagian dari self-care atau sekadar mekanisme coping sementara.
ADVERTISEMENT

Kapitalisasi Industri Pariwisata: Antara Peluang dan Eksploitasi

Tren ini tentu saja disambut baik oleh industri pariwisata yang selama pandemi mengalami keterpurukan. Seiring dengan dibukanya kembali destinasi wisata, berbagai agen perjalanan, hotel, dan maskapai penerbangan berlomba-lomba menawarkan paket liburan bertemakan "healing" atau "escape." Istilah seperti "workation" (bekerja sambil berlibur) dan "self-healing trip" menjadi jargon pemasaran yang menarik bagi kalangan milenial dan Gen Z.
Namun, di balik itu semua, ada sisi kapitalisasi yang perlu diwaspadai. Konsep "self-healing" yang seharusnya bersifat personal dan reflektif kini dikomodifikasi menjadi produk konsumtif. Harga tiket pesawat dan akomodasi melonjak, terutama di destinasi populer seperti Bali, Labuan Bajo, dan Raja Ampat. Tak jarang, tekanan sosial di media sosial membuat orang merasa perlu untuk ikut serta dalam tren ini, meskipun kondisi keuangan mereka belum tentu memungkinkan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini juga berdampak pada aspek keberlanjutan. Lonjakan wisatawan dalam waktu singkat dapat menyebabkan overtourism, yang berujung pada degradasi lingkungan dan eksploitasi tenaga kerja di sektor pariwisata. Alih-alih benar-benar menjadi pengalaman penyembuhan, banyak perjalanan justru berubah menjadi sumber stres baru karena biaya yang tinggi, jadwal perjalanan yang padat, dan ekspektasi sosial yang tidak realistis.

Dampak Sosial: Meningkatkan Kesejahteraan atau Sekadar FOMO?

Di era digital, eksistensi seseorang sering kali diukur dari seberapa menarik kehidupan mereka di media sosial. Tren #KaburAjaDulu memunculkan fenomena FOMO (Fear of Missing Out), di mana orang merasa tertinggal jika tidak ikut serta dalam gelombang perjalanan yang sedang viral. Media sosial dipenuhi dengan unggahan foto dan video dari destinasi eksotis, lengkap dengan caption inspiratif tentang "me time" dan "self-love."
ADVERTISEMENT
Sementara bagi sebagian orang perjalanan ini memang memiliki dampak positif, bagi yang lain, tren ini justru menimbulkan tekanan sosial. Mereka yang tidak mampu secara finansial atau memiliki keterbatasan waktu sering kali merasa minder atau bahkan depresi karena merasa "tertinggal." Hal ini mencerminkan bagaimana media sosial bisa menciptakan ilusi kebahagiaan yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
Di sisi lain, ada aspek positif dari tren ini, terutama dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup. Dalam masyarakat yang semakin kompetitif, #KaburAjaDulu mengingatkan bahwa istirahat bukanlah bentuk kemalasan, melainkan kebutuhan. Namun, penting untuk membangun narasi yang lebih inklusif, di mana "kabur" tidak selalu berarti bepergian jauh atau menghabiskan banyak uang. Istirahat bisa berupa staycation di dalam kota, menghabiskan waktu di alam terbuka yang dekat, atau sekadar melakukan aktivitas yang menyenangkan di rumah.
ADVERTISEMENT

Tren yang Bertahan atau Hanya Musiman?

Seperti tren lainnya, #KaburAjaDulu kemungkinan akan mengalami evolusi seiring waktu. Saat ini, tren ini masih didorong oleh dampak kelelahan sosial yang berkepanjangan. Namun, dalam jangka panjang, beberapa faktor akan menentukan apakah tren ini akan bertahan atau hanya menjadi fenomena sesaat.
Pertama, faktor ekonomi akan berperan besar. Jika kondisi ekonomi semakin sulit dan biaya perjalanan terus meningkat, masyarakat mungkin akan lebih selektif dalam melakukan perjalanan. Kedua, perubahan pola kerja juga mempengaruhi tren ini. Jika perusahaan mulai menerapkan kebijakan kerja yang lebih fleksibel, konsep "workation" dan perjalanan jangka pendek bisa menjadi gaya hidup baru. Ketiga, kesadaran akan keberlanjutan dan dampak lingkungan dari perjalanan akan semakin menentukan cara masyarakat merespons tren ini.
ADVERTISEMENT

Kabur, Tapi Jangan Lupa Pulang

Tren #KaburAjaDulu mencerminkan kebutuhan manusia modern untuk mencari keseimbangan dalam hidup yang semakin cepat dan penuh tekanan. Bepergian dapat menjadi bentuk self-care yang positif jika dilakukan dengan kesadaran penuh, namun juga bisa menjadi bentuk pelarian yang kurang sehat jika hanya dilakukan untuk menghindari masalah.
Dalam menghadapi tren ini, penting untuk memiliki perspektif yang seimbang. Jika ingin "kabur," pastikan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada kebutuhan yang sebenarnya, bukan sekadar tekanan sosial atau impulsivitas. Selain itu, penting juga untuk tidak melihat healing sebagai sesuatu yang hanya bisa dicapai melalui perjalanan mahal ke tempat eksotis. Kadang-kadang, "kabur" bisa berarti sekadar mengambil jeda, merenung, dan menemukan kembali kebahagiaan dalam hal-hal sederhana di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, #KaburAjaDulu bisa menjadi langkah awal untuk menemukan kembali diri sendiri. Tapi setelah "kabur," pastikan kita juga siap untuk pulang bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan mental.