Invasi Irak Tahun 2003: Sudut Pandang dari Amerika Serikat

Azra Zerlina Haryati
International Relations freshman student at Universitas Islam Indonesia.
Konten dari Pengguna
7 Januari 2023 13:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azra Zerlina Haryati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: https://pixabay.com/images/id-1034467/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: https://pixabay.com/images/id-1034467/
ADVERTISEMENT
Berakhirnya Perang Dingin pada 1991 melahirkan sistem politik internasional yang bersifat unipolar yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet dan menjadikan Amerika Serikat (AS) paling berkuasa sebagai satu-satunya negara super power di dunia. Untuk membuktikan eksistensinya, AS selalu muncul dalam urusan politik internasional. Walaupun terkadang dalam merealisasikannya memakan banyak korban tak bersalah.
ADVERTISEMENT
Dunia dikejutkan oleh peristiwa hancurnya menara kembar WTC (World Trade Center) oleh pesawat Boeing 767 pada pagi 11 September 2011 (Mahally, 2003). AS menuduh tragedi ini adalah tindakan para teroris. Irak menjadi negara sasaran tuduhan AS karena diketahui menyimpan senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction).
Pada 19 Maret 2003, AS di bawah kepemimpinan George W. Bush menyatakan perang pada Irak dengan meluncurkan serangan militer. Hal ini dikarenakan Irak mengabaikan ultimatum dari AS yang meminta Presiden Irak Saddam Hussein turun dari jabatannya. Invasi ini bertujuan untuk membebaskan dunia dari ancaman terorisme. Dalam pidato kenegaraan pada 29 Januari 2002 Bush menyebutkan bahwa Irak, Iran, dan Korea Utara adalah poros kejahatan (Axis of Evil) karena mereka mempersenjatai diri dan mendukung terorisme dunia.
ADVERTISEMENT
Konflik AS-Irak ini akhirnya dikenal sebagai Perang Teluk III. Perang Teluk III ini memicu kontroversi bagi seluruh masyarakat internasional karena invasi ini adalah pelanggaran dari doktrin just war. Perang ini juga bukan perang yang adil karena faktor penyebab dari invasi AS ke Irak dinilai terlalu dibuat-buat.
Secara umum, terdapat empat motif utama penyebab Invasi ke Irak. Faktor pertama ialah AS menganggap Irak memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal (Weapons of mass destruction) pasca kejadian 9/11 yang menimpa AS. Menanggapi ini PBB membentuk tim inspeksi senjata pemusnah massal untuk Irak yang bernama UNMOVIC (United Nations for Monitoring, Verification, and Inspection Commission) yang diketuai Hans Blix untuk menginvestigasi kepemilikan senjata tersebut.
ADVERTISEMENT
Alasan yang kedua adalah invasi Irak dianggap sebagai pembebasan bagi rakyat Irak dari rezim otoriter Saddam Hussein yang saat itu digambarkan sebagai salah satu diktator mengerikan di dunia. Pemerintah AS dan koalisinya memutuskan untuk memulai intervensi militer sebagai Operation Iraqi Freedom atau Operasi Pembebasan Irak. Menurut Bush, operasi pembebasan Irak akan memberikan kesempatan pada warga Irak untuk menikmati kebebasan dan kemakmuran ala AS.
Ancaman terorisme yang ditimbulkan oleh Saddam Hussein menjadi suatu pembenaran bagi AS untuk menginvasi Irak. Pemerintahan Bush meyakini bahwa invasi ke Irak adalah perang melawan terorisme. Pasca serangan 9/11, semua strategi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS memasuki ke fase baru. Donald Rumsfeld yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS mendukung menggunakan militer untuk menyingkirkan Saddam Hussein. Akibatnya, Bush mengumumkan akan penggunaan angkatan bersenjata sebagai reaksi atas serangan 9/11 untuk melawan Afghanistan dan Irak.
ADVERTISEMENT
Faktor penyebab ketiga adalah adanya aliansi antara AS-Israel. Keberadaan Irak yang mendominasi Timur Tengah saat itu menjadi ancaman bagi eksistensi Israel. Apabila AS berhasil menjatuhkan Saddam Hussein dan melemahkan pengaruh Irak di Timur Tengah, akan menjadi kesempatan bagi Israel untuk membentuk ulang kebijakan strateginya di Kawasan Timur Tengah khususnya permasalahan dengan Palestina.
Faktor alasan keempat yaitu berkaitan dengan cadangan minyak di Kawasan Teluk. Dalam invasi ini, AS memiliki kepentingan nasionalnya tersendiri secara tersirat yaitu untuk menguasai minyak di kawasan Teluk dan Irak. Mengingat Irak memiliki cadangan minyak yang besar dan cadangan minyak AS hanya sekitar 0,3% dari cadangan minyak dunia, sedangkan konsumsinya mencapai 23%.
Serangan AS terhadap Irak berlangsung dengan adanya kesenjangan kekuatan persenjataan dari kedua pihak. Jumlah pasukan dan persenjataan AS lebih unggul dibandingkan Irak. Dalam invasi ini, AS dibantu oleh sekutunya yaitu, Inggris dan Australia mengirim lebih dari 250.000 tentara. Invasi AS ke Irak hanya memakan waktu 43 hari yang berakhir pada 9 April 2003 dan ditandai dengan berhasilnya pasukan AS menguasai Kota Baghdad dan tumbangnya patung dari Saddam Hussein.
ADVERTISEMENT