Strategi Menuju Indonesia Emas 2045: Pembangunan Berkeadilan Ala Ekonomi Islam

Azrul Afrillana Awaludin
Mahasiswa S2 Sains Ekonomi Islam, Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
13 Maret 2024 5:59 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azrul Afrillana Awaludin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meskipun terdapat ketidakpastian global dan konflik geopolitik yang meresahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan yang positif dengan pencapaian kumulatif sebesar 5,05 persen pada kuartal ketiga tahun 2023, seperti yang diumumkan oleh Kementrian keuangan RI melalui website resminya. Meskipun diakui sebagai pencapaian yang baik yang mencerminkan kekuatan perekonomian Indonesia di tengah gejolak global, angka tersebut masih belum cukup untuk menghindarkan Indonesia dari jebakan middle-income trap.
ADVERTISEMENT
Para pengamat menyoroti bahwa untuk keluar dari jebakan middle income trap diperlukan pertumbuhan ekonomi minimal sebesar 6–7%. Oleh karena itu, upaya yang lebih besar dan strategis dibutuhkan untuk melewati tantangan middle-income trap dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Di era pemilu saat ini, para calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) untuk tahun 2024 mulai menawarkan berbagai janji terkait pembangunan ekonomi. Pasangan calon nomor 01 menargetkan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 5,5 hingga 6,5%, sementara pasangan calon nomor 02 menetapkan target pertumbuhan ekonomi sekitar 6–7%. Sementara itu, pasangan calon nomor 03 optimis dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.
Meskipun janji-janji ini tentu saja memberikan harapan dan optimisme, kritik terhadap cara mereka mencapai target tersebut juga perlu dikritisi. Mengingat bahwa konflik seringkali muncul antara agenda pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan keadilan lingkungan.
ADVERTISEMENT

Pertumbuhan Semu

Proses pembangunan ekonomi yang hanya memperhatikan aspek ekonomi hanya akan melahirkan angka-angka pertumbuhan yang tidak mencerminkan kondisi lapangan. Proses pembangunan tanpa memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan cenderung tidak berkelanjutan. Sebuah contoh yang menunjukkan dampak negatif dari pendekatan tersebut adalah program hilirisasi yang dilakukan tanpa pertimbangan yang matang terhadap dampak sosial dan lingkungan.
Laporan dari JATAM dan liputan dari Watchdoc Documentary mengungkapkan bahwa daerah sentra hilirisasi nikel mengalami dampak yang merugikan bagi warga sekitarnya. Banyak dari mereka kehilangan ruang produksi, termasuk lahan pertanian, serta terjadi kerusakan lingkungan seperti deforestasi dan pencemaran laut, yang pada akhirnya juga mengganggu kesehatan masyarakat setempat.
Kerusakan lingkungan di area pertambangan nikel. Foto: JATAM
Kondisi paradoks juga terjadi di daerah hilirisasi nikel, di mana pertumbuhan ekonomi meningkat namun diiringi dengan peningkatan angka kemiskinan. BPS mencatat bahwa di Sulawesi Tengah, misalnya, pertumbuhan ekonomi secara kumulatif mencapai 12,69% pada tahun 2023. Namun, angka kemiskinan juga meningkat sekitar 0,11 poin persentase, dari 12,30% menjadi 12,41%. Fenomena serupa juga terlihat di daerah-daerah sentra nikel lainnya seperti Sulawesi Selatan dan Maluku Utara.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi kritik bagi pemerintah saat ini dan pemerintah yang akan datang. Melakukan pembangunan untuk mengejar pertumbuhan memanglah bagus. Namun, pembangunan harus berorientasi pada manusianya sebagaimana yang dilakukan oleh Korea Selatan pasca perang 1950. Karena jika tidak, pembangunan hanya akan menyebabkan ketimpangan yang secara empiris dapat mengurangi kebahagiaan individual, sebagaimana hasil penelitian yang ditulis oleh (Izzati dan Yusuf, 2018) yang berjudul "Inequality and happiness: A panel data analysis for Indonesia". Pratikno (1998) juga memperingatkan dalam artikelnya yang berjudul "Keretakan Otoritarianisme Orde Baru dan Prospek Demokratisasi" agar tidak menggunakan alasan pembangunan sebagai alasan untuk menindas rakyat.

Keseimbangan 3 Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Dalam proses pembangunan berkelanjutan, menjaga keseimbangan antara tiga pilar utama, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, menjadi suatu keharusan. Meskipun demikian, konflik sering muncul ketika mencoba menyeimbangkan ketiganya. Gagasan bahwa terdapat trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan telah lama diutarakan oleh Simon Kuznets. Trade-off ini dianggap tidak dapat dihindari pada tahap awal pembangunan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, konsep pro-poor growth muncul sebagai suatu bentuk antitesis terhadap trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Pendekatan ini menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak hanya diukur dengan Indeks Produk Domestik Bruto (PDB) semata, tetapi juga dengan sejauh mana pertumbuhan tersebut mampu mengurangi tingkat kemiskinan di kalangan masyarakat miskin. Pro-poor growth menitikberatkan pada keberlanjutan ekonomi yang inklusif dengan cara meningkatkan akses terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Dengan memprioritaskan perhatian pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, pendekatan pro-poor growth memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang sehat dapat dicapai. Ini membuka jalan untuk pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, mengarah pada peningkatan kesejahteraan secara menyeluruh dalam masyarakat.
Selain itu, trade off juga terjadi antara pertumbuhan dengan lingkungan. Ada anggapan bahwa untuk mencapai pertumbuhan maka seringkali lingkungan menjadi korban. Sebagai contoh, hilirisasi nikel dianggap dapat menumbuhkan perekonomian, tapi di sisi lain sangat merusak lingkungan. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Arief Anshory dari Universitas Padjajaran memaparkan bahwa keruskan lingkungan yang disebabkan proses pembangunan akan mempengaruhi kapasitas pertumbuhan perekonomian. Oleh karena itu, maka aneh jika mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Green economy menjadi antitesis trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Di tengah eskalasi krisis iklim, green economy semakin menjadi sorotan karena mampu menghadapi tantangan tersebut secara holistik. Konsep ini merefleksikan suatu sistem ekonomi yang tidak hanya memprioritaskan pertumbuhan, tetapi juga memusatkan perhatian pada keberlanjutan, efisiensi sumber daya, dan pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan.
Di akhir orasinya, Prof. Anshori menegaskan bahwa trade-off antara pertumbuhan, keadilan, dan lingkungan adalah sesuatu yang dapat diatasi. Meskipun tantangan tersebut nyata, masih ada banyak opsi untuk menanggulanginya, termasuk melalui perumusan instrumen kebijakan yang tepat oleh pemerintah.

Pembangunan Ala Ekonomi Islam

Orientasi Pembangunan dalam Islam terdiri dari 3 hal pokok: 1) Berorientasi pada manusia, 2) Berorientasi pada maslahat, dan 3) Berorientasi pada falah. Islam menekankan bahwa pembangunan harus memprioritaskan kesejahteraan manusia. Namun, hal tersebut tidak menafikan pentingnya pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan infrastruktur tetap dianggap penting, tetapi pembangunan infrastruktur tersebut harus memberikan manfaat nyata bagi manusia. Jangan sampai dalam sebuah pembangunan malah merampas dan menindas hak manusia. Islam menentang perampasan terhadap hak-hak manusia sekalipun atas nama pembangunan.
ADVERTISEMENT
Orientasi kedua pembangunan dalam Islam adalah maslahat, yang merujuk pada kebaikan bersama. Dalam konteks ini, pembangunan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu atau sarat dengan kepentingan pribadi ditegur dalam ajaran Islam. Landasan utama pembangunan yang berorientasi pada maslahat adalah keadilan, yang menjadi penyangga untuk mencegah terjadinya ketidaksetaraan dalam proses pembangunan.
Terakhir, orientasi ketiga adalah falah, kemenangan hakiki di dunia dan akhirat. Pembangunan dalam Islam tidak hanya mempertimbangkan aspek dunia semata, melainkan juga memandang aspek akhirat. Setiap tindakan dalam proses pembangunan diharapkan sesuai dengan ridha Allah sebagai Sang Pemilik segalanya.

Pendekatan Pembangunan Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun adalah cendekiawan Islam yang ahli dalam banyak disiplin ilmu. Karena keahliannya yang lintas disiplin, Ibnu Khaldun menwarakan pendekatan pembangunan yang lintas disiplin yang komprehensif. Menurut Ibnu Khaldun, berjalan atau tidaknya sebuah pemangunan tidak hanya cukup dengan memperhatikan variabel-variabel ekonominya saja, melainkan juga variabel lain seperti moral, psikologis, politik, dan sosial.
ADVERTISEMENT
Model Ibnu Khaldun dapat diringkas menjadi 8 prinsip atau yang biasa disebut dengan kalimat hikamiyyah yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Hubungan antar variabel pembangunan menurut Ibnu Khaldun. Foto: Umer Chapra, "The future of economics: An Islamic perspective"
G : Negara
S : Syariah
N : Sumber daya insani
W : Kekayaan
j : Keadilan
g : Pembangunan
Secara singkat, Ibnu Khaldun menyampaikan bahwa semua komponen pembangunan bersifat saling terkait (interdependen). Baginya, pembangunan tidak terbatas pada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan mencakup seluruh aspek pembangunan manusia. Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menekankan bahwa pembangunan tidak dapat berjalan tanpa keberadaan unsur keadilan.

Pendekatan Pembangunan As-Syaitibi

Dalam konteks ekonomi konvensional, fokus utama pembangunan adalah efisiensi, yang diartikan sebagai pengoptimalan sumber daya dengan penekanan pada nilai materi. Namun, perspektif pembangunan dalam Islam, terutama yang dikembangkan oleh As-Syaitibi berdasarkan maqashid syariah, memiliki pendekatan yang berbeda. As-Syaitibi menyajikan model pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Dalam konsep ini, pembangunan tidak hanya berkaitan dengan aspek materi, tetapi juga harus mampu mempromosikan dan menjamin pertumbuhan spiritualitas masyarakat.
Pembangunan berdasarkan Maqashid Syariah As-Syaitibi
As-Syaitibi menekankan lima hal pokok yang harus dicapai dalam pembangunan, yaitu hifz din (perlindungan terhadap agama), hifz nafs (perlindungan diri), hifz aql (perlindungan akal), hifz nasl (perlindungan keturunan), dan hifz maal (perlindungan harta). Dalam pandangan ini, setiap proses pembangunan yang menghalangi pencapaian maqashid dianggap sebagai kesia-siaan atau inefisiensi. Jika dalam ekonomi konvensional efisiensi sering terkait dengan optimalisasi sumber daya materi, dalam model pembangunan As-Syaitibi, efisiensi diukur dari sejauh mana tujuan-tujuan syariah tercapai, termasuk aspek spiritual dan moral di dalamnya.
ADVERTISEMENT

Prinsip Pembangunan Islam Sebagai Solusi

Nilai yang dibawa Islam dalam Pembangunan adalah keadilan. Keadilan secara sederhana diartikan “tidak zalim dan mendzolimi”. Oleh karena itu, proses pembangunan yang mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan aspek keadilan sangat ditentang dalam Islam. Sejalan dengan pro-poor growth, Chapra mengungkapkan bahwa trade off antara pertumbuhan dan pemerataan adalah sebuah mitos. Justru pemerataan yang lebih besar akan mampu mendorong pertumbuhan yang lebih cepat.
Selain itu, trade off antara pertumbuhan dan lingkungan adalah mitos. Mengejar pertumbuhan dengan mengorbankan lingkungan secara ugal-ugalan malah akan mempengaruhi kapasitas perekonomian untuk tumbuh. Jika dalam ekonomi konvensional muncul istilah green economy, maka dalam Islam ada fiqh al-Biah yang dicetuskan Yusuf Qaradhawi yang menekankan penjagaan lingkungan dalam proses pembangunan, mengingat Islam adalah agama yang ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Penting bagi pemerintah Indonesia untuk tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Jika tujuan jangka panjang diinginkan, maka pembangunan harus didasarkan pada prinsip keadilan, baik dari segi sosial maupun lingkungan. Pembangunan tidak hanya sebatas isu saat ini, tetapi juga menjadi pertimbangan untuk masa yang akan datang.