Konten dari Pengguna

Kepemimpinan Perempuan dan Keunggulannya di Masa Pandemi

Azzahra Fanny Nurhaliza
Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
19 Juni 2021 9:38 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azzahra Fanny Nurhaliza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
designed by slidesgo (Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
designed by slidesgo (Freepik)
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan pada hakikatnya merupakan suatu konsep yang bersifat kontekstual karena setiap individu memiliki karakteristik yang mengarah pada suatu perilaku dan persepsi yang berbeda-beda. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa terdapat pola-pola tertentu yang mencirikan gaya kepemimpinan seseorang berdasarkan gender mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, kepemimpinan perempuan memiliki ciri tertentu yang identik dengan feminist ethics and values dan dapat dipahami melalui tindakan-tindakan berupa keterikatan emosional dan interpersonal, seperti kepedulian, kemanusiaan, inklusivitas, dan empati. Namun, dalam realitasnya nilai-nilai feminin tersebut kerap dianggap sebagai titik kelemahan perempuan dan dapat dijadikan sebagai alat untuk menindas perempuan dalam dunia politis yang dominan akan nilai-nilai ‘maskulinitas’.
Di sisi lain, beberapa publikasi pers popular saat ini justru melaporkan bagaimana organisasi modern membutuhkan tipe kepemimpinan ‘feminin’ yang menjadi keunggulan dari kepemimpinan perempuan. Hal ini karena pemimpin perempuan dianggap lebih mampu untuk mengadopsi gaya kolaboratif yang diikuti dengan feminine values, sedangkan kepemimpinan laki-laki cenderung hanya mengarah pada tindakan berupa command-and-control serta penegasan kekuasaan (Paustian-Underdahl et.al, 2014).
ADVERTISEMENT
Selain itu, perempuan juga dianggap memiliki kemampuan komunikasi, umpan balik, serta dapat menjadi penampung aspirasi yang baik untuk organisasinya (Leslie, 2013). Dalam hal ini, pemimpin perempuan dinilai lebih berkualitas dalam aspek people skill, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan kepekaan terhadap orang lain, bersikap baik, keterampilan untuk mendengarkan, serta kemampuan untuk mengembangkan hubungan yang efisien dengan para pengikutnya.
Kecenderungan Gaya Kepemimpinan Perempuan
Jika dilihat dari gaya kepemimpinannya, salah satu gaya yang dianggap lebih banyak dimiliki oleh pemimpin perempuan adalah gaya kepemimpinan transformasional, di mana pemimpin cenderung mendukung, mengembangkan, serta berorientasi pada perubahan dan pemikiran yang inovatif (Yukl, 2013). Selain itu, pemimpin dengan gaya transformasional cenderung memiliki karakteristik untuk memotivasi, menginspirasi, serta mampu membangkitkan semangat organisasi. Adapun hubungan yang terbentuk antara pemimpin transformasional dengan para pengikutnya ditandai dengan adanya rasa kebanggaan dan rasa hormat, di mana para pengikutnya akan membanggakan loyalitas mereka terhadap pemimpinnya (Bass, 2008).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, pemimpin perempuan cenderung memiliki gaya transformasional karena melalui gaya ini mereka dapat menggunakan kemampuan relasional dan interpersonal mereka untuk memperoleh legitimasi maupun memotivasi pengikutnya dalam menghadapi proses perubahan.
Kepemimpinan Perempuan di Masa Pandemi
Berdasarkan kecenderungan perilaku dan gaya kepemimpinannya, para pemimpin perempuan dianggap dapat menyelesaikan suatu tantangan atau keadaan krisis dengan lebih baik. Salah satu isu terkait hal ini yang sedang ramai diperbincangkan adalah bagaimana para pemimpin dunia menghadapi keadaan krisis akibat pandemi Covid-19. Jika diamati berdasarkan jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19, penanganan yang cenderung lebih baik dan teratasi lebih cepat justru terjadi di negara-negara yang dipimpin oleh perempuan.
Hal ini misalnya dapat dilihat dari penanganan Covid-19 di Selandia Baru, Norwegia, Denmark, Islandia, dan St. Maarten di mana seluruh negara yang dipimpin oleh seorang perempuan tersebut berhasil mengendalikan Covid-19 dengan baik. Hal yang serupa juga terjadi di Amerika Serikat, di mana negara-negara bagian yang dipimpin oleh perempuan memiliki tingkat kematian akibat Covid-19 yang cenderung lebih rendah dibandingkan negara bagian yang dipimpin oleh laki-laki (Zenger dan Folkman, 2020).
ADVERTISEMENT
Sebagai buktinya, Selandia Baru di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Jacinda Ardern hingga saat ini hanya mencapai 2,711 kasus, di mana 26 di antaranya merupakan kasus kematian dan 2,662 kasus lainnya telah pulih (Our World in Data, 2021). Hal yang serupa juga terjadi di St. Maarten di bawah kepemimpinan PM Silveria Jacobs dan Islandia di bawah kepemimpinan PM Katrin Jakobsdottir yang berhasil menekan angka kematian akibat Covid-19, di mana hingga saat ini tercatat sebanyak 32 kasus di St. Marteen dan 29 kasus di Islandia. Selain itu, Norwegia di bawah kepemimpinan PM Erna Solberg juga dikatakan dapat menekan jumlah kematian lebih baik dibandingkan dengan mayoritas negara lain, yaitu sebanyak 789 kasus kematian (Our World in Data, 2021).
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diperkuat dari hasil berbagai analisis ilmiah yang menunjukkan bahwa beberapa pemimpin perempuan di dunia telah berhasil “meratakan kurva”, mengurangi efek buruk dari pandemi, serta menunjukkan tingkat kematian akibat Covid-19 yang enam kali lebih rendah dari negara-negara yang dipimpin oleh laki-laki (Windsor et al., 2020).
Berdasarkan berbagai klaim positif tersebut, faktor apa yang sebenarnya mendukung keberhasilan para pemimpin perempuan dalam menangani situasi pandemi?
Dalam hal ini, para ahli berpendapat bahwa pemimpin perempuan dapat mengelola keadaan krisis dengan baik karena mereka memiliki political double-bind (peran ganda) antara tindakan yang ‘maskulin’ dan ‘feminin’ (Burns & Kattelman, 2017). Hal ini karena dalam kepemimpinannya, perempuan dituntut untuk dapat bertindak tegas layaknya seorang pemimpin yang dicirikan dengan stereotip maskulinitas dan di sisi lain perempuan memiliki sifat-sifat alami yang berkaitan dengan feminitias (seperti empati dan kepedulian).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kehadiran pemimpin perempuan yang memiliki double bind tersebut dapat menjadi keunggulan di masa pandemi. Hal ini karena situasi yang terjadi menuntut adanya tindakan tegas untuk menerapkan protokol kesehatan, sekaligus tindakan empati untuk lebih memahami dan menenangkan masyarakat agar tidak timbul kepanikan yang berlebih.
Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Windsor et al. (2020) terkait kepemimpinan gender di masa pandemi, terdapat beberapa alasan terkait mengapa pemimpin perempuan dapat lebih baik dalam mengelola pandemi. Pertama, adanya sifat-sifat feminin, seperti kepedulian, ketulusan, dan pengayoman yang berdampak pada kebijakan-kebijakan yang fokus pada aspek kesehatan, keamanan, serta edukasi masyarakat terkait pandemi.
Tindakan ini salah satunya ditunjukkan oleh PM Norwegia, Erna Solberg, yang mengadakan konferensi pers khusus anak-anak untuk membantu mereka memahami tantangan pandemi dan berempati pada rasa takut mereka. Selain itu, adapun Jacinda Ardern yang berinovasi untuk melakukan siaran Live Facebook secara informal dengan menggunakan pakaian rumah biasa sekaligus menawarkan bimbingan kepada masyarakat di tengah lockdown.
ADVERTISEMENT
Melalui tindakan tersebut, Solberg dan Ardern memosisikan diri mereka seperti masyarakat biasa yang sama-sama merasa khawatir dalam menghadapi pandemi dan diselingi dengan memberikan edukasi kepada masyarakat. Dalam hal ini, tidakan-tindakan tersebut bukan hanya menunjukkan rasa empati dan kepedulian, namun dapat pula digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat dapat mematuhi protokol yang ada dengan tertib.
Di sisi lain beberapa pemimpin pria, seperti Donald Trump, mendapatkan kritikan atas kegagalan kepemimpinan ‘maskulinnya’ karena berupaya menunjukkan citra seorang pemimpin yang kuat dengan menggambarkan penanganan pandemi sebagai perang melawan “musuh tidak terlihat” yang datang dari negara komunis (Johnson dan Williams, 2020), di mana hal ini justru dapat memicu ujaran kebencian terhadap etnis tertentu. Selain itu, beberapa pemimpin pria lainnya, seperti Johnson, Xi Jinping, dan Jair Bolsonaro juga kerap mendapatkan kritikan dari media yang melabeli mereka sebagai self-intereseted leader yang menunjukkan kepemimpinan yang ‘sembrono’ karena ketidakpedulian dan inkompetensi mereka dalam menghadapi pandemi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, terdapat alasan berikutnya yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan perempuan yang cenderung bersifat transformasional dan memilih strategi melalui tindakan pencegahan untuk mengatasi pandemi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan diberlakukannya kebijakan-kebijakan tegas sebelum Covid-19 menyebar luas, seperti dengan menutup perbatasan, memberlakukan early lockdown, serta penerapan skema four-level Covid-19 alert system yang diterapkan oleh PM Jacinda Ardern untuk menilai tingkat risiko infeksi virus. Hal tersebut dilakukan karena pemimpin perempuan dianggap lebih menghindari risiko saat membuat suatu keputusan (Verge et al., 2015), sehingga mereka lebih memilih untuk bertindak cepat daripada harus menanggung risiko kesehatan masyarakat.
Kemudian, alasan berikutnya berkaitan dengan kemampuan komunikasi para pemimpin perempuan yang dianggap penuh kasih serta dapat dirasakan dan dipahami oleh masyarakat, sehingga mereka dapat merasa lebih tenang dan aman di tengah situasi pandemi. Hal ini salah satunya dilakukan oleh Kanselir Jerman, Angela Merkel, yang dapat memaparkan bagaimana tingkat penyebaran infeksi dengan sangat jelas dan diikuti dengan mengkomunikasikan politik empatinya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain beberapa ahli berpendapat bahwa sebenarnya bukan hanya faktor gender yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Tetapi, terdapat pula aspek lain terkait kondisi negara yang dipimpin dalam hal kemampuan ekonomi, luas wilayah, maupun jumlah penduduk yang mempengaruhi efektivitas seorang pemimpin dalam menangani situasi pandemi yang terjadi. Selain itu, ada pun pemimpin-pemimpin pria yang juga mampu menangani kasus Covid-19 di negaranya dengan baik, seperti Perdana Menteri Vietnam Phạm Minh Chính, Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, serta Perdana Menteri Australia Scott Morrison, di mana ketiga pemimpin tersebut mampu membawa negaranya ke dalam peringkat 10 besar negara terbaik dalam penanganan Covid-19 (Dziedzic, 2021).
Namun, untuk dapat meningkatkan efektivitas penanganan Covid-19, para pemimpin di dunia (terlepas dari apa gender mereka) sebenarnya dapat pula mengadaptasi dan menerapkan gaya kepemimpinan dan strategi-strategi yang dilakukan oleh para pemimpin perempuan yang telah berhasil dalam penanganan Covid-19. Sehingga, jumlah kasus dan tingkat kematian pun dapat terkendali dengan baik.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Aldrich, A. S., & Lotito, N. J. (2020). Pandemic performance: women leaders in the Covid-19 crisis. Politics & Gender, 1-9.
Azanella, L. A. (2020). 9 Pemimpin Perempuan Dunia Ini Dinilai Sukses Atasi Krisis Covid-19 di Negaranya. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/26/164500565/9-pemimpin-perempuan-dunia-ini-dinilai-sukses-atasi-krisis-covid-19-di?page=all.
Bass, B. M., & Bass, R. (2008). The Bass Handbook of Leadership (4th ed.). Free Press.
Burns C., & Kattelman K. (2017). Women Chief Executives: The Political Catch-22 of Counterterrorism. Contemporary Voices: St Andrews Journal of International Relations, 8(2).
Dziedzic, S. (2021). Selandia Baru dan Vietnam Jadi Negara yang Dianggap Terbaik Dalam Menangani COVID-19. Artikel ABC News. Diakses dari https://www.abc.net.au/indonesian/2021-01-29/daftar-negara-yang-dianggap-tangani-covid-dengan-baik/13102810
Eagly A. H., Johannesen-Schmidt M. C., & Van Engen M. L. (2003). Transformational, transactional, and laissez-faire leadership styles: A meta-analysis comparing women and men. Psychological Bulletin, 129(4), 569. pmid:12848221
ADVERTISEMENT
Gipson, A. N., Pfaff, D. L., Mendelsohn, D. B., Catenacci, L. T., & Burke, W. W. (2017). Women and leadership: Selection, development, leadership style, and performance. The Journal of Applied Behavioral Science, 53(1), 32-65.
Johnson, C., & Williams, B. (2020). Gender and Political Leadership in a Time of COVID. Politics & Gender, 16(4), 943-950.
Leslie, J. B. (2013). Feedback to managers: A guide to reviewing and selecting multi-rater instruments for leadership development (No. 1001). Center for Creative Leadership.
Paustian-Underdahl, S. C., Walker, L. S., & Woehr, D. J. (2014). Gender and perceptions of leadership effectiveness: A meta-analysis of contextual moderators. Journal of applied psychology, 99(6), 1129.
Pullen, A., & Vachhani, S. J. (2020). Feminist ethics and women leaders: From difference to intercorporeality. Journal of Business Ethics, 1-11.
ADVERTISEMENT
Radu, C., Deaconu, A., & Frasineanu, C. (2017). Leadership and gender differences: Are men and women leading in the same way. Contemporary leadership challenges, 63.
Silva, D. A. C. S., & Mendis, B. A. K. M. (2017). Male vs female leaders: Analysis of transformational, transactional & laissez-faire women leadership styles. European Journal of Business and Management, 9(9), 19-26.
Verge, Tània, Marc Guinjoan, and Toni Rodon. (2015). Risk Aversion, Gender, and Constitutional Change. Politics & Gender 11 (3): 499–521.
Windsor, L. C., Yannitell Reinhardt, G., Windsor, A. J., Ostergard, R., Allen, S., Burns, C., ... & Wood, R. (2020). Gender in the time of COVID-19: Evaluating national leadership and COVID-19 fatalities. PloS one, 15(12), e0244531.
ADVERTISEMENT
Yukl, G. (2013). Leadership in organizations (8th ed.). Pearson Education, Inc
Zenger, J., & Folkman, J. (2020). Research: Women are better leaders during a crisis. Harvard Business Review.