Melibatkan Perspektif Perempuan dalam Desain Layanan Transportasi Publik

Azzahra Fanny Nurhaliza
Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Desember 2021 10:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azzahra Fanny Nurhaliza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Ketut Subiyanto dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Ketut Subiyanto dari Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jemilah Magnusson, seorang juru bicara dari Institute for Transportation and Development Policy itu mengungkapkan hal tersebut karena banyaknya aspek dari transportasi publik yang tidak mendukung ‘keberadaan’ penumpang wanita.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa aspek. Pertama, berkaitan dengan lemahnya upaya penyedia layanan untuk menegakkan keamanan dan keselamatan perempuan dalam transportasi publik. Keamanan dan keselamatan ini umumnya berkaitan dengan tingginya tingkat pelecehan seksual yang terjadi di lingkup transportasi publik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman terhadap 38.766 perempuan di 34 provinsi, diketahui bahwa hampir 50% perempuan yang menjadi responden pernah mengalami pelecehan seksual di dalam transportasi publik, baik secara verbal maupun fisik (BBC News, 2019). Selain itu, penelitian sebelumnya dari Hollaback Jakarta yang dilakukan terhadap lebih dari 60.000 responden juga menunjukkan data bahwa 19% kasus pelecehan seksual dilakukan di lingkup transportasi publik (IBCWE, 2020). Tingginya kasus tersebut, mengindikasikan sistem keamanan transportasi publik yang belum optimal untuk dapat melindungi penumpang perempuan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bentuk ketidakpekaan terhadap persepsi perempuan dalam penggunaan transportasi publik juga berkaitan dengan pola perjalanan penumpang perempuan yang berbeda dengan laki-laki, di mana kebutuhan mobilitas perempuan cenderung lebih heterogen dan kompleks dibandingkan laki-laki yang mayoritas menggunakan transportasi publik hanya untuk mengakses tempat kerja (Chadha dan Ramprasad, 2017).
Penumpang perempuan kerap menggabungkan mobilitas yang berkaitan aktivitas ‘rumah tangga’ dengan pekerjaannya, sehingga menciptakan suatu fenomena bernama trip-chaining di mana penumpang perempuan melakukan perjalanan pendek, melakukan banyak transit, dan sering menggunakan lebih dari satu jenis transportasi (Halais, 2020). Pola trip-chaining tersebut dilakukan karena perempuan menggunakan transportasi publik untuk melakukan beragam kegiatan dalam satu hari, seperti mengantarkan anak-anak ke sekolah, pergi ke kantor, pergi berbelanja, dan kembali ke rumah yang mana kegiatan tersebut membutuhkan perjalanan dan penggunaan jenis transportasi yang berbeda (Scheuner dan Holz-Rau, 2015)
ADVERTISEMENT
Dalam fenomena tersebut, yang menjadi permasalahan adalah belum optimalnya penyediaan fasilitas pendukung untuk memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan angkutan. Di sisi lain, minimnya penyediaan fasilitas pendukung perempuan juga berdampak pada kebiasaan perjalanan lainnya yang dilakukan oleh perempuan, yaitu membawa anak-anak dan barang yang lebih banyak ke dalam transportasi publik (Aloul et al., 2018). Hal tersebut akhirnya semakin menyulitkan mobilitas para penumpang perempuan untuk naik-turun angkutan ataupun melakukan perpindahan moda transportasi.
Beberapa permasalahan tersebut, menunjukkan bahwa kualitas layanan yang diberikan oleh para penyedia transportasi publik masih belum merata bagi semua kalangan, terutama perempuan. Padahal, perempuan merupakan mayoritas pengguna transportasi publik secara global (Zhen, 2021). Selain itu, di Indonesia, fakta tersebut juga diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan oleh McKinsey yang menunjukkan bahwa perempuan Indonesia memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menggunakan transportasi publik dibandingkan laki-laki yang lebih sering diutamakan untuk menggunakan kendaraan pribadi (IBCWE, 2020).
ADVERTISEMENT
Jika dikaitkan dengan teori kualitas layanan, dapat dikatakan terdapat banyak aspek yang telah ‘terabaikan’ dalam layanan transportasi publik. Salah satu teori yang dapat digunakan adalah teori SERVQUAL yang diperkenalkan oleh Parasuraman (1985), di mana teori tersebut mencakup lima aspek utama yang juga berkaitan dengan permasalahan penumpang perempuan dalam penggunaan transportasi publik.
Pertama, terdapat aspek tangible, di mana kualitas layanan transportasi publik dapat dikukur dari layanan berbentuk fisik yang dapat dilihat, misalnya berkaitan dengan sarana-prasaran dari suatu layanan. Dalam konteks ini, masih banyak fasilitas transportasi publik yang belum mampu secara optimal menyediakan kebutuhan bagi penumpang perempuan. Misalnya, dalam hal prasarana penunjang keamanan dari potensi pelecehan seksual, seperti kamera CCTV serta tombol darurat yang belum banyak tersedia. Hal tersebut salah satunya dibuktikan dari layanan KRL Jabodetabek yang hanya menyediakan minimal satu buah CCTV per rangkaian kereta yang terdiri dari 8 hingga 10 gerbong (Hardiansyah, 2021). Terlebih lagi, pihak PT KCI juga mengaku bahwa CCTV yang mereka gunakan memiliki resolusi yang tidak jelas dan belum sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum. Sedangkan, untuk layanan TransJakarta, pihak penyedia baru merencanakan untuk menambah CCTV di dalam kabin bus di tahun 2021 (Hutasuhut, 2021). Bahkan, perencanaan tersebut hanya dimaksudkan untuk memantau kinerja pengemudi, sehingga CCTV baru akan diletakkan di bagian depan kabin.
ADVERTISEMENT
Hal yang serupa juga terjadi dalam penyediaan sarana penunjang aktivitas trip-chaining dan sarana pendukung bagi penumpang yang membawa anak-anak. Aktivitas yang umumnya dilakukan oleh para penumpang perempuan tersebut, seharusnya dapat ditunjang dengan ketersediaan tangga berjalan atau lift serta tempat pemberhentian transportasi publik yang berjarak dekat atau bahkan terintegrasi dengan layanan moda transportasi lainnya. Namun, pada kenyataannya masih banyak halte, stasiun, dan tempat pemberhentian angkutan lainnya yang belum menyediakan fasilitas tersebut, salah satunya layanan TransJakarta yang baru menyediakan 6 halte dengan fasilitas lift atau eskalator (Rudi, 2017).
Selanjutnya, terdapat aspek reliability yang mengukur kualitas layanan transportasi publik dari keandalan pihak penyedia dalam memberikan layanan, misalnya dalam hal penanganan masalah secara tepat. Dalam hal ini, berbagai penyedia layanan transportasi publik dikatakan belum dapat diandalkan dalam penanganan kasus pelecehan seksual yang hingga kini terus terjadi bahkan di masa pandemi Covid-19 (Hutasoit, 2020), di mana orang-orang telah melakukan jaga jarak fisik. Selain itu, hasil investigasi yang dilakukan oleh The Globe and Mail juga menunjukkan bahwa masih sangat sedikit penyedia layanan transportasi yang mempertimbangkan aspek gender saat melakukan pendataan pengguna transportasi publik terkait keamanan (Halais, 2020). Sehingga, penyedia layanan belum dapat mendesain solusi yang jelas terkait permasalahan ini.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berkaitan dengan aspek selanjutnya, yaitu responsiveness yang mengukur kualitas layanan transportasi publik dari daya tanggap penyedia layanan dalam menghadapi penumpang, seperti aspirasi dan kebutuhan penumpang. Jika dilihat dari banyaknya sarana yang belum responsif terhadap aspek gender, maka dapat dikatakan bahwa layanan transportasi publik belum cukup tanggap terhadap kebutuhan para penumpang perempuan. Bentuk ketidaktanggapan tersebut lagi-lagi berkaitan erat dengan isu perlindungan terhadap pelecehan seksual, di mana isu ini kerap diabaikan dan tidak ditindak dengan jelas. Dalam hal ini, hasil investigasi yang dilakukan oleh The Globe and Mail juga menunjukkan bahwa banyak penyedia layanan yang menganggap isu terkait pelecehan seksual adalah tanggung jawab dari pemerintah setempat, sehingga mereka kerap tidak mendata kasus yang terjadi (Halais, 2020).
ADVERTISEMENT
Hal tersebut juga diperkuat dengan kasus yang terjadi di KRL Jabodetabek, di mana pada tahun 2017 diketahui bahwa dari seluruh kasus pelecehan seksual yang dilaporkan kepada pihak PT KCI, tidak ada satupun yang dilanjutkan ke pihak berwajib (Alaidrus, 2019). Dalam hal ini, Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa hal tersebut akhirnya membuat para korban enggan untuk melapor karena dampaknya seringkali dianggap sebagai hal biasa dan tidak dapat dipidanakan.
Di sisi lain, kasus pelecehan seksual yang terjadi di KRL Jabodetabek tersebut juga dapat dikaitkan dengan aspek yang selanjutnya, yaitu empathy yang mengukur kualitas layanan transportasi publik dari rasa empati atau perhatian kepada pengguna layanan (Dwiyanto, 2008). Dalam hal ini, pihak KRL Jabodetabek juga pernah mendapatkan kritikan keras akibat ketidakseriusannya dalam menanggapi kasus pelecehan seksual. Dalam kasus tersebut, diketahui bahwa seorang korban pelecehan di dalam gerbong KRL mendapatkan respons yang tidak mengenakan dari oknum petugas yang meminta korban untuk “melapor polisi saja” dan mengatakan bahwa korban harus memiliki bukti (Putranto, 2021). Kejadian tersebut bukan hanya menunjukkan bahwa pihak penyedia layanan tidak tanggap, namun juga menunjukkan tidak adanya rasa empati kepada penumpang perempuan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, terdapat aspek terakhir, yaitu assurance yang mengukur kualitas layanan transportasi publik dari kemampuan penyedia layanan dalam memberikan kepercayaan kepada pengguna. Dalam hal ini, meskipun jumlah penumpang perempuan dalam transportasi publik cenderung tinggi, namun beberapa penelitian menujukan bahwa perempuan ‘terpaksa’ untuk melakukan kebiasaan tertentu karena mereka belum percaya sepenuhnya terhadap layanan yang diberikan, khususnya dalam hal keamanan. Penumpang perempuan umumnya meletakkan tas di antara mereka dengan penumpang laki-laki, meminta pergantian tempat duduk, membayar lebih untuk mengosongkan tempat duduk di sebelahnya, menghindari tempat pemberhentian tertentu, atau bahkan hanya menggunakan transportasi publik jika ditemani oleh orang lain untuk menjaga keselamatan mereka (Halais, 2020).
Berkaitan dengan hal tersebut, dari hasil wawancara mendalam kepada pengguna transportasi publik di Jakarta, BBC News (2019) menemukan fakta bahwa penumpang perempuan ‘dituntut’ untuk selalu dalam posisi waspada ketika berada dalam transportasi publik. Terlebih lagi, Kementerian Perhubungan juga memaparkan bahwa regulasi terkait pencegahan pelecehan seksual di transportasi publik juga belum optimal (BBC News, 2019) dan membuat penyedia layanan belum mendapatkan kepercayaan seutuhnya dari para penumpang perempuan terkait isu tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan analisis dimensi SERVQUAL terkait pemenuhan kebutuhan penumpang perempuan di atas, maka ironis apabila penyedia layanan dan pemerintah terus mengabaikan perspektif perempuan dalam mendesain layanan transportasi publik. Namun, dalam realitasnya, pertimbangan gender dalam perencanaan dan kebijakan layanan transportasi publik memang masih merupakan hal yang baru dan bahkan hingga saat ini dikatakan belum ada prosedur terkait inklusi gender yang sistematik untuk layanan transportasi publik (Aloul et al., 2018). Akibatnya, tidak tersedia protokol baku serta tindakan bagi mereka yang mengabaikan aspek pertimbangan gender dalam mendesain sistem layanan transportasi publik.
Dalam hal ini, perempuan akhirnya ‘dipaksa’ untuk menerima sistem yang sebenarnya tidak didesain dengan melibatkan perspektif mereka, di mana masyarakat pun kini menganggap normal apabila perempuan harus menghindari perjalanan malam, mempersiapkan tindakan defensif, dan bahkan harus mengenakan pakaian tertentu untuk menggunakan layanan transportasi publik. Selain itu, berbagai tantangan yang ditemukan perempuan dalam penggunaan transportasi publik juga akhirnya menghambat mereka untuk mengakses sekolah, universitas, dan tempat bekerja yang seharusnya menjadi tempat mereka untuk berkembang.
ADVERTISEMENT
Padahal, transportasi publik berkaitan dengan peluang ekonomi kaum perempuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aloul et al. (2018), diketahui bahwa transportasi umum merupakan aspek penting yang berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam perekonomian dan 47% responden yang diteliti mengaku bahwa tantangan yang dihadapi perempuan dalam mengakses transportasi publik memiliki pengaruh terhadap kesempatan mereka untuk memasuki dunia kerja. Dalam hal ini, rendahnya responsivitas gender dalam layanan transportasi publik dapat memberikan efek terhadap partisipasi ekonomi bagi perempuan.
Maka, untuk dapat mengatasi hal tersebut, salah satu hal utama yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam jabatan pengambilan keputusan di lembaga penyedia transportasi publik maupun instansi pemerintah yang bergerak di bidang transportasi. Hal ini diperlukan karena permasalahan yang ada tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya pemahaman yang tepat dari sudut pandang perempuan sendiri sebagai pihak yang terlibat dalam penyelesaiannya. Dalam hal ini, kurangnya partisipasi perempuan dalam sektor transportasi publik membuat visibilitas perspektif perempuan menjadi rendah dan akhirnya menyebabkan pemenuhan kebutuhan bagi pengguna perempuan menjadi tidak jelas (Chadha & Ramprasad, 2017).
ADVERTISEMENT
Selain itu, partisipasi perempuan juga perlu ditingkatkan dalam sektor pekerjaan terkait transportasi publik, misalnya sebagai kondektur, pengemudi angkutan, petugas tiket, petugas keamanan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dikatakan dapat membuat perempuan untuk lebih merasakan inklusivitas dari layanan yang diberikan sekaligus memberikan kenyamanan lebih kepada penumpang perempuan yang membutuhkan bantuan dari para petugas tersebut.
Kemudian, desain layanan transportasi publik dengan mempertimbangkan perspektif pengguna perempuan juga tentu berkaitan dengan peningkatan perlindungan keselamatan. Berdasarkan gagasan yang diajukan oleh Asian Development Bank (2015), disebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk dapat menciptakan desain layanan transportasi publik yang peka terhadap perlindungan pengguna perempuan, yaitu dengan cara:
ADVERTISEMENT
Melalui penerapan berbagai upaya tersebut, layanan transportasi publik diharapkan dapat lebih responsif terhadap aspek gender yang pada dasarnya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kenyamanan dan keselamatan para pengguna perempuan dengan melibatkan perspektif mereka ke dalam desain layanan transportasi publik.
REFERENSI
Alaidrus, F. (2019). Pelecehan Seksual di KRL Nyata: Kenapa Kebanyakan Penumpang Diam? Artikel Tirto. https://tirto.id/pelecehan-seksual-di-krl-nyata-kenapa-kebanyakan-penumpang-diam-djic
Aloul, S., Naffa, R., & Mansour, M. (2019). Gender in Public Transportation: A Perspective of Women Users of Public Transportation.
Asian Development Bank. (2015). A safe public transportation environment for women and girls. Mandaluyong City. Philippines: Asian Development Bank.
BBC News Indonesia. (2019). Ribuan perempuan dilecehkan di transportasi umum, 'saya harus selalu waspada setiap naik kereta dan bus'. Artikel BBC Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50570430
ADVERTISEMENT
Chadha, J., Ramprasad, V. (2017). Why it is Key to Include Gender Equality in Transport Design. Artikel The City Fix.
Dwiyanto, A. (2021). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. UGM PRESS.
Halais F. (2020). Making Public Transit Fairer to Women Demands Way More Data. Artikel Wired. https://www.wired.com/story/making-public-transit-fairer-to-women-demands-data/
Hardiansyah, A. (2021). PT KCI Akui Langgar Aturan Terkait CCTV di KRL. Artikel Kabar Penumpang. https://www.kabarpenumpang.com/malu-malu-pt-kci-akui-langgar-aturan-terkait-cctv-di-krl/
Hutasoit, L. (2020). Pelecehan Perempuan di Transportasi Umum Masih Terjadi saat Pandemik. Artikel IDN Times. https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/pelecehan-perempuan-di-transportasi-umum-masih-terjadi-saat-pandemik
Hutasuhut, Y., Nurmansyah, R. (2021). Tambah CCTV, TransJakarta Pantau Kinerja Sopir, Kecepatan Maksimal 50 Km/Jam. Artikel Suara Jakarta. https://jakarta.suara.com/read/2021/12/04/160845/tambah-cctv-transjakarta-pantau-kinerja-sopir-kecepatan-maksimal-50-kmjam?page=all
Indonesia Business Coalition for Women Empowerment. (2020). Perempuan Pekerja dan Permasalahan Transportasi di Jakarta. Artikel IBCWE. https://www.ibcwe.id/event/dets/34
ADVERTISEMENT
Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1985). A conceptual model of service quality and its implications for future research. Journal of marketing, 49(4), 41-50.
Putranto, W., G. (2021). Admin Twitter Commuterline Dinilai Tak Sopan saat Dapat Laporan Pelecehan Seksual, KAI Minta Maaf. Artikel Tribun News. https://m.tribunnews.com/nasional/2021/06/05/admin-twitter-commuterline-dinilai-tak-sopan-saat-dapat-laporan-pelecehan-seksual-kai-minta-maaf?page=2
Rudi, A. (2017). Hanya 6 Halte di Koridor XIIl yang Dilengkapi Lift atau Eskalator. Artikel Kompas. https://megapolitan.kompas.com/read/2017/01/30/15200611/hanya.6.halte.di.koridor.xiil.yang.dilengkapi.lift.atau.eskalator
Scheiner, J., & Holz-Rau, C. (2017). Women’s complex daily lives: a gendered look at trip chaining and activity pattern entropy in Germany. Transportation, 44(1), 117-138.
Zhen, S. (2021). Rethinking Public Transportation for Women’s Safety and Security. Artikel Local Governments for Sustainability. https://sustainablemobility.iclei.org/rethinking-public-transportation-for-womens-safety-and-security/