Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Kajian Sosiologi Sastra Pada Novel "Bila Malam Bertambah Malam" Karya Putu. W
13 Juli 2024 15:02 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Azzahra Nurazizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SINOPSIS
Di Tabanan Bali, tinggal lah seorang janda tua, mantan istri seorang bangsawan yang meninggal saat perang. Janda tua itu biasa dipanggil ‘Gusti Biang’. Gusti Biang tinggal di sebuah puri bersama dengan pembantu nya yang sudah tua yang biasa di panggil ‘Wayan Tua’ dan puterinya bernama ‘Nyoman’. Mereka mengabdi kepada Gusti Biang di puri tersebut, karena mereka merasa punya hutang budi terhadap almarhum suami Gusti Biang. Nyoman dan Wayan sudah tinggal dan mengurus Gusti Biang selama 18 tahun lamanya. Akan tetapi, mereka selalu mendapat hinaan, cacian, dan makian setiap harinya. Gusti Biang merasa dirinya seorang bangsawan yang berhak untuk merendahkan orang lain termasuk seorang pembantu seperti Nyoman dan Wayan. Gusti Biang mempunyai satu anak laki-laki yang sedang berkuliah di pulau jawa. Anaknya bernama ‘Ratu Ngurah’.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, Nyoman memberikan obat kepada Gusti Biang yang sedang sakit. Tetapi, obat-obat itu dibuang dan Gusti Biang merasa kalua dirinya diberi racun oleh Nyoman. Dicacinya Nyoman dan di pukul menggunakan tongkat gading miliknya. Nyoman sudah tidak kuat lagi tinggal bersama Gusti Biang, karena hinaan, cacian, dan makian yang tiap hari ia terima. Nyoman dan Wayan akhirnya meninggalkan puri itu dan Gusti Biang. Selang beberapa waktu, Gusti Biang terkejut atas kepulangan anaknya. Ia sangat senang, karena ia merasa anaknya dapat melindunginya dibanding Wayan dan Nyoman. Gusti Biang teringat bahwa sebelum anaknya pergi merantau, ia memberikan cincin peninggalan almarhum ayahnya. Dilihatlah tangan anaknya dan tIdak ditemuinya cincin itu. Lantas, Gusti Biang mengatai anaknya durhaka karena tidak bisa menjaga barang yang berharga.
ADVERTISEMENT
Ratu Ngurah menyampaikan alas an mengapa ia memutuskan untuk pulang. Ia bermaksud ingin mengawinkan Nyoman. Setelah mendengar itu, Gusti Biang dengan sangat tegas dan yakin tidak merestui maksud dari Ratu Ngurah. Gusti Biang masih menjunjung tinggi nilai kebangsawanannya, bahwa ditolaknya restu Ratu Ngurah dan Nyoman Niti karena alasan perbedaan kasta antara mereka berdua. Ratu Ngurah pun meyakini ibunya itu, di zaman sekarang ini perbedaan kasta itu sudah tidak berlaku. Nilai moral bangsawan dengan zaman sekarang ini sangat bertentangan, sehingga alasan peebedaan kasta itu tidak benar diucapkan pada zaman sekarang ini.
Wayan bertemu dengan Ratu Ngurah. Wayan memerintahkan kepada Ratu Ngurah untuk mengejar cintanya. Tapi, kerjadian itu dilihat oleh Gusti Biang, sehingga diusirnya Wayan dari puri itu. Selang beberapa waktu, Wayan mengajak Ratu Ngurah untuk berbicara. Wayan menjelaskan semua kisah muda nya dengan jelas. Wayan memberitahu Ratu Ngurah bahwa ayah sejatinya adalah dirinya, bukan bangsawan yang telah meninggal itu dan memiliki 15 isteri. Selama ini, Gusti Biang berpura-pura tidak tahu siapa yang tidur dengannya. Alasan Wayan menghamba di puri ini bertahun-tahun karena cinta nya kepada Gusti Biang. Wayan tidak mau jika kisah cintanya yang terhalang kasta itu terulang pada masa muda Ratu Ngurah. Setelah mendengar itu, Gusti Biang merasa sangat malu dan merestui perkawinan RatuNgurah dengan Nyoman.
ADVERTISEMENT
TEORI SASTRA
Sapardi Djoko Damono mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang menyelidiki masyarakat secara menyeluruh, bukan hanya aspek tertentu, terutama yang berkaitan dengan interaksi dan hubungan antar individu. Sosiologi sastra sebagai cabang ilmu yang ketegoris, memfokuskan diri pada apa yang terjadi dalam sastra saat ini, bukan apa yang seharusnya terjadi. Dalam bukunya yang berjudul Theory of Literature, Reene Wellek dan Austin Warren (2014:100), mengungkapkan tiga jenis sosiologi sastra, yaitu: Sosiologi Pengarang, Soisologi Karya Sastra, Sosiologi Pembaca dan Dampak Sosial Karya Sastra.
a. Sosiologi Pengarang
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, sosiologi pengarang berkaitan dengan status social, ideologi sosial, dan aspek lain pengarang sebagai prosuder sastra. Soisologi pengarang dalam kaitannya dengan profesi pengarang dan organisasi sastra.
ADVERTISEMENT
Novel yang berjudul “Bilam Malam Bertambah Malam” ini di tulis oleh sastrawan asal Bali yang telah menghasilkan kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas dan kritik drama, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa dipanggil Putu Wijaya. Rampan, Korrie (2000:367) mengatakan bahwa Putu Wijaya adalah seorang pelukis, penulis drama, cerpen, esai, novel, scenario film dan sinetron yang lahir di Puri Anom Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Sejak kecil Putu Wijaya menyukai dunia sastra. Ia pun menulis cerpen pertamanya yang berjudul “Etsa”, dimana cerpen tersebut dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali.
Ketika Putu Wijaya duduk dibangku SMA, ia memainkan drama pertamanya. Dimana drama yang ia mainkan ia sutradarai sendiri dan dimainkan dengan kelompok yang ia dirikan di Yogyakarta. Selama 7 tahun ia tinggal di Yogyakarta, akhirnya ia pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan teater kecil, setelah itu ia melanjutkan dengan teater mandiri yang didirikan pada tahun 1971. Adapun konsep dari teater mandiri tersebut yaitu “Bertolak Dari Yang Ada”.
ADVERTISEMENT
b. Sosiologi Karya Sastra
Aspek sosiologi karya sastra yang dibahas dalam penelitian ini adalah isu social yang tercermin di dalam novel “Bila Malam Bertambah Malam”.
Adat Kebangsawanan
Dalam novel ini tokoh Gusti Biang masih sangat mengikuti adat kebangsawanan, diantaranya memandang perbedaan kasta. Karena Gusti Biang merasa dirinya dan keluarganya memiliki derajat yang berbeda dengan Nyoman dan Wayan Tua yang dianggap hanya sebagai pembantu di puri. Tetapi, Ratu Ngurah tidak mau mengikuti sikap kebangsawanan ibunya yang sombong, karena baginya zaman dahulu dengan zaman sekarang sangat bertolak belakang.
“Tidak! Semua itu hasutan! Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Darah kami keturunan Kesatria Kenceng, keturunan Raja-raja Bali yang tidak boleh dicemarkan oleh darah orang Sudra.” (Bila Malam Bertambah Malam: 81)
ADVERTISEMENT
“Sekarang cincin itu kau hilangkan.: katanya dengan sedih, “besok kehormatanmu akan kau hilangkan pula! Itulah sebabnya aku tidak rela melepasmu ke Jawa dulu. Di sana kau tidak akan bertambah baik, tapi bertambah buruk. Apa yang kau pelajari di sana, selain memboroskan uang belanja dan bermalas-malas. Rumah ini sudah bertambah bobrok karena tidak ada yang mengurus. Untung kau tidak membawa perempuan dari sana. Kalau kau bawa juga seperti Ngurah Purnama di Puri Anom, barangkali aku akan cepat mati. Kalau Cuma perawan, perawan macam apapun ada di sini. Kau tingal pilih saja, ibu akan meminannhya untukmu. Tetapi ku kira taka ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin daripada Sagung Rai diseluruh puri di Tabanan ini. Sejak kau tinggalkan, dia sudah bertambah besar dan cantik. Datanglah kesana besok, belikan dia oleh-oleh” (Bila Malam Bertambah Malam: 99).
ADVERTISEMENT
Menentang Keluarga Leluhur
Dalam novel ini, bagian ini menceritakan Ratu Ngurah yang pulang ke puri untuk meminta restu kepada ibunya agar bisa mengawini Nyoman Niti. Namun, medengar hal itu Gusti Biangs langsung menolak tujuan Ratu Ngurah, karena menganggap bahwa orang yang berdarah bangsawan dan tinggal di puri harus menikah dengan yang sederajat. Tapi, hal itu tidak membuat Ratu Ngurah menyerah akan cintanya. Ia terus berjuang, apapun akibatnya.
“Siapa yang menjadikan Sagung Rai itu lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi isteri tiyang? Karena derjat? Tiyang tidak pernah merasa diri tiyang lebih tinggi daripada orang lain. Kalau toh tiyang kebetulan dilahirkan di purian, dengan martabat sebagai bangsawan, itu cuma menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Tiyang harus pintar dan berkelakuan baik agar bisa menjadi teladan orang banyak sebab pandangan mereka semuanya tertuju kepada kita. Tidak ada yang lain-lain. Omong kosong semuanya.”(Bila Malam Bertambah Malam: 106)
ADVERTISEMENT
“Tanpa memperhatikan kesedihan janda itu, ia memuncakkan tujuannya sampai ke titik akhir. “Ibu,” katanya lagi dengan tetap, “tiyang akan kawin dengan Nyoman untuk membutkikan bahwa sekarang ini, soal kebangsawanan jangan dibesar-besarkan lagi, sehingga menghancurkan niat suci orang-orang muda. Ibu harus menyesuaikan diri dengan zaman. Kalau tidak, Ibu akan ditinggalkan orang dan masyarakat akan menertawakan Ibu!” (Bila Malam Bertambah Malam: 107)
Kekejaman
Dalam novel ini, kekejaman yang dilakukan oleh Gusti Biang kepada Wayan Tua dan Nyoman Niti sangatlah melewati batas. Sehingga, Wayan dan Nyoman telah habis kesabarannya untuk tinggal bersama janda tua itu, karena kekejaman penghinaan dan pencacian yang dilakukan Gusti Biang oleh mereka.
“Kau sendiri bertambah tolol dan penyakitan! Menghitung rusuk rumah saja kau tak pernah betul apalagi membaca huruf.” (Bila Malam Bertambah Malam: 14)
ADVERTISEMENT
“Nah, ongkos hidupmu selama hamper delapan belas tahun di sini bear-benar kelewat batas. Coba lihat di sini. Tahun enam puluh, misalnya, memecahkan kaca jendela, korupsi sabun, menghanguskan nasi, korupsi uang belanja dapur, dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa kali aku memanggil mantri untuk mengobatinya, membeli obat waktu dia sakit,. Banyak, banyak sekali. Kalau dijumlah semuanya dari tahun ke tahun, kira-kira berjumlah sepuluh juta. Itu belum ditambah dengan yang lain-lain yang lupa aku catat. Belum lagi ditambah dengan bunganya,” Kata Gusti Biang sambal menarik napas lega dan menanggalkan kacamatanya. Wayan ikut menarik napas dengan putus asa. “Piiih! Ini adalah perhitungan gila!” gumamnya dengan berlebih-lebihan. ( Bila Malam Bertambah Malam: 74).
ADVERTISEMENT
“Gusti Biang memperhatikan semua itu dengan khawatir. Nyoman membuka matanya, tersenyum mengukurkan obat itu dekat sekali. Gusti Biang menampar tangan Nyoman dengan tongkat gadingnya. Nyoman mengaduh dan tablet-tablet itu berjatuhan ke lantai. Kesempatan yang baik itu dipergunakan dengan cermat oleh Gusti Biang. Ia bangun dari kursinya, menghindar ke seberang meja, sambal terus juga mengangkat tangan itu dengan bengis.” (Bila Malam Bertambah Malam: 39)
Habisnya Batas Kesabaran
Dalam novel ini, bagian ini menceritakan tentang betapa sedih dan merasa terhina bagi Wayan Tua dan Nyoman Niti. Mereka juga manusia biasa yang jika dihina, dicaci, dimaki, secara terus menerus setiap hari tanpa henti, maka batas kesabarannya pun akan hilang. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk behenti mengabdi di puri itu dan pergi meninggalkan janda tua beserta purinya.
ADVERTISEMENT
“Sambil tangan kirinya memegangi dada, Gusti Biang memukul-mukulkan tongkat itu mengusir Nyoman. Myoman merasa terhina sekali. Ia membalikkan tubuhnya dan berkata dengan geram. “Tiyang akan pergi, ya tiyang akan pergi sekarang”. (Bila Malam Bertambah Malam: 42).
“Nyoman tegak di dekat tembok menghapus air mukanya. Katanya dengan tersedan, “Tak tiyang sangka, Gusti Biang sudah seberat ini? Tak tiyang sangka! Tiyang pergi sekarang ke desa, tak mau meladeni lagi!”. “Pergilah, leak! Aku sama sekali tak menyesal!” “Tiyang takkan Kembali-kembali lagi!”.
Dampak Sosial Karya Sastra Bagi Pembaca
Novel ini memiliki latar belakang yang cukup menarik, terutama tentang kehidupan masyarakat Bali. Masyarakat Bali masih banyak yang memegang erat adat kebangsawanan, sehingga mereka lupa akan perkembangan zaman yang mereka hadapi. Dilihat dari biografi penulis, bahwa penulis adalah orang yang berasal dari daerah Bali. Penulis novel ingin memberikan seputaran kehidupan masyarakat Bali di kalangan kaum bangsawan, dimana mereka tidak mempunyai hati Nurani yang baik. Mereka hanya memanfaatkan gelar keturunan leluhur nya.
ADVERTISEMENT
Dalam Novel ini juga memberitahu bahwa, setiap orang memiliki sisi kemunafikkan yang kian lama pasti akan terbongkar. Seperti halnya yang dialami Gusti Biang dalam tokoh di novel ini. Ia merasa dirinya adalah seorang bangsawan sehingga dapat berperiaku seenaknya terhadap siapa saja. Ternyata dibalik itu semua, ia mempunyai kenangan masa lalu yang kelama, dengan orang yang selama ini ia jahati. Maka dari itu, novel ini memberi pelajaran untuk para pembaca agar bersikap baiklah terhadap siapapun dan janganlah merasa tinggi karena perbedaan kasta dan derajat. Karena, orang jahat dan kejam akan mendapati balasan dari orang yang terhinanya. Bagi siapapun yang berbuat jahat, ia akan luluh hatinya jika disangkutkan dengan masa lalunya, dan membuat dirinya malu.
ADVERTISEMENT
SIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diamati, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Cerita yang ada di dalam novel Bila Malam Bertambah Malam merupakan latar penolakan masyarakat adat yang disekitar Tabunan, Bali. Masyarakat Bali Sebagian besar masih menjaga adat istiadat leluhurnya, sehingga hal tersebut membuat mereka buta akan kemajuan zaman. Di Bali mungkin hal tersebut masih menjadi hal yang wajar, tetapi jika disebar luaskan kepada masyarakat lain itu membuat banyak komentar negative yang diberikan untuk adat istiadat tersebut. Kembali lagi pada novel ini, bahwa novel ini terbit pada tahun 1971, yang memang mungkin di masa itu tidak hanya masyarakat Bali yang merasakan dampak kehidupan yang bersampingan dengan kehidupan para bangsawan. Sehingga pada masa itu novel ini menjadi sebuah kisah yang relate dengan kehidupan pada masa itu.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Nurfadilah, V. A. (2021). Kajian Sosiologi Sastra Dalam Novel Cermin Jiwa Karya S. Prasetyo Utomo. Jurnal Pustaka Indonesia: JPI, 151-158.
Wijaya, P. (1971). Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Jl. Kramat Raya No. 5 K, Jakarta 10450 Angoota IKAPI.