Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami Isu Low Fertility Melalui Lensa Filsafat dan Spiritualitas
5 Mei 2024 13:12 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Azzahra Ayudanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai penduduk di negara berkembang, rendahnya tingkat kelahiran mungkin menjadi isu yang tidak familiar bagi kita. Namun, tahukah kalian bahwa saat ini di negara-negara maju isu terkait rendahnya tingkat kelahiran menjadi permasalahan serius yang dialami oleh mereka. Rendahnya tingkat kesuburan (low fertility) merupakan permasalahan yang baerkaitan dengan isu penurunan tingkat kelahiran (baby bust) yang sangat penting untuk diperbincangkan dalam konteks pembangunan suatu negara. Fenomena ini terjadi di beberapa negara maju Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan China. Hal ini merupakan masalah yang serius karena akan memberikan dampak yang signifikan dalam berbagai aspek.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak utamanya adalah krisis populasi, penurunan tingkat fertility secara drastis dapat menyebabkan jumlah penduduk secara signifikan menurun. Hal ini tidak hanya mengakibatkan ketimpangan demografis, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial. Pertumbuhan ekonomi dapat terhambat karena kurangnya tenaga kerja produktif, sementara biaya untuk mendukung populasi lansia menjadi semakin tinggi.
"Lantas apakah yang menjadi penyebab mendasar permasalahan ini terjadi di negara maju Asia dan bagaimana dampak serta solusi yang dilakukan?"
Dampak Positif
Adanya krisis demografis yang dialami Korea Selatan akibat low fertility sebenarnya tidak semata-mata buruk. Isu tersebut mendorong pemerintah untuk semakin meningkatkan kebijakan sosial dengan merencanakan berbagai strategi untuk mengatasinya. Pemerintah Korea Selatan sendiri memberikan dukungan bagi warganya yang berminat untuk menikah dan memiliki anakⁱ. Pemerintah Korea Selatan diketahui telah menghabiskan lebih dari $270 juta dalam program ini agar mendorong masyarakat mereka lebih memiliki banyak anak . Tidak hanya itu, baru-baru ini pemerintah mereka menyatakan bahwa pada tahun 2024 setiap bayi yang lahir akan menerima bantuan uang tunai sampai bayi tersebut berumur 8 tahun dengan total bantuan sebesar 29,6 juta won atau 350 juta rupiahⁱⁱ.
ADVERTISEMENT
Dampak positif lain juga dirasakan oleh warga Korea Selatan yang sudah lanjut usia. Dikarenakan jumlah pertumbuhan populasi rendah, lapangan kerja untuk tenaga kerja lansia menjadi lebih banyak terbuka. Hal tersebut dilakukan agar dapat mengatasi kekurangan tenaga kerja yang terjadiⁱⁱⁱ. Dengan warga lansia yang masih aktif bekerja, hal ini dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi negaraⁱᵛ.
Bantuan sosial yang diberikan pemerintah Korea Selatan untuk mengatasi masalah rendahnya angka kelahiran, sejalan dengan pendapat filsuf Immanuel Kant yang menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan hal yang sangat penting sebagai bentuk mensejahterakan orang lain.
Hal tersebut juga didukung juga oleh pernyataan Aristoteles yang menyatakan kebijakan politik dibuat untuk kepentingan kebaikan bersama.
Dampak Negatif
ADVERTISEMENT
Di samping melihat dampak positif dari isu tersebut, kita perlu memberi perhatian juga terhadap dampak negatif yang dihasilkan. Dampak yang paling serius dalam kasus ini adalah terjadinya penurunan tenaga kerja. Populasi tenaga kerja saat ini tentu semakin lama akan semakin menua, sementara mereka sendiri tidak memiliki generasi pengganti. Apabila penurunan tenaga kerja terjadi, maka akan mengakibatkan penurunan hasil produksi serta menghambat inovasi. Kurangnya kehadiran generasi muda yang bersemangat dan kreatif dapat menghambat laju kemajuan teknologi dan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan. Di sisi lain, tekanan tambahan muncul dengan memperburuk situasi keuangan pemerintah akibat terbebani oleh biaya hidup lansia (public pension cost) yang semakin meningkatᵛ. Selain itu, turunnya jumlah populasi terus menerus juga berpotensi terjadi kepunahan nasional (national extinction).
ADVERTISEMENT
Isu rendahnya tingkat fertility di Korea Selatan ini memiliki akar yang dalam dan kompleks yang terbentuk oleh serangkaian faktor yang saling terkait. Secara mendasar, persaingan ketat di pasar kerja menjadi salah satu penyebab utama. Dalam upaya untuk mencapai stabilitas finansial yang diinginkan, individu terdorong untuk mengejar karier yang sukses. Biaya hidup yang tinggi menuntut hal tersebut dan memicu kebutuhan akan lapangan kerja yang lebih banyak. Tingginya biaya hidup menciptakan tekanan ekonomi, sehingga mendorong pertimbangan matang dalam keputusan untuk memiliki anak.
Tingginya biaya hidup yang tersebut jika dikatikan dengan pandangan filsuf, menggambarkan pandangan dari Jean-Paul Sartre tentang tekanan dan kebebasan dalam mengambil keputusan hidup.
Setiap manusia berhak untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan dan hal ini tercermin dari bagaimana perilaku warga di Korea Selatan dalam menghadapi tingginya biaya hidup mereka. Tingkat pendapatan yang tinggi menopang biaya hidup yang mahal pula. Hal ini menciptakan lingkungan di mana mengejar keberhasilan karier menjadi fokus utama, sementara keputusan untuk memiliki anak sering kali tertunda atau dipertimbangkan dengan hati-hati.
ADVERTISEMENT
Korea Selatan yang maju secara ekonomi dan memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, berakar pada kualitas sumber daya manusia yang tinggi dan jumlah tenaga kerja yang melimpah. Namun, ironisnya, kemajuan ini juga memperkuat tekanan ekonomi yang memengaruhi keputusan untuk memiliki anak. Dengan demikian, rendahnya tingkat fertility di Korea Selatan bukanlah akibat dari satu faktor, tetapi merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Tuhan dan Manusia
Mengacu pada konsep spiritual terkait Tuhan dan manusia. Tuhan menciptakan keberadaan manusia dengan tujuan untuk mengelola bumi, dimana salah satu usaha tersebut dapat dilakukan manusia dengan mengembangkan generasi. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles, yaitu setiap individu memiliki tujuan hidup yang perlu dicapai. Salah satunya adalah untuk mempertahankan dan melestarikan generasi agar tidak mengalami kepunahan. Tuhan menciptakan manusia untuk saling berpasang-pasangan, maka dari itu krisis demografi ini tidak sejalan dengan konsep tujuan Tuhan menciptakan manusia.
ADVERTISEMENT
Pandangan Søren Kierkegaard tentang pentingnya iman dan hubungan dengan Tuhan dalam mencari makna hidup juga memberikan wawasan penting terkait isu low fertility di Korea Selatan. Kierkegaard sendiri menekankan pentingnya iman dan hubungan dengan Tuhan dalam pencarian makna hidup.
Dalam konteks ini, penekanan pada kebutuhan finansial dan stabilitas ekonomi dapat mengaburkan nilai-nilai yang lebih esensial seperti keluarga, kasih sayang, dan warisan budaya. Terlalu fokus pada karier dan keuangan mungkin membuat pasangan muda mengesampingkan keinginan untuk memiliki anak dan merasakan kebahagiaan dalam membentuk keluarga. Pandangan Kierkegaard memperingatkan akan bahaya terlalu terpaku pada kepentingan material semata, sementara mengabaikan aspek-aspek yang lebih dalam dan berarti dalam kehidupan manusia, yang mencakup hubungan spiritual dan komitmen terhadap nilai-nilai moral.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan dan Saran
Penurunan tingkat fertility merupakan permasalahan yang sangat penting untuk diperbincangkan dalam konteks pembangunan suatu negara. Fenomena yang tengah dialami oleh Korea Selatan ini merupakan masalah yang serius karena akan memberikan dampak yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Dampak positifnya adalah munculnya kebijakan yang dapat menguntungkan bagi para pasangan yang ragu untuk menikah dan memiliki anak karena takut akan biaya hidup yang besar. Selain itu, warga lansia di Korea Selatan yang masih mampu bekerja dapat bekerja untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang terjadi, sehingga produktivitas dan pertumbuhan ekonomi negara tetap terjaga. Namun, sisi negatif dari isu tersebut adalah terjadinya penurunan tenaga kerja karena populasi semakin menua dan generasi pengganti semakin sedikit. Biaya penanganan lansia yang dikeluarkan pemerintah juga akan mengalami peningkatan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks spiritual sendiri, Tuhan menciptakan manusia untuk menjaga kelangsungan generasi, dimana isu low fertility tidak mencerminkan konsep penciptaan manusia oleh Tuhan. Pandangan Kierkegaard juga menyoroti bahaya terlalu fokus pada kepentingan material, seperti keuangan dan karier, sementara mengabaikan nilai-nilai esensi lain seperti keluarga. Penekanan yang berlebihan pada aspek finansial dapat mengaburkan kebutuhan akan hubungan spiritual dan nilai-nilai moral, yang menjadi landasan penting dalam membentuk kehidupan yang bermakna.
Namun, permasalahan yang dialami tersebut tengah diusahakan untuk diatasi oleh solusi yang diberikan pemerintah. Pemberian tunjangan untuk anak walau sedikit telah memberikan perubahan walau hanya sedikit. Untuk itu, agar solusi yang diberikan berjalan dengan baik beberapa saran yang mungkin dilakukan adalah melakukan evaluasi terkait efektivitas program yang berjalan, melibatkan komunitas local dalam penerapannya, dan meningkatkan edukasi sejak dini. Dengan demikian apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan diharapkan dapat mengatasi isu low fertility secara efektif dan terus menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
━━━━━━━━━━━
ⁱVantage News. (2024, 29 Februari). South Korea Shatters Its Record for World's Lowest Fertility Rate Vantage with Palki Sharma [Video]. Youtube. https://youtu.be/l1xBAhe-uQE?si=Mt6_Msqn6Wvaip3l
ⁱⁱCNBCIndonesia.com (2024). Melahirkan Bayi di Korea Selatan Langsung Dapat Rp350 juta.
ⁱⁱⁱTime.com (2024). How South Korea Is Tackling Its Demographic Crisis.
ⁱᵛLee, Jaejoon. (2023). Population Aging in Korea: Importance of Elderly Workers. KDI Journal of Economic Policy 2023.
ᵛBak, H. (2019). Low Fertility in South Korea: Causes, Consequences, and Policy Responses. Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and Governance. Springer, Cham. 21(4), 235-242.
Author : Azzahra Halima Ayudanti | Oktavia Nabila Nur Faizah