Konten dari Pengguna

Di balik Konfusianisme : Efek Nilai Xiao terhadap Dinamika Danjyo Kankei

Catur Ratna Sa'adah
Mahasiswa Studi Kejepangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
11 Oktober 2024 10:39 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Catur Ratna Sa'adah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
illustration by canva
Persoalan tentang humanisme dalam sejarah filsafat sangat menarik untuk dibahas karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia dari masa lalu hingga sekarang, baik di dunia Barat maupun Timur. Terlebih lagi, dengan munculnya berbagai konflik di berbagai belahan dunia, seperti peperangan yang menyebabkan penderitaan banyak orang, nilai-nilai kemanusiaan mulai dipertanyakan lagi oleh berbagai kalangan, termasuk intelektual dan politisi. Isu-isu kemanusiaan seperti ini menjadi bagian dari kajian dalam filsafat Konfusianisme. Konfusianisme berfokus pada ajaran tentang kemanusiaan, sehingga sering dianggap sebagai bagian dari filsafat humanisme (Heriyanti, 2021). Inti dari filsafat Konfusianisme adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan manusia, terutama dalam hal mencapai kebahagiaan, baik kebahagiaan fisik maupun kebahagiaan batin.
ADVERTISEMENT
Pemikiran filsafat Konfusianisme umumnya bertujuan untuk memperbaiki dan menjaga keseimbangan dalam hubungan antarindividu, serta hubungan antara manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara. Ajaran Konfusianisme yang berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan telah menjadi salah satu elemen penting dalam peradaban Tiongkok. Konfusianisme berkembang menjadi lambang moralitas dan kebajikan yang mendefinisikan karakter masyarakat Tiongkok. Nilai-nilai ajaran Konfusianisme meliputi Ren (kemanusiaan), Li (tata krama), Xiao (bakti kepada orang tua), Yi (kebenaran dan keadilan), Zhi (kebijaksanaan), Xin (kejujuran dan kepercayaan), Zhengming (kesesuaian peran sosial), dan De (kebajikan). Seorang pemimpin dianggap berintegritas jika ia setia mengikuti prinsip-prinsip Konfusianisme dan mampu menerapkan ajarannya dalam pemerintahan. Di Jepang, Konfusianisme mulai diperkenalkan pada periode Asuka (592–710 M), terutama melalui upaya Pangeran Shotoku, yang menggunakan ajaran ini dalam penyusunan Konstitusi Tujuh Belas Pasal. Pada masa berikutnya, terutama selama periode Edo (1603–1868 M), Konfusianisme semakin berpengaruh, menjadi landasan ideologi bagi pemerintahan dan tatanan sosial Jepang.
ADVERTISEMENT
Menurut Ross yang merupakan orang Barat, Konfusianisme merupakan ajaran yang rasional. Dalam rasionalisme Konfusianisme itu, konsep-konsep humanisme memainkan berbagai peranan mendasar, salah satunya ada pada nilai Xiao. Nilai Xiao atau secara harfiah berarti respek, mencerminkan ketertiban dalam hubungan antarmanusia yang ingin dicapai melalui konsep Zhengming (kesesuaian dalam peran sosial), lebih jelas terlihat melalui prinsip Xiao, yaitu rasa hormat yang harus diberikan oleh anak kepada orang tuanya. Menurut Konfusius, seseorang yang berbudi luhur pasti akan menjalankan Xiao. Lebih dari sekadar hubungan keluarga, pola relasi Xiao ini juga diterapkan dalam hubungan sosial yang lebih luas. Terdapat lima kewajiban universal yang harus dipenuhi oleh manusia, yang mencakup pengaturan hubungan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Nilai Xiao dalam filsafat Konfusianisme memiliki dampak yang besar, terutama dalam danjyo kankei (hubungan pria-wanita) di Jepang. Secara historis, danjyou kankei di Jepang telah mengalami perubahan signifikan seiring dengan perkembangan sistem sosial dan budaya yang dominan pada setiap periode. Pada masa lalu, Jepang memiliki masyarakat matrilineal, di mana perempuan memiliki hak mewarisi harta dan menjadi pemimpin. Danjyo kankei saat itu relatif setara dalam kehidupan sehari-hari. Namun, mulai periode Nara dan Heian, dominasi laki-laki meningkat, terutama di kalangan bangsawan, yang menyebabkan melemahnya hak perempuan untuk mewarisi. Pada periode Kamakura dan Muromachi, laki-laki menjadi pusat kekuasaan dalam keluarga besar, di mana pemimpin laki-laki memiliki otoritas penuh. Perempuan, terutama di kalangan samurai, diharapkan kuat dan taat dalam mendukung suami mereka (Roger, 2001).
ADVERTISEMENT
Ajaran nilai Xiao Konfusianisme yang masuk pada periode Asuka dan berkembang hingga periode Edo mulai menekankan kehidupan yang patriarki, di mana perempuan hanya dilihat sebagai penghasil anak dan penerus keturunan, bukan sebagai pasangan hidup yang setara. Namun, perempuan dari kalangan petani memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan perempuan dari kalangan atas, yang diharapkan sepenuhnya patuh dan sering diperlakukan sebagai objek oleh laki-laki. Seks dipandang hanya sebagai cara untuk mempertahankan kelangsungan keluarga, sehingga perempuan dianggap sebagai pihak yang lemah, tidak berdaya, dan hanya sekedar penerus garis keturunan (Roosiani, 2017)
Nilai Xiao membatasi peran perempuan dalam kehidupan masyarakat. Xiao adalah nilai yang menekankan pentingnya bakti dan penghormatan kepada orang tua serta leluhur, dan dalam konteks ini, perempuan dianggap berperan penting untuk melanjutkan keturunan. Fungsi utama perempuan dilihat sebagai penjaga kelangsungan keluarga melalui tugas-tugas domestik, seperti mengurus rumah dan melahirkan anak.
ADVERTISEMENT
Okamura (1983:1) menyatakan bahwa secara umum, perempuan dipandang memiliki status yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga peran utamanya adalah untuk melayani laki-laki. Robin Moowry (1983:20) menambahkan contoh penting dari ajaran moral Konfusianisme, yaitu Onna Daigaku, yang ditulis oleh Kaibara Ekiken pada tahun 1672. Buku ini menjadi panduan bagi perempuan Jepang pada masa feodal dan berisi doktrin tiga kepatuhan (sanju kun): “Seorang wanita tidak memiliki kebebasan sepanjang hidupnya. Ketika muda, ia harus patuh kepada ayahnya. Ketika menikah, ia harus patuh kepada suaminya. Dan ketika menjadi janda, ia harus patuh kepada anak laki-lakinya.”
Gagasan dari Onna Daigaku masih tetap berpengaruh pada perilaku dan sikap sebagian besar perempuan dewasa di Jepang, baik secara sadar maupun tidak. Dalam Onna Daigaku, terdapat lima kelemahan utama yang harus dihindari oleh perempuan, yaitu ketidaktaatan, ketidakpuasan, menyebarkan fitnah, sifat cemburu, dan kebodohan.
illustration by canva
Dalam kehidupan tradisional, perempuan Jepang sejak kecil dilatih untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti menenun, menjahit, memasak, dan mencuci. Mereka juga diajarkan keterampilan seni khusus seperti membakar dupa, merangkai bunga, dan melakukan upacara minum teh. Kaum perempuan selalu diajari untuk mengembangkan "hati yang bijaksana" dengan tujuan mencapai kualitas ideal seorang perempuan, yaitu kepatuhan yang lembut, kesederhanaan, kemurahan hati, dan ketenangan.
ADVERTISEMENT
Meskipun perempuan dianggap penting dalam struktur keluarga, peran mereka terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga dan melahirkan penerus. Ajaran Konfusianisme mengharapkan perempuan untuk mematuhi laki-laki, baik ayah, suami, maupun anak laki-laki, sesuai dengan tiga kepatuhan yang diajarkan dalam tradisi Konfusianisme. Perempuan dididik untuk patuh dan tunduk, serta mengesampingkan peran aktif di luar rumah, sehingga ruang untuk mereka berkembang di luar peran domestik sangat kecil.
Konfusianisme juga mengajarkan bahwa perempuan harus menjalani hidup dengan sifat-sifat seperti kesederhanaan, kelembutan, dan pengabdian. Mereka diharapkan mampu menjaga keharmonisan keluarga, mengikuti arahan suami, dan berperan sebagai ibu yang mendidik anak-anak dengan nilai-nilai moral. Semua ini berhubungan dengan nilai Xiao, yang mengharuskan perempuan untuk tidak hanya tunduk pada orang tua mereka, tetapi juga pada sistem keluarga yang mengutamakan laki-laki sebagai pemegang otoritas.
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan perempuan diukur dari seberapa baik mereka melayani keluarga dan menjaga tatanan rumah tangga. Nilai Xiao meneguhkan pandangan bahwa perempuan harus mendukung struktur keluarga yang patriarki, di mana laki-laki mengambil peran utama, dan perempuan diharapkan menjalankan tugasnya dengan penuh bakti dan kepatuhan.
Pada masa feodal, pernikahan lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik daripada cinta. Laki-laki bisa mencari cinta di luar rumah, sementara istri dianggap hanya sebagai alat untuk melahirkan anak laki-laki. Anak perempuan diajarkan tentang etika feodal dan diawasi ketat oleh orang tua agar tidak memalukan keluarga. Seorang istri harus selalu mengingat bahwa suaminya adalah pemimpin keluarga, dan ia harus tunduk serta melayani suami dengan penuh penghormatan.
Istri biasanya bangun lebih pagi dan tidur larut malam setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia bertanggung jawab untuk merapikan tempat tidur, mencuci, dan memasak untuk keluarga. Saat makan bersama, istri dan anak perempuan lainnya duduk di belakang pintu atau di dekat dapur, dan hanya makan sisa makanan dari suami. Suami sebagai kepala rumah tangga harus dihormati oleh seluruh keluarga. Seorang istri harus mengutamakan kepentingan suami dan keluarga, dan diawasi oleh ibu mertua.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat Jepang tradisional, suami boleh mencari kesenangan di luar rumah tanpa harus menyembunyikannya, seperti memelihara pelacur, selama tetap memenuhi tanggung jawabnya terhadap keluarga. Sementara itu, istri harus setia dan bahkan mendukung suaminya untuk pergi ke tempat pelacuran. Pada masa Tokugawa, hal ini dianggap wajar. Suami sebagai kepala keluarga memiliki lebih banyak hak dibandingkan istri. Misalnya, jika seorang istri berzina, ia bisa diceraikan atau bahkan dihukum mati (Roosiani, 2016).
Filsafat Konfusianisme, terutama melalui nilai-nilai seperti Xiao, sangat berpengaruh dalam terbentuknya relasi sosial dan danjyou kankei di Jepang. Ajaran ini menekankan pentingnya penghormatan dan pengabdian, khususnya dalam hubungan keluarga dan sosial. Namun, dalam praktiknya, ajaran ini juga memperkuat sistem patriarki yang membatasi peran perempuan hanya pada urusan rumah tangga dan melahirkan keturunan. Perempuan diharapkan patuh pada laki-laki sebagai anak, istri, atau ibu, sementara laki-laki memiliki lebih banyak otoritas dalam keluarga dan masyarakat. Meskipun Konfusianisme membantu menjaga stabilitas sosial, dampaknya seringkali membatasi kebebasan dan kemandirian perempuan.
illustration by canva
Daftar Pustaka
ADVERTISEMENT
Dharma, N. (2022). Womenomics and Japan’s Domestic Politics: The Transformation of Women Roles in the Shinzo Abe Administration. JISPO, 12(2), 220-242.
Heriyanti, K. (2021). Humanisme dalam Ajaran Konfusianisme. Widya Katambung, 12(1), 55-66.
Roger, J. (2001). The Japanese Mind: Understanding Contemporary Culture. TUTTLE Publishing.
Roosiani, I. (2016). Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Jepang. Wahana, 13, 70-79.
Rustamana, A. (2023). Sejarah Ringkas Jepang Kuno dan Awal Masuk dan Perkembangan Konfusianisme di Jepang. Sindoro Cendikia Pendidikan, 12(1), 1-11.