Konten dari Pengguna

Ramalan Frankenstein

Nur Amirah Bilqis
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
12 Juni 2024 6:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Amirah Bilqis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Derick P. Hudson / Phonlamai Photo / ixpert / Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Derick P. Hudson / Phonlamai Photo / ixpert / Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ramalan Frankenstein: Antara Kehidupan Buatan dan Masa Depan Manusia
Pada tahun 1818, Mary Shelley menerbitkan "Frankenstein", sebuah kisah tentang seorang ilmuwan yang menciptakan makhluk artifisial tak terkendali. Cerita ini telah menjadi pilar utama dalam mitologi ilmiah kita. Meskipun mengingatkan kita bahwa berperan sebagai Tuhan dan merekayasa kehidupan memiliki konsekuensi serius, cerita ini sebenarnya memiliki makna yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Mitos Frankenstein menghadapkan kita dengan kenyataan bahwa hari-hari akhir manusia mungkin sudah dekat. Perkembangan teknologi yang pesat bisa segera menggantikan Homo sapiens dengan makhluk yang berbeda secara fisik, mental, dan emosional. Namun, kita sering enggan memikirkan kemungkinan bahwa kita akan digantikan oleh makhluk yang lebih unggul.
Kita mungkin terhibur dengan pikiran bahwa Dr. Frankenstein menciptakan monster yang harus dihancurkan untuk menyelamatkan diri kita. Ide ini membuat kita merasa sebagai makhluk terbaik, tidak ada yang lebih baik daripada kita. Namun, kita perlu mengakui kemungkinan bahwa para ilmuwan akan mampu menciptakan makhluk yang lebih unggul dari kita.
Apakah ramalan ini akan terwujud? Kita tidak tahu. Sejarah mengajarkan bahwa banyak ramalan yang tidak terwujud dan ada hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya yang menjadi kenyataan. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa tahap sejarah berikutnya akan melibatkan transformasi tidak hanya dalam teknologi dan organisasi, tetapi juga dalam kesadaran dan identitas manusia. Transformasi ini bisa sangat mendasar sehingga konsep "manusia" akan dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besar yang harus kita hadapi adalah "Kita ingin menjadi apa?". Pertanyaan ini akan menentukan arah perkembangan manusia selanjutnya. Namun, perdebatan ini tidak akan relevan jika penerus kita memiliki tingkat kesadaran dan identitas yang berbeda dari kita. Agama, ideologi, bangsa, dan kelas sosial mungkin tidak lagi menjadi faktor penting bagi mereka.
Meskipun perdebatan ini penting, banyak orang memilih untuk tidak memikirkannya. Namun, kita tidak bisa menghentikan proyek ilmiah yang berusaha meningkatkan manusia menjadi makhluk yang berbeda. Kita bisa mempengaruhi arah perkembangan ini, tetapi pada akhirnya pertanyaan yang harus kita ajukan adalah "Apa yang kita inginkan?".
Dalam menghadapi ini, kita harus menyadari bahwa proyek ilmiah seperti Proyek Gilgamesh memiliki tujuan mulia untuk menyembuhkan penyakit dan menyelamatkan nyawa manusia. Namun, kita harus mempertanyakan apakah kita bisa menghentikan proyek-proyek ini jika mereka mengarah pada transformasi yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, kita harus menyadari bahwa masa depan kita tidak dapat diprediksi sepenuhnya, tetapi kita harus mempertimbangkan konsekuensi dari transformasi teknologi yang sedang terjadi.
Binatang yang Menjadi Tuhan: Evolusi dan Kekuasaan Manusia
Tujuh puluh ribu tahun yang lalu, Homo sapiens adalah binatang yang tak signifikan, yang mengurusi urusannya sendiri di satu sudut Afrika. Namun, dalam ribuan tahun berikutnya, mereka menguasai planet ini dan merusak ekosistem. Kini, manusia hampir menjadi seperti Tuhan, ingin hidup abadi dan memiliki kekuatan mencipta serta menghancurkan.
Namun, kita belum mencapai banyak hal yang patut dibanggakan. Meskipun telah maju secara teknologi, menguasai lingkungan sekitar, meningkatkan produksi pangan, membangun kota, mendirikan peradaban, dan menciptakan jaringan perdagangan yang luas, hal ini tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan individu Sapiens, malah menyebabkan kesengsaraan besar bagi hewan lain.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, manusia mencapai kemajuan nyata dengan berkurangnya kelaparan, wabah penyakit, dan perang. Namun, kondisi hewan-hewan lain kini memburuk lebih cepat dibandingkan sebelumnya, dan kemajuan yang terjadi pada umat manusia masih terlalu baru dan rapuh untuk dapat dipastikan.
Selain itu, meskipun manusia mampu melakukan hal-hal menakjubkan, mereka tetap tidak yakin akan tujuan hidupnya dan tampak masih merasa tidak puas. Mereka lebih kuat dari sebelumnya, namun tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan semua kekuatan itu.
Yang lebih buruk lagi, manusia semakin tidak bertanggung jawab dibandingkan sebelumnya. Sebagai "Tuhan-tuhan" yang diciptakan sendiri dan hanya memiliki hukum fisika sebagai panduan, manusia tidak bertanggung jawab kepada siapa pun. Akibatnya, mereka mendatangkan malapetaka pada sesama makhluk, yaitu hewan dan ekosistem sekitar. Manusia hanya mencari kenyamanan dan hiburan bagi diri sendiri, namun tidak pernah merasakan kepuasan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: Tantangan Masa Depan
Kedua narasi di atas menggarisbawahi tantangan besar yang dihadapi manusia di masa depan. Pertama, kita harus menghadapi kemungkinan bahwa teknologi dapat menciptakan makhluk yang lebih unggul dari kita. Kedua, sebagai penguasa planet ini, kita harus bertanggung jawab atas dampak yang kita timbulkan terhadap makhluk lain dan ekosistem. Dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian ini, penting bagi kita untuk mempertimbangkan dengan serius arah yang ingin kita tuju dan konsekuensi dari setiap langkah yang kita ambil.
Referensi:
Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history of humankind. Penguin Random House.