Mengukur Efektivitas Pengaturan Pidana Korporasi dalam KUHP Nasional

Bagus Mizan Albab
Analis Perkara Peradilan Mahkamah Agung RI Iluni Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
21 September 2023 16:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagus Mizan Albab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP Baru") memberikan kepastian hukum atas pengaturan mengenai pidana dan tindakan bagi korporasi. Pengaturan pidana bagi korporasi termuat dalam Buku Kesatu Pasal 45 yang merupakan korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Lebih lanjut, Pasal 118 menyatakan pada pokoknya pidana bagi korporasi terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Korporasi yang termuat dalam KUHP baru sebagaimana termuat dalam Pasal 45 ayat (2) yaitu;
Dalam bagian penjelasan umum, pengaturan pidana bagi korporasi sebagai wujud penyesuaian antara kondisi ekonomi dan globalisasi dengan perkembangan hukum, agar hukum selalu mengikuti perkembangan zaman. Pembuat peraturan perundang-undangan menganggap bahwa Korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan Tindak Pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu Tindak Pidana.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perlu diatur mengenai tindak pidana bagi korporasi agar dapat memberikan kepastian hukum. Hal ini sangat beralasan mengingat dalam KUHP baru, Korporasi termasuk ke dalam subjek Tindak Pidana, hal itu berarti bahwa Korporasi, baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan Tindak Pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

Korporasi sebagai Subjek Hukum

Wetboek van Strafrecht atau KUHP ("KUHP lama") hanya mengatur orang sebagai subjek hukum. Dengan demikian, pertanggungjawaban atas pidana korporasi, tidak diatur dalam KUHP lama. Prof Moeljatno, Dalam bukunya berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana” menerangkan unsur “barang siapa” adalah subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Dengan demikian, menurut hukum pidana yang menjadi subjek hukum adalah manusia (Natuurlijk Persoon). Begitupun Prof. Satochid Kartanegara yang menjelaskan bahwa cara merumuskan tindak pidana (strafbar feit), yaitu dengan awalan kata “barang siapa”. Perumusan kata “barang siapa” ditujukan hanya kepada manusia.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang menyebabkan tidak ditemukannya pengaturan mengenai pidana korporasi, karena yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana adalah orang sebagai subjek hukum. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dan demi memberikan kepastian hukum, korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, dapat dimuat dalam KUHP baru.
Di negara lain, pengaturan korporasi sebagai tindak pidana terdapat pada negara seperti Australia yang secara tegas menjelaskan ketentuan atau pengaturan dalam undang-undang pidana juga berlaku untuk korporasi sebagaimana sama keberlakuannya dengan ketentuan untuk orang pribadi. Kemudian negara Belanda yang Semenjak tahun 1976 dalam Pasal 51 KUHP Belanda yang menyatakan setiap korporasi dapat dianggap melakukan setiap jenis tindak pidana yang diatur dalam KUHP Belanda.
Konsep pertanggungjawaban korporasi bagi negara Common Law seperti Amerika dan Inggris, pada dasarnya sudah dimulai semenjak tahun 1842, di mana pada saat itu korporasi dihukum dan dijatuhi pidana denda karena telah gagal memenuhi suatu kewajiban hukum. Kemudian Amerika Serikat juga secara eksplisit dalam putusan pengadilan mengakui entitas korporasi sebagai subjek hukum pidana, diakui dapat melakukan tindak pidana, dan dapat dimintakan pertanggung jawaban secara pidana pada tahun 1909.
ADVERTISEMENT
Indonesia mengenal tindak pidana korporasi sejatinya sudah berlangsung jauh sebelum KUHP baru disahkan. tetapi memang pengaturan tersebut diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain seperti termuat dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Mahkamah Agung juga pernah mengeluarkan ketentuan tindak pidana bagi korporasi melalui PERMA 13 tahun 2016. Dalam aturan tersebut, Mahkamah Agung mengatur terkait mekanisme pemeriksaan, pembuktian, hingga hal-hal teknis yang perlu diperhatikan dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana yang mana terdakwa dalam kasus tersebut ialah korporasi. PERMA Korporasi tidak hanya berlaku bagi tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, tapi juga berlaku bagi semua tindak pidana yang diatur diluar KUHP, termasuk tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dengan adanya pengaturan pidana bagi korporasi dalam KUHP baru diharapkan dapat mengakomodir dan memberikan kepastian hukum bagi pengaturan pidana korporasi yang sudah ada sebelumnya dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Kasus Tindak Pidana Korporasi di Indonesia

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Adanya pengaturan tindak pidana korporasi dalam KUHP dapat memberikan kepastian hukum atas pidana yang dilakukan oleh korporasi. di Indonesia terdapat beberapa kasus mengenai tindak pidana korporasi. Sebagai contoh kasus yang menimpa PT Darma Utama Mestrasco didakwa dan dinyatakan bersalah yaitu "mengakui dan menguasai sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui bukan miliknya" Hal ini termuat dalam putusan pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Medan dengan nomor 1751/Pid.Sus/2020/PT MDN. Majelis Hakim dalam putusannya menggunakan dasar hukum Perma 13 tahun 2016 untuk mengadili perkara tersebut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kasus yang serupa juga terjadi pada PT Adei Plantation & Industry dalam putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 228/Pid.Sus/2013/PN Plw, tanggal 9 September 2014. PT Adei divonis karena perbuatannya yaitu “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungungan hidup'. Dalam putusan ini, majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya, menggunakan ketentuan Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, adanya pengaturan pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, hal ini dapat memberikan dasar hukum yang lebih luas bagi Aparat Penegak Hukum seperti Hakim, untuk dapat lebih mencari dan menemukan hukumnya (recht vinding) agar dapat menghasilkan putusan yang dapat memenuhi keadilan dan kepastian hukum.
Majelis Hakim selain mempertimbangkan peraturan sektoral pada masing-masing tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, namun juga dapat melihat ketentuan umum mengenai pidana korporasi sebagaimana termuat dalam KUHP baru.

Perubahan Positif

Dengan adanya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana menimbulkan dampak yang cukup positif bagi sistem hukum di Indonesia. hal ini sejalan dengan prioritas program kerja Presiden 2019-2024 yaitu reformasi birokrasi berupa adaptif produktif, inovatif, dan kompetitif.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui bahwa pidana bagi korporasi terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi pidana denda, sedangkan pidana tambahan di antaranya meliputi; (a) pembayaran ganti rugi; (b) perbaikan akibat Tindak Pidana; (c) pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan; (d) pemenuhan kewajiban adat; (e) pembiayaan pelatihan kerja, dll.
Hal ini merupakan terobosan hukum yang positif sebab KUHP baru bukan berfokus pada pembalasan atas tindak pidana yang terjadi, melainkan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Sehingga diharapkan dengan adanya pidana denda dan pidana tambahan, dapat membuat pemulihan dan memperbaiki atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
ADVERTISEMENT