Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Terobosan Mahkamah Agung atas Perma Keadilan Restoratif
14 Juni 2024 11:41 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bagus Mizan Albab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 7 Mei 2024 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif ("Perma 1/2024"). Lahirnya Perma 1/2024 merupakan sebuah langkah positif sebagai bentuk penyelesaian dengan fokus kepada pemulihan kerugian korban tindak pidana dan pertanggungjawaban pada terdakwa.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa proses mengadili yang menggunakan pendekatan keadilan restoratif bukanlah sebuah proses yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana, melainkan sebuah instrumen pemulihan baik bagi korban maupun pertanggungjawaban terdakwa.
Sebelum lahirnya Perma 1/2024, Mahkamah Agung ("MA") pada dasarnya telah memiliki beberapa pedoman yang dapat digunakan oleh Aparat Penegak Hukum, yaitu; (i) Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana; dan (ii) SK Dirjen Badilum No.1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif; dan (iii) pembentukan Pokja Penanganan Perkara Berdasarkan keadilan restoratif pada Desember 2021.
Dengan mendasari ketentuan tersebut, MA sudah sejak lama memiliki fokus dan perhatian khusus terhadap penerapan restorative justice sebagai pedoman dalam mengadili. Sehingga pada tahun 2024, lahirlah Perma 1/2024 yang merupakan hasil akhir dari upaya yang dilakukan oleh MA dalam menyusun regulasi terkait pedoman mengadili dengan pendekatan keadilan restoratif.
ADVERTISEMENT
Konsep Keadilan Restoratif
Sebelum Perma 1/2024 ini diundangkan, seringkali penerapan restorative justice di Indonesia hanya berfokus pada penghentian perkara. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan Belanda. Di sana, konsep restorative justice lebih mengedapankan pada pemulihan kerugian korban akibat tindak pidana dan hubungan antara korban dan pelaku pasca tindak pidana.
Atau dengan kata lain, keadilan restoatif yang seharusnya dilakukan adalah pendekatan yang mengedepankan pada proses pemulihan, dan bukan pada hasil. Konsep inilah yang saat ini sudah termuat dalam Perma 1/2024. Konsep keadilan restoratif merupakan salah satu proyek prioritas nasional sebagaimana termuat dalam RPJMN 2020-2024.
Pendekatan keadilan restoratif selain menekankan pada pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa, juga berfokus pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Oleh karenanya, Perma 1/2024 selain digunakan sebagai pedoman dalam perkara pidana, tetapi juga dapat digunakan dalam perkara jinayat, militer, dan anak.
ADVERTISEMENT
Artinya, MA memperluas penggunaan pendekatan keadilan restoratif untuk digunakan tidak hanya pada perkara pidana saja. Tetapi juga terhadap perkara yang dinilai dapat ditempuh dengan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana. Fokusnya yaitu pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Terhadap hal ini, sebagai bentuk komitmen atas penerapan keadilan restoratif, MA mewajibkan seluruh pengadilan menerapkan pedoman mengadili perkara berdasarkan keadilan restoratif dengan ketentuan syarat sebagaimana yang terdapat dalam Perma 1/2024.
Substansi Keadilan Restoratif
Dalam mengadili perkara pidana, Hakim tidak diperkenankan mengaplikasikan semua jenis perkara tindak pidana dengan menggunakan pedoman atau konsep keadilan restoratif dalam penyelesaiannya. Terdapat ketentuan dan aturan yang harus diperhatikan oleh hakim sebelum memutuskan perkara tindak pidana tersebut dapat menggunakan mekanisme keadilan restoratif atau tidak.
ADVERTISEMENT
Adapun ketentuan mengadili dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif apabila salah satu kriteria sebagaimana dalam Perma 1/2024 terpenuhi, yaitu; (i) tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat; (ii) Tindak pidana merupakan delik aduan; (iii) ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dalam salah satu dakwaan; (iv) tindak pidana dengan pelaku anak yang diversinya tidak berhasil; dan (v) tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan
Dengan demikian, batasan bagi hakim dalam mengadili perkara tindak pidana yang akan diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif terbatas pada salah satu syarat sebagaimana ketentuan di atas.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meskipun suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan sebagaimana termuat dalam pasal 6 ayat (1), hakim tidak berwenang untuk menerapkan pedoman keadilan restoratif apabila; (i) korban atau terdakwa menolak perdamaian; (ii) terdapat relasi kuasa; (iii) pengulangan tindak pidana sejenis kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, apabila hakim dalam memeriksa perkara menemukan satu dari ketiga ketentuan tersebut, maka mengadili dengan pendekatan restoratif tidak dapat dilakukan.
Mengedepankan Proses Keadilan Restoratif
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, konsep restorative justice yang benar adalah bukan berorientasi pada hasil, melainkan proses. Hal ini tercermin dalam Perma 1/2024 bahwa hakim dapat secara langsung mengalihkan pemeriksaan ke dalam mekanisme keadilan restoratif dalam hal terdakwa membenarkan dakwaan penuntut umum, tidak mengajukan nota keberatan, dan membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan.
ADVERTISEMENT
Selain dari pada itu, hakim juga berwenang memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara terdakwa dengan korban apabila perdamaian tersebut sudah tercapai sebelum persidangan dimulai. Pemeriksaan ini menunjukkan bahwa penerapan keadilan restoratif saat ini bukan berorientasi pada hasil semata apalagi penghapusan pertanggungjawaban pidana, melainkan berfokus pada proses upaya pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa.
Terhadap delik aduan, penarikan pengaduan dirumuskan dalam perjanjian perdamaian secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim sehingga atas tersebut, memiliki konsekuensi dan dampak hakim dapat menyatakan penuntutan gugur atau tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan perdamaian antara korban dengan terdakwa, atau kesediaan terdakwa bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban, dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman atau menjadi pertimbangan untuk menjadikan pidana bersyarat atau pengawasan.
Solusi Atas Permaslaahan
Dengan adanya Perma 1/2024, diharapkan penegakan berdasar keadilan restoratif dapat diterapkan sehingga sebagaimana prinsip hukum pidana yaitu ultimum remedium, yaitu hukum pidana sebagai upaya terakhir, diharapkan mampu untuk memberikan rasa keadilan baik itu pada korban, terdakwa dan juga pemulihan dalam masyarakat.
Hal ini sangat membantu mengingat jumlah tindak pidana ringan pada tahun 2021 mengutip data dari pusiknas polri, mencapai 3.125 kasus di seluruh Indonesia. Dengan demikian, apabila menggunakan pendekatan keadilan restoratif tentunya penekanan terhadap pemulihan korban dan terdakwa dapat diterapkan sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, tidak dibenarkan pula apabila menggunakan pendekatan keadilan restoratif terhadap semua perkara pidana. penggunaan keadilan restoratif hanya dapat digunakan terhadap perkara yang ketentuannya sebagaimana termuat dalam Pasal 6 Perma 1/2024.