Konten dari Pengguna

Bagaimanan Islam Memandang Konsumsi?

23 Desember 2017 9:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bachtiar Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bagaimanan Islam Memandang Konsumsi?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sebagai makhluk Tuhan, manusia diberikan nikmat yang luas di bumi Allah. Selain itu, Allah mengamanahkan manusia untuk menjaga dan mengelola sumber daya, sehingga memunculkan masalah utama yaitu barang dan jasa apa yang akan diperlukan (what), bagaimana cara menghasilkannya (how) dan terakhir untuk siapa barang dan jasa tersebut (who) ? Sehingga terciptanya keadilan dan kesejahteraan yang luas. Keinginan manusia tersebut yang melahirkan teori konsumsi melalui dualitas yaitu rasionalitas ekonomi dan utilitas dimana kedua sifat tersebut menenkankan kepentingan individu tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Menurut Edgeworth konsep rasionalitas ekonomi merupakan pemenuhan konsumsi secara rasional atau sampai kepentingan individunya terpenuhi. Sedangkan konsep utilitas, memaksimalkan kebermanfaatan suatu barang dan jasa hingga mengorbankan kepentingan orang lain.
ADVERTISEMENT
Sifat konsumsi cenderung berorientasi pada pemuasan diri yang bersifat hedonisitik, materialistic dan wasteful melalui cita rasa, kemegahan dan kesombongan. Pada akhirnya konsumsi tersebut mengabaikan keharmonisan dan keseimbangan social akibat pemuasan diri yang berlebihan. Sedangkan konsumsi islam berbeda, akhlak yang dijadikan pijakan utama untuk menekan konsumsi agar terciptanya keseimbangan dan harmonisasi antara individu dan masyarakat luas sehingga mencapai tujuan falah.
Harta dan Kedudukannya bagi Manusia
Konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tetapi memiliki perbedaan dalam setiap lingkupnya. Perbedaan mendasar antara konsumsi konvensional dengan konsumsi islami adalah pencapaian atau tujuannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyah.
ADVERTISEMENT
Islam merupakan merupakan rahmatan lilalamin dimana sumber daya yang Allah berikan dapat didistribusikan secara adil dan merata. Untuk itu Allah telah mengatur di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul pola konsumsi yang baik untuk kemashalatan umat, ukuran keberhasilan seorang muslim tidak diukur melalui banyaknya harta yang dimiliki tetapi sejauh mana harta yang dimiliki dapat bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Konsumsi merupakan bagian aktivitas ekonomi selain produksi dan distribusi. Konsumsi akan terjadi jika manusia memiliki uang (harta). Dalam islam istilah harta merupakann bagian fitrah manusia untuk mencintainya. “telah dihiasi untuk manusia untuk mencintai kesenangan terhadap wanita-wanita.”
Dala istilah fikh Hanafiah harta (maal) merupakan sesuatu yang dicintai manusia dan dapat digunakan pada saat dibutuhkan. Harta dibedakan secara materi dan nilai. Materi bisa berwujud jika manusia menggunakannya sebagai materi. Nila hanya berlaku jika diperbolehkan secara syariat. Oleh sebab itu, dalam islam harta akan diakui eksistensinya secara bersamaan antara materi dan nilai. Dalam ekonomi nonislam, minuman keras, babi dan sejenisnya adalah materi yang memiliki nilai tinggi akan tetapi ekonomi islam memandang semua itu merupakan suatu kejelekan (mudhorot).
ADVERTISEMENT
Harta dari segi hak-haknya terbagi menjadi tiga, yaitu milik Allah, milik pribadi dan milik umum (Abdullah Muslih, 2004). Ketiga konsep tentang kepemilikan harta inilah dalam islam dinamakan multiple ownership. Pertama, harta milik Allah, yang pada dasarnya harta adalah mutlak milik Allah, manusia hanya diberikan kesempatan sementara untuk memiliki dan menggunakannya. “Dan nafhlahkanlah sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu” (An-Nuur : 33). Konsekuensi dari harta milik Allah adalah manusia wajib mengoperasikannya sesuai dengan syariat dan mengeluarkan sebagiannya kepada yang membutuhkan melalui zakat, infaq dan shodaqoh. Kedua, harta milik pribadi, yang tidak boleh disentuh atau diganggu kecuali dengan seizin pemiliknya. Perpindahan kepemilikan ini dapat terjadi melalui akad jual beli, hibah maupun warisan. Ketiga, harta milik bersama/umum. Konsekuensi harta milik bersama adalah dengan lebih mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi ketika terjadi perselisihan/bentrokan kepentingan, dengan tetap memberikan kompensasi kepada pemilik harta tersebut sehingga tidak merugikan hak-hak pribadi mereka.
ADVERTISEMENT
Harta dari segi kepemilikannya terbagi menjadi tiga (Abdullah Muslih, 2004) :
1. Tidak boleh dimiliki dan tidak boleh dipindahkan. Harta jenis ini biasanya berbentuk fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, dan sebagainya.
2. Tidak mungkin dimiliki atau dipindahkan kepemilikannya kecuali jika secara syariat boleh dipindahkan. Diantara jenis harta ini adalah wakaf yang oleh pewakafnya boleh dipindahkan, atau tanah yang terikat dengan baitul maal.
3. Boleh dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya, misalnya harta pribadi yang dilakukan akan jual-beli.
Urgensi dan Tujuan Konsumsi Islami
Beberapa hal yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah berkaitan dengan urgensi, tujuan, dan etika konsumsi. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Manusia diperintahkan untuk mengkonsumsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya, dan orang paling dekat di sekitarnya. Bahkan ketika manusia lebih mementingkan ibadah secara mutlah dengan tujuan ibadah (hadits puasa dahr dan 3 orang beribadah), telah dilarang dan diperintahkan untuk makan/berbuka. Dalam kondisi darurat dan dikhawatirkan bisa menimbulkan kematian, seseorang diperbolehkan untuk mengkonsumsi sesuatu yang haram dengan syarat sampai masa darurat itu hilang, tidak berlebihan dan pada dasarnya memang dia tidak suka (ayat).
ADVERTISEMENT
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampuannya dalam mengkonsumsi. Konsep ‘konsumen adalah raja’ menjadi arah bahwa aktivitas ekonomi khususnya produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan kadar relatifitas dari keinginan konsumen, di mana Al-Qur’an telah mengungkapkan hakekat tersebut dalam firman-Nya: “Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang” (Muhammad:2).
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memeperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan dikonsumsinya. Para fuqaha’ menjadikan memakan hal-hal yang baik kedalam empat tingkatan (Ibnu Muflih, 3:197-204). Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsumsi kadar ini – pdahal mampu – yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsumsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seorang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang
ADVERTISEMENT
Prinsip-prinsip Dasar dalam Konsumsi Menurut Islam
Konsumsi dalam Islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah / prinsip dasar konsumsi islami adalah (Al-Haritsi, 2006):
1. Prinsip Syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a. Prinsip Akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan / beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
b. Prinsip Ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
ADVERTISEMENT
c. Prinsip Amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram atau syubhat.
2. Prinsip Kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat islam, di antaranya:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat.
b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
3. Prinsip Prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu :
a. Primer : konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemashalatan pada dirinya, dunia, dan agamanya serta orang terdekatnya.
ADVERTISEMENT
b. Sekunder : konsumsi untuk menambah atau meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik
c. Tersier : untuk memenuhi konsumsi manusia yang lebih membutuhkan.
4. Prinsip Sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan umat : saling menanggung dan menolong sesama umat.
b. Keteladanan : memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi.
c. Tidak membahayakan orang lain : dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan mudharat kepada orang lain.
5. Kaidah Lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan potensi daya dukung sumber daya alam dan berkelanjutannya atau tdak merusak lingkungan.
6. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi prinsip-prinsip ekonomi islami bagi para pelakunya, antara lain :
a. Seseorang yang melakukan konsumsi harus beriman kepada kehidupan allah dan akhirat di man setiap konsumsi akan berakibat bagi kehidupannya di akhirat.
b. Pada hakikatnya semua anugerah dan kenikmatan dari segala sumber daya yang diterima manusia merupakan ciptaan dan milik allah secara mutlak dan akan kembali kepada-Nya (al-Baqoroh:29). Manusia hanya sebagai pengemban amanah atas bumi untuk memakmurkannya. Konsekuensinya adalah manusia harus menggunakan amanah harta yang telah dianugerahkan kepadanya pada jalan yang isyarat. Syariat islamiyyah dengan segala peraturan dan tatanan konsumsi yang termaktub dalam al-quran maupun as-sunnah. Keduanya merupakan sumber pijakan utama dalam akhlak perilaku berkonsumsi. “syariat islamiyyah telah menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram. “sesungguhnya yang halal itu adalah jelas dan yang haram itu adalah jelas”(HR Muslim). Tidaklah suatu perkara (kebaikan) yang mendekatkan kepada surga kecuali telah dijelaskan, dan tidaklah suatu perkara yang menjauhkan diri kalian dari neraka kecuali telah dijelaskan.”(HR Abu Dawud). Agama Islam telah sempurna dan diridhoi, sehingga tidak ada suatu perkara yang menyangkut agama islam kecuali telah dijelaskan. Manusia sebagai hamba ciptaan allah hanya tinggal menjalankan segala aturan yang telah ditetapkan.
ADVERTISEMENT
c. Tingkat pengetahuan dan ketakwaan akan mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang. Seseorang itu dinilai berdasarkan ketakwaannya. “sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi allah adalah yang paling bertakwa.” Seseorang tidaklah menjadi tinggi di sisi allah hanya banyaknya harta kekayaan yang dimilikinya. Bahkan seseorang yang kaya tapi sombong dengan kekayaan yang dimilikinya justru rendah kedudukannya. Seseorang yang bertakwa tahu bagaimana mensikapi harta.
Meskipun stariat telah melarang mengkonsumsi beberapa jenis barang, ternyata Allah masih meluaskan rahmat-Nya dengan memberikan kelonggaran ketika seseorang dalam keadaan darurat (emergency) menyangkut kehidupannya, maka dia boleh memakan sesuatu yang haram dengan syarat pada dasarnya tidak menginginkan dan tidak berlebihan (Al-An’am145). Dalam diri seorang muslim harus berkonsumsi yang membawa manfaat (aslahat) dan bukan merugikan (madhorot). Konsep maslahat menyangkut maqoshiq syariat (dien, nafs, nasl, aql, maal), aertinya harus memenuhi syarat agar dapat menjaga agamanya tetap muslim, menjaga fisiknya agar tetap sehat dan kuat, tetap menjaga keturunan generasi manusia yang baik, tidak merusak pola pikir akalnya dan tetap menjaga keturunan generasi manusia yang baik. Konsep maslahat lebih objektif karena bertolak dari al-hajat adhoruriyat (need), yaitu prioritas yang lebih mendesak. Konsumsi islami berjalan secara seimbang. Menunaikan nafkah yang wajib seperti zakat, infak, shodaqoh, wakaf, kaffaroh (tebusan) dan lainnya dalam urusan yang bermanfaat untuk mereka yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Konsumsi memang merupakan fitrah manusia dan menjadi hal penting dalam menjalankan hidupnya. Dalam konsumsi juga ada batasan-batasan yang harus dihindari, keterbatasan itu baik dari segi kemampuan harta, sumber daya maupun sesuai kebutuhannya. Oleh sebab itu Islam dengan teori konsumsinya membatasi konsumsi berdasarkan konsep harta dan konsumsi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam demi keberlangsungan dan kesejahteraan manusia itu sendiri dalam menjalankan kehidupannya di bumi agar menuntun seorang muslim untuk terhindar dari keharaman sehingga apapun yang di konsumsinya di bumi menjadi berkah juga di akhirat.
Bachtiar Hidayat
Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah dan Islam
Universitas Indonesia