Konten dari Pengguna

Keteladanan Pemimpin dalam Demokrasi

Agung Hendarto
Peneliti Senior Institut Harkat Negeri
24 September 2024 8:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Hendarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keteladanan pemimpin menjadi pondasi bagi tegaknya demokrasi yang adil dan transparan. Dalam sistem demokrasi, pemimpin tidak hanya berperan sebagai pengambil keputusan, tetapi juga sebagai teladan bagi masyarakat. Keteladanan ini menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik, integritas, serta akuntabilitas dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya, keteladanan pemimpin bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi, yakni transparansi, akuntabilitas, kejujuran, dan integritas. Ketika seorang pemimpin mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, masyarakat akan semakin percaya pada sistem pemerintahan yang ada dan lebih bersemangat berpartisipasi dalam proses politik. Sebaliknya, tanpa keteladanan, seorang pemimpin berisiko merusak kepercayaan publik, yang berpotensi memicu ketidakstabilan politik.
Contoh dari keteladanan yang buruk bisa dilihat dari kasus Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang. Pada tahun 2020, Abe mengundurkan diri setelah tersandung skandal favoritisme dalam pengadaan beasiswa. Meski Abe dikenal sebagai sosok pemimpin berpengaruh dengan agenda reformasi yang besar, kasus ini menggerus kepercayaan publik dan memaksanya untuk mundur. Insiden ini memperjelas bahwa keteladanan dalam hal etika dan transparansi sangat penting dalam mempertahankan kepercayaan masyarakat.
Shinzo Abe (Getty Images, BBC)
Kasus serupa terjadi di Korea Selatan. Mantan Presiden Park Geun-hye dilengserkan dari jabatannya pada 2017 setelah terlibat dalam skandal korupsi besar. Protes masif yang terjadi pada 2016 menunjukkan bagaimana keteladanan yang buruk dalam kepemimpinan bisa mempengaruhi kestabilan negara dan kepercayaan publik pada pemerintah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo juga menghadapi tantangan serupa terkait keteladanan dalam lingkup keluarga. Putra Presiden, Gibran Rakabuming Raka, yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo, menjadi sorotan publik terkait dugaan konflik kepentingan dalam beberapa proyek pemerintah di Solo yang melibatkan perusahaan yang memiliki hubungan dengan keluarganya. Meski tuduhan tersebut belum terbukti, persepsi negatif terhadap adanya benturan kepentingan dapat mencederai integritas pemerintahan.
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi putranya Gibran Rakabuming (kanan) menyalami warga di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (20/10). Foto: ANTARA FOTO/Rachman
Tidak hanya Gibran, perhatian publik juga tertuju pada Kaesang Pangarep, putra lainnya, serta menantu presiden, Bobby Nasution, yang belakangan disorot karena menggunakan jet pribadi. Isu ini, disertai dengan kekayaan yang bertambah pesat di kalangan keluarga presiden, menimbulkan persepsi adanya gratifikasi atau benturan kepentingan. Hal ini mengingatkan bahwa persepsi publik terhadap penyalahgunaan kekuasaan bisa menjadi ancaman serius bagi kepercayaan terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Keteladanan pemimpin tidak hanya berarti menghindari korupsi, tetapi juga mencegah situasi yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Setiap tindakan dan keputusan pemimpin harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan untuk menjaga kepercayaan publik.
Dalam konteks indeks demokrasi, Indonesia menghadapi tantangan serius. Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan, dari 6,10 pada 2021 menjadi 5,95 pada 2022, dan hanya sedikit naik menjadi 6,01 pada 2023. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit perbaikan, Indonesia masih bergulat dengan masalah transparansi dan akuntabilitas yang membayangi pemerintahan.
Sebagai perbandingan, Singapura, yang berada dalam kategori negara demokrasi tinggi, justru mengalami peningkatan indeks demokrasi dari 6,57 pada 2021 menjadi 6,66 pada 2023. Kenaikan ini menggambarkan perbaikan dalam aspek tata kelola dan transparansi, meski isu kebebasan politik masih menjadi sorotan di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tantangan yang dihadapi Indonesia juga menyentuh aspek iklim investasi. Rumitnya proses perizinan dan tingginya "biaya tambahan" menjadi hambatan signifikan bagi investor. Kondisi ini membuat lingkungan bisnis di Indonesia kurang menarik bagi investor asing. Kurangnya reformasi dalam birokrasi dan minimnya transparansi dalam proses perizinan memperburuk kepercayaan investor, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Banyak investor asing yang akhirnya memilih negara lain, seperti Malaysia, Vietnam, atau Filipina, yang menawarkan lingkungan bisnis yang lebih efisien dan bersih dari praktik-praktik yang tidak transparan. Jika tidak ada upaya reformasi yang serius, Indonesia berisiko kehilangan kesempatan investasi yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan nasional.
Secara keseluruhan, keteladanan pemimpin sangat penting dalam menjaga kepercayaan, mendorong partisipasi publik, dan menjaga stabilitas demokrasi. Pemimpin harus berkomitmen untuk menjalankan peran mereka dengan integritas yang tinggi, serta mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati. Dengan keteladanan, Indonesia dapat memperkuat demokrasi, menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, dan memastikan pemerintahan yang efektif dan berintegritas.
ADVERTISEMENT