Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kampanye "Terselubung": Politik Medsos yang Tak Terlihat tapi Menggerakkan
30 April 2025 8:09 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Bagas Aidil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di balik linimasa politik yang tampak penuh warna, sering kali kita tak sadar sedang digiring oleh narasi yang sudah dirancang. Media sosial, yang dulu dipuja sebagai ruang bebas berekspresi, kini menjadi medan kampanye politik terselubung yang semakin canggih. Istilah “shadow campaign” mengacu pada strategi kampanye digital yang tak kasat mata menggunakan buzzer, bot, hingga iklan berbayar terselubung yang diam-diam membentuk opini publik tanpa disadari. Praktik ini bukan hal baru, tapi skalanya kini jauh lebih masif. Pada masa kampanye pemilu, kita bisa melihat lonjakan konten politik di media sosial. Tapi tak semuanya organik. Banyak akun yang menyebarkan narasi tertentu secara serempak, menggunakan gaya bahasa yang mirip, bahkan menyebar informasi yang tak terverifikasi. Tujuannya bukan sekadar menyampaikan visi, tapi membentuk persepsi, bahkan memanipulasi emosi publik.
ADVERTISEMENT
Masalahnya adalah, kampanye terselubung ini sulit dilacak. Mereka tidak tampil dalam baliho atau debat publik, melainkan bersembunyi di balik akun anonim, komentar otomatis, atau konten yang dikemas seolah-olah netral. Dengan bantuan algoritma, pesan-pesan politik ini bisa diarahkan secara spesifik ke kelompok sasaran misalnya pemilih muda atau komunitas tertentu dengan pendekatan yang disesuaikan.
Ini menciptakan ruang demokrasi semu. Publik merasa bebas memilih, padahal sudah terpengaruh oleh narasi yang dimasukkan secara sistematis. Bahkan tak jarang, shadow campaign ini berisi hoaks, kampanye hitam, atau framing yang memperkuat polarisasi.
Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab? Platform media sosial sering berdalih bahwa mereka hanya penyedia ruang, bukan pengatur konten. Di sisi lain, regulasi pemerintah soal kampanye digital masih tertinggal dari kecepatan teknologi. Maka aktor-aktor politik bisa bebas bermain di zona abu-abu, tanpa pengawasan ketat dan tanpa transparansi.
ADVERTISEMENT
Yang paling dirugikan tentu masyarakat. Ketika ruang publik digital dipenuhi kampanye terselubung, maka kualitas demokrasi ikut tergerus. Warga sulit membedakan mana opini murni dan mana pesan yang disusupi kepentingan. Proses pengambilan keputusan termasuk saat memilih jadi kabur oleh manipulasi algoritmik dan propaganda tersembunyi.
Sudah waktunya kita waspada. Publik perlu lebih kritis terhadap apa yang mereka konsumsi di media sosial, terutama menjelang pemilu. Edukasi literasi digital harus jadi prioritas, bukan hanya untuk anak muda, tapi semua kalangan. Pemerintah juga harus berani membuat aturan yang adaptif terhadap pola kampanye digital, dengan transparansi dana kampanye dan jejak digital sebagai bagian dari evaluasi.
Demokrasi yang sehat butuh ruang publik yang jujur. Dan untuk itu, shadow campaign harus dibongkar dari bayang-bayang.
ADVERTISEMENT