Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
5 Alutsista TNI dengan Efek Deteren yang Tinggi
20 Maret 2018 17:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam periode 2013-2017 Indonesia mengalami kenaikan transaksi impor senjata sebesar 193 % dari periode 2008-2013 (SIPRI) . Secara geopolitik, peningkatan tersebut terjadi menyusul isu konflik Laut China Selatan, terorisme, dan pelanggaran-pelanggaran pertahanan keamanan yang terjadi di Kawasan Regional ASEAN dan Nasional. Selain itu, adanya program Kebijakan nasional bidang pertahanan keamanan yang termuat dalam RPJMN KEMHAN 2010-2014 untuk membangun Aalat Utama Sistem Persenjataan (Alustista) TNI sesuai dengan Minimum Essential Force (MEF) 2010-2024.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan informasi dari SIPRI Arms Transfer Database 2013-2017, Indonesia telah melakukan transaksi senjata ke sejumlah negara. Senjata-senjata tersebut dikirim untuk memenuhi kebutuhan modernisasi Alutsista TNI yang meliputi tiga matra. Beberapa diantaranya mengalami proses pengadaan yang panjang karena harus melalui proses pertimbangan yang matang berdasarkan faktor bugdet, transfer of technology , kebutuhan di dalam TNI sebagai operator dan efek deteren yang dihadirkan jika Indonesia memiliki alutsista tersebut. Namun senjata-senjata tersebut juga memiliki peran strategis terhadap posisi Indonesia di kawasan. Berikut ini penulis telah merangkum beberapa senjata yang telah dibeli pemerintah Indonesia dan memiliki nilai tawar yang tinggi.
1. Su-35S Flanker
Akhir-akhir ini telah ramai berita yang menyebutkan Indonesia membeli sebanyak 11 pesawat tempur Su-35S dari Rusia. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari laman milavia.net, pesawat tempur produksi pabrikan KNAAPO, Rusia ini merupakan varian terkini dari varian Flanker. Su-35 pertama kali terbang pada Mei 1988. Pada dasarnya Su-35 merupakan pengembangan dari Su-27S Flanker-B, nama varian resminya adalah Su-27M. Pengembangan Su-27M ini meliputi mesin yang lebih bertenaga namun dengan konsumsi bahan bakar yang lebih irit, daya manuveribilitas yang lebih lincah dan perangkat avionik yang lebih baik. Pada pengembangan berikutnya, Su-27S/Su-35 dikonversi menjadi beberapa varian, yaitu Su-37 (technology demonstrator), Su-35 BM dan Su-35S. Pada ajang Paris Air Show 2013, Su-35S pertama kali unjuk gigi dengan kemampuan manuverbilitas yang dinilai oleh ahli aviasi tidak dapat dilakukan oleh pesawat tempur sekelasnya dan kemampuan itu menjadikan Su-35S mampu menandingi kemampuan air supremacy dari F-22 Raptor Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya isu pengadaan pesawat tempur Su-35S untuk TNI AU pertama kali telah muncul pada September 2015. Disebutkan dalam majalah Angkasa Edisi Koleksi 2015, negoisiasi awal antara pemerintah Indonesia dan pabrikan KNAAPO Rusia sebagai produsen Su-35 dimulai pada Oktober-November 2015. Diketahui bahwa TNI AU membutuhkan pengganti pesawat F-5E Tiger dari Skadron 14 Lanud Iswahyudi Madiun yang telah di-grounded.
Dilansir dari janes.com bahwa TNI AU membutuhkan pesawat tempur pengganti F-5E Tiger dari generasi 4.5 yang memiliki peran multirole dan mampu melakukan patroli maritim. Selama proses pengadaan tersebut, tercatat ada beberapa kandidat kuat jet fighter yang menjadi pesaing ketat Su-35S sebagai pengganti F-5E Tiger TNI AU, di antaranya yaitu, Lockheed Martin F-16 Fighting Falcon Advanced Variants (US), Eurofighter Typhoon, Dassault Rafale (Prancis), dan Saab JAS-39E/f Gripen (Swedia).
Dalam proses pengadaan sempat mengalami kendala dalam hal transfer teknologi dan pendanaan. Dilansir dari janes.com dalam Indonesia’s Su-35 programme faces offset hurdle (8/5/2017) yang menyebutkan Kementerain Pertahanan RI mengonfirmasi jika proses pembelian pesawat Su-35 telah tertunda karena masalah transfer teknologi. Namun pada 18 Mei 2017, Menteri Perindustrian Indonesia, Enggartiasto Lukita mengatakan bahwa Kementerian Pertahanan berencana membeli pesawat tempur Sukhoi dengan skema transaksi barter dengan komoditas lokal (19/5/2017) janes.com. Setelah itu barulah proses pembelian pesawat tempur ini dapat menemui titik cerah. Pada 14 Februari 2018 Kementerian Pertahanan telah mengonfirmasi menandatangani kontrak dengan Rusia atas pesawat Su-35 sebanyak 11 unit. Nilai kontrak tersebut dilansir dari SIPRI mencapai 1,1 Miliar dolar AS dengan skema 570 juta dolar AS dibayarkan dalam bentuk komoditas dan 35% sisanya secara offset.
ADVERTISEMENT
Ketertarikan Kementerian Pertahanan dengan Su-35S sebenarnya berasal dari dalam TNI AU sendiri. Su-35 dipandang oleh sejumlah perwira menengah TNI AU tidak hanya memiliki daya genpur yang tinggi, keunggulan kecepatan dan jangkauan terbang Su-35S cocok untuk Indonesia yang wilayahnya terbentang luas. Selain itu sebelumnya Indonesia juga telah memiliki varian terdahulu Su-35, yaitu Su-27 SKM dan Su-30MK2. Jadi dari TNI AU sendiri telah berpengalaman dengan teknologi dari varian flankers tersebut dan dengan begitu dari segi operasional, maintance dan pelatihan flight crew dan ground crew akan lebih efektif dan efisien.
2. Kapal Perusak Kawal Rudal (PKR) SIGMA 10514
Kapal Perusak Kawal Rudal (PKR) SIGMA 10514 merupakan kapal perang kelas Fregat produksi galangan kapal Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS), Belanda. Penandatanganan kontrak telah dilakukan antara Kementerian Pertahanan RI dan pihak DSNS pada 2 Juni 2012 di Jakarta. Indonesia membeli sebanyak 2 Kapal PKR SIGMA 10514 dengan nilai kontrak mencapai 220 juta dolar AS.
ADVERTISEMENT
Kapal ini memiliki fungsi kapal multiperan sebagai kapal kombatan dan mampu melakukan operasi selain perang, seperti operasi bantuan bencana alam dan misi SAR. Sebagai kapal kombatan, PKR 10514 didesain mampu melaju hingga 28 knot dan mampu untuk melakukan peperangan anti kapal, anti kapal selam, anti serangan udara dan electronical warfare.
Dihimpun dari damen.com, PKR 10514 memiliki sistem persenjataan seperti meriam utama kaliber 76 mm, Close in Weapons System (CIWS), 2 machine gun kalber 12,7 mm, 2 SSM launchers, 12 tabung vertical launchers systems, 2 triple torpedo launchers, 2 decoys/chaff systems, dan ECM. Sementara untuk sensor dan sistem radar, kapal ini dilengkapi dengan 3D surveillance & target indicatoin radar & IFF, Radar/ electro-optical fire control, Hull mounted sonar, dan ESM.
Kapal pertama dari kelas ini diresmikan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 7 April 2017 di Dermaga Pondok Dayung TNI AL, Tanjung Priok, Jakarta Utara (kemhan.go.id). Kapal PKR 10514 pertama diberi nama KRI Raden Eddy Martadinata-331. Kapal kedua diberikan nama KRI I Gusti Ngurah Rai-332 dan telah diresmikan pada 10 Januari 2018 oleh Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto di Dermaga Timur Benoa, Denpasar, Bali.
ADVERTISEMENT
Pilihan Indonesia kepada kapal ini bukan tanpa alasan. Hubungan Indonesia dan Belanda dalam pengadaan Alutsista matra laut memang telah menunjukkan rekam jejak yang baik. Dilansir dari majalah Angkasa Edisi Khusus 2013 menyebutkan, sejumlah program kerjasama dalam pengadaan kapal perang Indonesia dengan Belanda telah terjalin, di antaranya Proyek Korvet tahun 1980, Proyek Van Speijk tahun 1990 dan Proyek Korvet kelas SIGMA tahun 2004-2008. Kapal PKR 10514 memiliki panjang 105 m dan lebar 14 m dan diproduksi dengan sistem perancangan Ship Integrated Geometrical Modularity Approach (SIGMA). Sistem ini juga telah berhasil diaplikasikan oleh DSNS ketika membuat 4 Korvet SIGMA kelas Dipenogoro untuk TNI AL sebelumnya.
Proyek PKR 10514 ini juga merupakan jawaban pemerintah RI dari program Korvet Nasional yang sebelumnya merupakan lanjutan dari Proyek Korvet SIGMA. Dari sebanyak 4 Kapal Korvet SIGMA kelas Dipenogoro yang telah diproduksi, seharusnya dilanjutkan dengan transfer of technology produksi Korvet SIGMA kelima di PT. PAL. Namun program yang telah digagas sejak tahun 2002 itu tidak dapat terlaksana. Proses produksi PKR 10514 juga dilakukan di tiga lokasi, yaitu di DSNS Vlissingen (Belanda), DSNS Galatz (Rumania), dan di PT. PAL. Produksi dilakukan dengan porsi DSNS Belanda memproduksi 2 modul/bagian kapal, DSNS Rumania memproduksi 1 modul, dan empat modul diproduksi oleh PT. PAL. Dengan pola produksi tersebut, saat ini PT. PAL tidak hanya memiliki kesempatan untuk mampu memproduksi kapal kelas Korvet, namun juga mampu menjajal produksi kapal tempur Fregat dalam negeri, sehingga mampu mendukung cita-cita angkatan laut Indonesia sebagai World Class Navy.
ADVERTISEMENT
3. DSME 209/1400 Chang Bogo
Sejarah singkat Kapal Selam Indonesia dimulai sejak tahun 1959 saat armada ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia-sebelum berganti menjadi TNI AL) mengakuisi 12 Kapal Selam kelas Whiskey dari Uni Soviet untuk memperkuat kedudukan Indonesia dalam Operasi Trikora di Irian Barat. Setelah tahun 1970 sebagian besar armada Whiskey telah dinyatakan tidak laik operasional dengan status grounded. Kondisi tersebut terjadi akibat gejolak politik pasca 1965 yang menyebabkan hubungan diplomasi Indonesia dan Uni Soviet terputus, serta berdampak pada embargo militer Indonesia terhadap senjata dan suku cadang dari blok timur. Pada tahun 1979 armada laut Indonesia mendatangkan sejumlah Alutsista baru dari negara barat, yaitu Fregat kelas Claud Jones dari AS, Fregat kelas Fatahillah dan kelas Van Speijk dari Belanda, kapal selam kelas U-209/1300 dari Jerman Barat, fregat kelas Tribal dari Inggris serta Korvet kelas Ki Hadjar Dewantara dari Yugoslavia.
ADVERTISEMENT
Selama hampir 32 tahun armada kapal selam hanya diisi oleh 2 kapal selam U-209/1300 dari Jerman Barat. Dua kapal selam tersebut bernama KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402. Kenyataan bahwa dengan wilayah yang luas dan berpredikat sebagai negara maritim, sangat mustahil jika wilayah bawah laut Indonesia hanya dijaga oleh dua kapal selam dengan teknologi peninggalan Perang Dunia ke-2. Kondisi tersebut bertahan akibat embargo militer yang dilakukan sejumlah negara barat atas dampak pelanggaran Hak Asasi Manusia Indonesia dari insiden Dili 1991 dan krisis moneter 1998 yang menyebabkan alutsista Indonesia semakin terpuruk dan kedaulatan negara dipertaruhkan.
Modernisasi kapal selam Indonesia baru mengalami titik terang setelah pada 21 Desember 2011 terjalin kerjasama antara Kemhan RI dan DSME (Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering) Korea Selatan untuk pengadaan tiga unit kapal selam 209/1400 Chang Bogo Class (ARC - arcinc.id). NIlai kontrak ketiga kapal selam tersebut mencapai 1,4 miliar dollar AS. Dalam pembelian tersebut tercantum kerjasama transfer teknologi antara DSME dan PT. PAL di mana dalam proses produksi kapal selam pertama dan kedua dibangun di Korea Selatan dan produksi ketiga dibangun di PT.PAL. Untuk mendukung transfer teknologi itu, PT.PAL telah mengirimkan 200 sumber daya manusia untuk mempelajari pembuatan kapal selam di Korsel (Eko Prasetyanto, Director of Planning and Business Development PT.PAL dalam wawancara dengan redaksi Angkasa tahun 2014).
ADVERTISEMENT
Dilansir dari majalah Cakrawala Eidisi 425 tahun 2015, desain DSME 209/1400 merupakan pengembangan tipe U-209 buatan Jerman yang sudah familiar di lingkungan TNI AL. Korsel melakukan pengembangan antara kapal selam 209/1200 Chang Bogo milik Korsel dengan kapal selam 209/1300 yang merupakan jenis Cakra Class milik TNI AL. Perpaduan tersebut menghasilkan kapal selam 209 dengan bobot 1400 ton dengan pengembangan daya tahan beroperasi mencapai 50 hari dengan daya jangkau mencapai 10.000 mill dan mampu menyelam hingga 250 meter, sistem sonar Flank Array Sonar dan sistem persenjataan yang meliputi 8 buah 533 mm Blackshark torpedo launchers, missiel launchers systems, dan decoy systems.
Sejak tandatangan kontrak hingga saat ini, telah terelisasi satu buah kapal selam DSME 209/1400 yang telah diresmikan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizaard Ryacudu pada 2 Agustus 2017 di galangan DSME, Okpo, Korea Selatan (kemhan.go.id). Kapal selam yang diberi nama KRI Nagapasa 403 dan menjadi kapal selam ketiga TNI AL tiba di Indonesia pada 28 Agustus 2017. Untuk kapal selam kedua dan ketiga hasil kerjasama DSME dan PT.PAL akan selesai pembuatannya pada tahun 2018 dan 2019. Masing-masing kapal selam tersebut akan diberi nama KRI Trisula 404 dan KRI Nagarangsang 405.
ADVERTISEMENT
4. F-16 C/D Fighting Falcon Block 52ID
Kiprah F-16 Figthing Falcon sebagai alutsista tempur di TNI AU telah berusia hampir 30 tahun. F-16 pertama yang masuk ke dalam inventori TNI AU berasal dari varian F-16 A/B Block 15 OCU (Optional Capability Upgrade). Dalam Program bertajuk Peace Bima Sena itu, pemerintah Indonesia membeli sebanyak 12 pesawat F-16 A/B Block 15 OCU. Nilai kontrak pembelian tersebut sebasar 337 juta dolar AS, dengan hak offset sebesar 35% untuk memberikan lisensi produksi beberapa suku cadang kepada IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia).
Selama 12 Desember 1989-22 September 1990, 12 F-16 A/B Block 15 OCU itu tiba di Indonesia secara ferry flight dari AS. Pengadaan 12 F-16 A/B Block 15 OCU untuk menggantikan armada OV-10 Bronco TNI AU di Skadron Udara 3 Lanud Iswahyudi. Dari 12 pesawat, 2 diantaranya telah mengalami total loss akibat kecelakaan pada tahun 1992 di Trenggalek yang menimpa pesawat beregistrasi TS-1604 dan tahun 1997 yang menimpa TS-1606 yang jadi di Lanud Halim Perdana Kusuma.
ADVERTISEMENT
Momeri Program Peace Bima Sena itu terulang kembali setelah 20 tahun pengabdian F-16 Fighting Falcon kepada Ibu Pertiwi. Pada tahun 2010 muncul tawaran hibah sebanyak 24 pesawat F-16 C/D Block 25 dari AS. Tawaran tersebut mendapat banyak pro dan kontra dari pejabat Komisi I DPR dan para insan aviasi Indonesia. Wajar saja untuk sebuah pembelian pesawat bekas yang kemudian muncul pertanyaan bagaimana kondisinya, apakah masih laik terbang dan berapa lama sisa jam terbangnya.
Sebelumnya TNI AU telah memiliki opsi untuk membeli 6 pesawat F-16 Block 52 terbaru dengan harga 60-65 juta dollar per pesawat untuk melengkapi 10 pesawat F-16 A/B Block 15 OCU yang berpangkalan di Lanud Iswahyudi, Madiun. Namun untuk mengoperasikan 2 pesawat dari varian berbeda dalam sebuah skadron membutuhkan biaya yang lebih kompleks terkait dengan infrastruktur, sumber daya manusia, dan sarana pendukung lainnya. Selain itu juga untuk memproduksi 6 pesawat F-16 Block 52 dibutuhkan waktu paling tidak 5 tahun hingga pesawat siap dikirimkan. Keadaan yang dialami TNI AU saat itu dengan situasi regional harus segera mengisi skadron patroli tempur yang dapat mencakup wilayah Indonesia Barat dan Tengah yang berpangkalan di Skadron Udara 16 Pekan Baru, Riau. Untuk itulah muncul opsi untuk memaksimalkan program hibah 24 F-16 Block 25 yang diregenerasi setara dengan Blok 52.
Pada dasarnya 24 F-16 C/D Block 25 yang dihibahkan AS melalui Program Excess Defence Article (EDA) ini merupakan pesawat bekas pakai US Air National Guard. Pesawat produksi tahun 1980an ini juga digunakan Skadron Pendidikan di bawah 56th Operation Group di Luke Air Force Base. Karena masalah krisis keuangan pemerintah AS, berdampak pada efisiensi anggaran di dalam tubuh AU AS. Pesawat-pesawat itu kemudian diistirahatkan di Davis Monthan Air Force Base, Arizona, AS. Dengan kondisi apa adanya tersebut, pemerintah AS menganjurkan kepada pemerintah Indonesia untuk meretrofit pesawat-pesawat F-16 C/D Block 25 tersebut agar dapat kembali dalam kondisi siap pakai dan kemampuannya ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sumber yang dihimpun dari majalah Angkasa Edisi Koleksi 2015, pada 12 Januari 2012 pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Pertahanan dan beberapa delegasi Mabes TNI, serta Kementerian Keuangan menandatangani kontrak pembelian sebanyak 24 pesawat F-16 C/D Block 25 yang termuat ke dalam proyek Peace Bima Sena II. Nilai kontrak yang dilansir dari SIPRI mencapai 650-750 juta dollar AS dengan rincian sebanyak 19 F-16 C (single seat) dan 5 F-16 D (double seat) Block 25, dan tambahan 4 pesawat F-16 C/D dan 2 pesawat F-16 A Block 15 untuk mendukung regenerasi 24 pesawat F-16 C/D yang dilaksanakan di Depo, Hill Air Force Base, Amerika Serikat.
Pesawat F-16 C/D Block 25 yang dihibahkan AS kepada Indonesia dengan syarat biaya regenerasi ini sejatinya memang memiliki rangka Block 25. Istilah Block 52ID muncul setelah pesawat F-16 C/D Block 25 pembelian Indonesia itu dimodifikasi beberaoa sistem dari Block 52 yang meliputi avionik, struktur, dan mesin. Dari segi avionik yang digunakan, F-16 C/D Block 52ID telah diintegrasikan sistem avionik yang juga digunakan pada pesawat tempur F-16 Block 52, F-16 Bolck 6 Viper dan, F-35. Selain itu dengan sistem avionik tersebut membuat F-16 C/D Block 52ID mampu membawa semua persenjataan F-16, termasuk pula AMRAAM, JDAM, dan AIM-9X.
ADVERTISEMENT
5. MBT Leopard 2 RI
Berbicara mengenai kesatuan kavaleri TNI AD tentunya akan mengarah kepada Kesatuan Kavaleri Kostrad. Saat ini Kostrad TNI AD memliki 2 batalyon kavaleri yang masih berkonsentrasi di Pulau Jawa. Yonkav-1 /Badak Ceta Cakti bermarkas di Cijantung, Jakarta, dan berada di bawah Satuan Divisi Infantri 1 Kostrad, sementara Yonkay-8 / Narasinga Wira Tama berlokasi di Pasuruan, Malang, Jawa Timur dan berada di bawah Satuan Divisi Infantri 2 Kostrad.
Dilansir dari Majalah Angkasa Edisi Koleksi Kostrad: Pasukan Pemukul Terbesar, bahwa sejak pertama kali berdiri pada 15 April 1950, Kesatuan Kavaleri Kostrad hanya dilengkapi dengan kendaraan tank yang masuk ke dalam kelas tank ringan (light tank). Sebut saja M3A3 Stuart, Otter Body Car, dan M8 Greyhound yang aktif pada masa awal 1950.Periode tahun 1960-1980an dalam suasana Trikora dan Dwikora Kavaleri Kostrad mengakuisi Panhard EBR/FL-11, Tank AMX-13 75/105 mm dan PT-76. Untuk PT-76 kemudian masuk ke dalam lini Kavaleri Marinir TNI AL. Pada masa tahun 1990an TNI AD mendatangkan Tank Scorpion-90 light tank dari Inggris. Masing-masing gelombang terdiri atas 35 unit Tank Scorpion dan 15 unit APC (armoured Personal Carrier) Stormer yang datang dalam 2 gelombang mulai tahun 1995.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar tank-tank tersebut dapat memberikan rekam jejak yang positif dalam beberap konfilk di dalam negeri. Namun seiring juga berjalannya waktu, keadaan kawasan regional di sekitar Indonesia juga harus menjadi perhatian. Kavaleri di tubuh angkatan darat juga membutuhkan tank yang berperan sebagai pemukul utama untuk membantu pergerakan prajurit infantri dalam sebuah peperangan konvensional. Selain perkembangan senjata kavaleri di kawasan ASEAN akhirnya juga mau tidak mau membuat Indonesia melakukan perimbangan dengan menimbang pengadaan Main Battle Tank (MBT) Leopard 2A4.
Pada tahun 2012 pengadaan MBT Leopard 2A4 dari Jerman oleh pemerintah Indonesia menunjukan titik terang setelah kunjungan Kanselir Jerman Angela Merkel. Dilansir dari kemhan.go.id bahwa pembelian MBT Leopard dari Belanda tidak diteruskan dan Indonesia beralih untuk membeli 103 unit Tank Leopard dan 50 unit Infantry Fighting Vehicle (IFV) Marder dari Jerman dengan anggaran sebesar 280 Juta dollar Amerika Serikat. Secara lebih spesifik janes.com menyebutkan bahwa kontrak pembelian Tank Leopard oleh pemerintah Indonesia telah diteken pada bulan Desember 2012 yang meliputi 61 unit Tank Leopard 2 RI, 42 unit Tank Leopard 2A4 dan 50 unit IFV Marder 1A3. Selain itu juga termasuk 11 unit Armoured Recovery and Engineering Vehicles. Perlu diketahui bahwa semua paket tersebut merupakan Alutsista bekas pakai AD Jerman, namun telah mengalami modifikasi dan peremajaan teknis sesuai dengan kesepakatan kontrak.
ADVERTISEMENT
Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa Leopard 2 RI merupakan pengembangan dari MBT Leopard 2A4 yang dimodifikasi dengan fitur-fitur Rheinmetall MBT Revolution, RI merupakan callsign dari Republik Indoneisa. MBT Leopard 2A4 untuk Indonesia telah dirombak dengan penambahan sistem pendingin udara untuk penggunaan di daerah tropis. Dalam kurun waktu 2013-2017, keseluruhan paket MBT Leopard dan IFV Marder Indonesia telah datang dalam 3 gelombang melalui jalur laut.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pembelian MBT Leopard TNI AD kepada Belanda sempat mengalami kendala, oleh karena itu kemudian Indonesia beralih untuk membeli MBT Leopard dari Jerman. Dalam majalah Commando "Leopard 2 Heavy & Mighty menyebutkan bahwa kendala tersebut dikarenakan Belanda yang masih menilai Indonesia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh dan di Timor Timur. Selain itu kendala lainnya juga muncul di Komisi 1 DPR RI. Bobot Tank Leopard yang mencapai 64 ton dinilai tidak sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki struktur tanah yang lunak dan kondisi aspal yang diyakini tidak mampu menahan berat tank. Anggapan tersebut kemudian terbantahkan, karena prinsip roda rantai dari sebuah tank memang dirancang dapat melewati medan berlumpur dan lunak. Sedangkan dengan roda rantai, Tank Leopard dapat mengurangi volume bobotnya ketika melewati aspal. Menurut penulis melihat kebutuhan TNI AD yang harus semakin memperbarui Alutsistanya sesuai dengan perkembangan geopolitik dan geostrategik di kawasan regional Asia Tenggara, membuat MBT Leopard 2A4 menjadi pilihan yang tepat dan memiliki efek deteren yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Itulah beberapa Alutsista TNI yang dinilai memiliki efek deteren yang tinggi. Beberapa diantaranya memang telah diakuisisi dalam keadaan second hand, akan tetapi semuanya telah dimodernisasi ulang yang sesuai dengan standar Kementerian Pertahanan dan TNI sebagai operator. Membeli sebuah senjata dalam konteks negara sebagai subjek memang tidak hanya ditentukan berdasarkan faktor politis semata. Dunia telah bergerak menuju ke arah yang lebih terbuka. Di sinilah peran Indonesia sebagai negara dengan politik luar negeri bebas aktif diperhitungkan. Tidak ada lagi istilah "kawan lama" dan "musuh". Tanggungjawab melindungi warga negara harus dipikirkan berdasarkan kepentingan nasional yang tidak memihak dan objektif. Oleh karena itu diplomasi dalam pengadaan alutsista harus dilakukan dengan siapa aja selama itu sesuai dengan tiga prinsip, transparansi, transfer of technology dan efek deteren.
ADVERTISEMENT