Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ceritaku di kumparan: Liputan Menantang hingga Sertifikasi Wartawan
12 November 2018 10:45 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi wartawan. (Foto: Pixabay)
Genap 4 bulan setelah bergabung di kumparan, tepatnya 25 Agustus 2018, saya mengikuti program Uji Kompetensi Wartawan. Ya, sebagai media online yang mengusung konsep platform kolaborasi media, kumparan juga ingin mengukuhkan kualitas wartawan-wartawannya.
ADVERTISEMENT
Eitts, tapi bukan itu yang akan saya bahas lebih dulu. Kita flashback sedikit beberapa hari sebelum sertifikasi wartawan itu--yang belakangan sering disebut “uji kehalalan jadi wartawan”- dimulai.
Ini pengalaman saya waktu pertama kali liputan setelah mengemban predikat jurnalis di kumparan. Kenapa pertama kali? Sebab, sehari-hari saya bertugas sebagai Collaboration Officer yang bersentuhan langsung dengan tulisan-tulisan user dan publisher kumparan. Artinya, saya tak bertugas di lapangan.
Meski begitu, saya langsung mendapat tugas liputan yang menurut saya luar biasa dan menantang. Ya, dari kampus (sebutan markas kumparan) di Jalan Jati Murni, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, saya harus terbang ribuan kilometer jauhnya ke timur Indonesia, tepatnya menuju Dusun Tatinang di Pulau Seram Barat, Maluku.
Kartu pers ajaib. (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, wartawan ‘kemarin sore’ yang sebelumnya hanya punya pengalaman 4 bulan jadi reporter liputan paketan di salah satu tv swasta dalam program reality show pula, langsung dikirim ke daerah terpencil.
Waktu itu, tengah hari, 6 Agustus 2018. Baru genap 15 menit tiba di ruangan dan duduk, Mas Gaga, redakturku, nyeletuk. Begini kira-kira:
“Gas, nanti 21-24 Agustus kamu liputan ke Seram ya,” tegasnya.
“Oke, Mas,” jawab saya lugas.
Entah apa yang saya pikirkan kala itu, begitu redaktur kasih tahu, saya sama sekali tak bisa menolak. Singkat cerita, rasa gugup sampai ke abun-abun datang sampai hari itu tiba, hati ini terus mengulang tanya, “Duh Gusti, bisa ngga ya?”, “Waduuuh, harus gimana ini?” Tapi, dengan masukan beberapa teman dan redaktur yang siaga membimbing, saya siap jadikan liputan ini sebagai pengalaman berharga.
Masjid dan Balai Dusun Tatinang. (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Selama di Pulau Seram, saya ditugaskan meliput penyaluran hewan kurban oleh salah satu lembaga amal. Ya, hewan kurban. 22 Agustus 2018 bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha 1439 Hijriah. Itulah pertama kalinya dalam hidup saya, merayakan Idul Adha tanpa keluarga, di timur Indonesia. Kala itu juga saya jadikan sebagai momentum penempaan diri untuk belajar hidup mandiri.
Kesan Pertama Tiba di City of Music
20 Agustus 2018, pukul 7:30 WIT, saya tiba di Bandara Pattimura, Ambon, bersama tim media lain dan langsung menuju ke arah barat menuju Pulau Seram. Kalian tahu yang pertama kali saya rasakan selama perjalanan? Ya, keindahan alam Indonesia Timur.
Maluku punya pemandangan alam yang terdiri kepulauan dan lautan, dengan vegetasi daerah tropis yang khas. Siang hari, pemandangan pantai terhampar. Malamnya, bintang-bintang nampak jauh lebih jelas berkilauan menjaga malam.
Pemandangan pantai pasir putih di Pelabuhan Liang. Airnya yang bening seolah mengundang untuk berenang. (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Waktu itu, kami tiba di Pelabuhan Liang untuk menyeberang ke Pelabuhan Waipirit. Ferry kami masih lego jangkar tapi pemandangan pantai dan gugus pulau tanah Maluku sudah menunggu diabadikan. Langsung saja, jepret sana, jepret sini.
Selama perjalanan ferry, kami disuguhi dengan musik berbahasa Ambon yang sengaja disetel oleh pedagang di kapal. Bisa karaoke, dan banyak juga penumpang yang menjajal, lho. Menariknya, dari semua penumpang lokal yang menyanyi, hanya suara bagus yang saya dengar, hahaha. Jadi, pantas saja kalo Maluku dijuluki sebagai “Ambon City of Music.”
Suasana santai di atas Ferry. (Foto: Dok. Pribadi)
Naik Perahu bersama Sapi
20 Agustus 2018, setelah kurang lebih 6 jam perjalanan darat-laut-darat dari Ambon, kami tiba di Piru. Sudah sampai? Ya, sudah sampai Seram Barat, tapi Dusun Tatinang masih ada di seberang selat, jadi harus naik perahu kecil--warga setempat menyebutnya Donson. Biasa saja? Kalau yang naik cuma manusia, tentu biasa. Namun, kami harus naik bersama sapi. Alamaaak!
ADVERTISEMENT
Kebetulan, waktu itu kami tiba bersamaan dengan datangnya sapi yang memang akan disalurkan ke Dusun Tatinang. Untuk menghemat bensin, terpaksa kami harus berbagi tumpangan dengan sapi. Meski diikat, si sapi berontak selama perjalanan karena dalam keadaan stres berat setelah perjalanan panjang.
Alhasil, sambil menatap Dusun Tatinang yang terlihat dari kejauhan selama 30 menit di atas Donson, seketika kami orang kota langsung ingat Tuhan, mengucap asma-Nya, sambil memegang apa pun di sekitar agar tak tercebur.
Lantas, para pemuda setempat yang ikut naik Donson tertawa kekikikan melihat kelakuan kami yang (mungkin) menurut mereka aneh. Pikir saya: "Jelas saja, mereka kan sudah biasa, hahaha".
Pemuda Dusun Tatinang bergotong royong menurunkan sapi dari Donson, Alhamdulillah kami juga selamat. (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Masalah Sepele tapi Fatal: Kendala Sinyal
Pertama kali ditugaskan liputan jauh membuat ada saja hal yang terlupakan. Yang paling terasa bodoh adalah ketika saya tak menyadari kalau kendala di daerah-daerah pelosok, terutama seperti di Dusun Tatinang adalah masalah sinyal ponsel.
Ya, ketika tiba di Tatinang, saya kelimpungan bukan main, karena provider ponsel yang sama sekali tak dapat sinyal. Belum memberi kabar keluarga, dan paling fatal tak bisa mengirim foto, video, dan berita ke redaktur. "Aduuuh gimana ini?", "Mati deh nih", kalimat-kalimat itu terus berputar di benak. Sungguh, menyebalkan sekali kalau diingat-ingat.
Kendala itu baru bisa terselesaikan saat malam hari, 21 Agustus 2018. Saya dibelikan kartu perdana ponsel oleh salah satu warga bernama Pak Adi. Di sinilah pentingnya komunikasi dengan warga sekitar saat liputan. Jalin komunikasi dengan orang di sekitar, karena jika butuh bantuan, mereka yang paling bisa diandalkan. Jangan malu dan ragu bertanya!
ADVERTISEMENT
***
Saya bersama tim media dan official Dompet Dhuafa. (Foto: Dok. Istimewa)
Selama meliput Dusun Tatinang, saya menemukan banyak hal yang turut membuka diri dan wawasan. Saya belajar bertahan hidup di daerah terpencil, makan ikan tiap hari, mengenal kearifan lokal, dan berinteraksi dengan warga sekitar.
Di Liputan Dusun Tatinang juga saya banyak mengenal orang-orang hebat dari rekan-rekan sesama media. Kami banyak berdiskusi mengenai banyak hal. Tugas dan perjalanan selama seminggu itu menyatukan kami untuk sama-sama berbagi ilmu, terutama saya banyak belajar bagaimana memandang sebuah peristiwa dan fenomena untuk dicari angle berita yang menarik untuk ditulis.
Meski belum genap setahun bergabung di kumparan, saya sudah mendapat banyak pelajaran. Di divisi Kolaborasi, saya tak hanya belajar soal teknis penyuntingan tulisan, tetapi juga dibimbing untuk mencintai pekerjaan yang saya jalani kini.
ADVERTISEMENT
Awalnya memang terasa sulit dilalui, hampir tiap hari kena tegur dan omelan redaktur. Dari tulisan yang banyak typo, judul yang asal-asalan, angle tulisan yang tidak menarik, hingga terlewat berita penting yang seharusnya saya edit dan naikkan. Akan tetapi, setiap kesalahan itu saya jadikan motivasi untuk lebih baik, introspeksi diri, dan terus berkreativitas.
Saya dan Tim Kolaborasi saat kumparan Vekesyen ke Bali. (Foto: Dok. Istimewa)
Kalau boleh cerita, jujur saja bukan perkara mudah bisa jadi bagian dari keluarga media ini, karena sejak awal mengirim Curriculum Vitae (CV), saya tahu kumparan punya kualitas. Ya, sebelum resmi bergabung, saya pernah sekali gagal masuk kumparan, tepatnya sekitar akhir September 2017, saya ikut program “kumparan 1001 lowongan”. Singkat cerita, saya hanya lolos sampai tahap dua bersama 448 peserta lainnya dari 1000 yang ikut di seleksi tahap pertama.
ADVERTISEMENT
Empat bulan kemudian saya putuskan resign dari tempat kerja pertama. Bermodal niat dan nekat, saya mengirimkan CV lagi ke email HRD kumparan. Dan... Boom! dua minggu lebih menunggu kepastian, saya menerima email undangan wawancara. Alhamdulillah.
13 Maret 2018, pukul 10.00 WIB, saya bertemu dengan Mas Habibie dan Kang Madin di kantor Jati Murni. Dari mereka, saya diberi tugas menulis 10 artikel dalam waktu seminggu. Terpikir, inilah kesempatan terbaik dan harus saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah, saya lolos dan resmi onboarding pada 5 April 2018.
Pengukuhan Wartawan Bersertifikat ‘Halal’
Saya dan rekan wartawan kumparan peserta Uji Kompetensi Wartawan Batch 4. (Foto: Dok. Istimewa)
25 Agustus 2018, kumparan mengadakan Uji Kompetensi Wartawan. Waktu itu, saya baru saja pulang dari liputan Dusun Tatinang, tiba di rumah Depok pukul 2:00 dini hari, dan jam 6 pagi harus berangkat ke kantor untuk ikut uji kompetensi.
ADVERTISEMENT
Lelah dan ngantuk, tapi saya posisikan raga untuk kuat dan mengikuti rangkaian tes sampai selesai. Alhamdulillah, meski baru seumur jagung jadi jurnalis tapi saya bisa lulus, akhirnya dapat sertifikat "halal" sebagai wartawan dari Dewan Pers.
Senang dan bangga. Hampir semua materi tes yang diujikan ternyata sudah saya pelajari saat liputan di Maluku. Lagi-lagi saya bersyukur telah berproses sejauh ini bersama kumparan.
***
Bagiku, mungkin tagline “kumparan adalah jawaban” memang ada benarnya. Kini, di sinilah tempat saya bekerja dan belajar dengan menyenangkan di dunia jurnalistik. Masih banyak hari-hari yang akan saya lalui di sini.
Seperti Pakubuwana IV dalam Serat Wulang Reh yang berkata, “Ngelmu iku kalakone kanthi laku.” Artinya, jalan mencari ilmu itu harus dilakukan dengan proses. Bersama kumparan, saya berproses secara personal dan profesional, terutama untuk menjadi jurnalis yang bisa membangun kepercayaan dengan narasumber, menjadi mata dan telinga masyarakat, dan menyampaikan fakta secara kritis serta etis.
ADVERTISEMENT
Terima kasih, kumparan.
Mentari terbenam di Dusun Tatinang, Pulau Seram, Maluku. (Foto: Dok. Pribadi)