Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lawrence of Arabia dan Revolusi Bangsa Arab
6 Juni 2018 22:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika genderang Perang Dunia I mulai berbunyi, muncul gerakan-gerakan politik untuk meruntuhkan Kekhalifahan Utsmani. Inggris dan Prancis, yang kesulitan menembus pertahanan tentara imperium Islam, memutuskan untuk menggunakan cara propaganda di kalangan bangsa Arab.
ADVERTISEMENT
Isu-isu nasionalisme diembuskan. Akibatnya, muncul sentimen chauvinisme antarbangsa Arab yang menimbulkan perpecahan.
Persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan Utsmani yang didasarkan pada kesamaan akidah, mulai bergeser dengan egoisme bangsa atau suku.
Gerakan pemberontakan untuk melepaskan diri dari kekhalifahan pun mengalir. Revolusi Arab pun pecah pada 1916, setelah pasukan Arab di bawah pimpinan Raja Faisal I memberontak kepada Utsmani.
Ada seorang agen Inggris di balik pecahnya evolusi Arab dan memicu keruntuhan Kekhalifahan Turki Ottoman. Dialah Thomas Edward Lawrence yang kisahnya terkenal dengan sebutan 'Lawrence of Arabia'.
Seorang Sarjana Arkeolog
ADVERTISEMENT
Ia menjadi seorang arkeolog yang memperdalam budaya dan kehidupan bangsa Arab yang hidup di bawah kekuasaan Turki. Pada 1909, ia menjelajahi Suriah dan Palestina sebagai mahasiswa arkeolog untuk mempelajari kastil-kastil terpencil Tentara Salib.
Ketika kembali ke Timur Tengah pada 1910-1914, Lawrence bekerja di proyek penggalian arkeologis yang disponsori British Museum di Karkemish, Suriah Utara. Ia juga dipekerjakan oleh militer Inggris untuk mengintai kekuatan militer Turki Ottoman, namun dengan dalih sebagai peneliti dalam ekspedisi ilmiah. Di sinilah ia lebih banyak lagi mempelajari budaya dan bahasa Arab.
Menjadi Perwira Intelijen Inggris
ADVERTISEMENT
Ketika Perang Dunia I dimulai, Lawrence ditugaskan di Kairo sebagai perwira intelijen Inggris. Ia bertanggungjawab sebagai ahli bidang gerakan nasional Arab di wilayah kekuasaan Turki Ottoman.
Dengan pengetahuan bahasa Arabnya, ia banyak mewawancarai tahanan Turki untuk mengakrabkan diri dan dengan begitu Lawrence dapat mengetahui lokasi dan kekuatan Angkatan Darat Turki.
Perwira Penghubung Inggris-Pangeran Faisal I
Lawrence adalah seorang ahli taktik dan seorang teoritikus yang berpengaruh dalam peperangan gerilya dan provokasi. Pasukannya berasal dari tahanan dan tentara Turki yang berkhianat, sehingga efektif melemahkan jalur komunikasi dan logistik tentara Ottoman dengan strategi spionase. Dengan begitu, pihak pemberontak dan sekutu dapat dengan mudah mengalahkan pasukan Abdul Mejid II.
Kemenangan dan Kekecewaan
ADVERTISEMENT
Pangeran Faisal dan pasukan pemberontaknya menyerang Aqaba , kota pelabuhan dan benteng strategis Turki di Laut Merah pada 1917. Pasukan Arab memenangkan pertempuran itu dan dilanjutkan dengan kesuksesan merebut kota Damaskus pada Oktober 1918. Arab dan Suriah pun memproklamirkan diri sebagai kerajaan di bawah kekuasaan Raja Faisal I.
Lawrence secara aktif terlibat dengan pejuang Arab untuk menyerang pasukan Turki tanpa mengetahui tujuan negaranya dan semua itu juga dirahasiakan dari London. Artinya, para pejuang Arab tidak mengetahui ada kepentingan politik Inggris dan sekutu yang sedang menjalankan taktik divide et impera di balik bantuan Lawrence.
Di belakang layar, Prancis, Inggris, dan Kerajaan Rusia telah mengadakan perjanjian rahasia untuk membagi wilayah Arab menjadi daerah-daerah jajahan. Dalam buku Jifara Sniper Wanita di Perang Suriah (Armando, 2013), perjanjian Sykes-Picot ditandatangani pada 16 Mei 1916 oleh Inggris, Prancis, dan Rusia untuk membagi kendali atas Asia Barat setelah jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah.
ADVERTISEMENT
Ketika kemenangan sekutu telah tiba, di situlah muncul kekecewaan bagi bangsa Arab. Bangsa Arab akhirnya mengetahui taktik sekutu tentang keputusan Inggris dan Prancis mengenai masa depan Suriah dan wilayah Arab lainnya.
Protes Lawrence dan Pembagian Negara Mandat
Lawrence menyampaikan protes kepada pemerintahan Inggris dan menyerukan kebebasan Arab tanpa praktik kolonialisme. Pada 1919, Lawrence ikut dengan delegasi Arab ke Paris Peace Conference dan menyaksikan langsung bagaimana suara Arab melalui Pangeran Faisal diabaikan oleh para pemimpin Barat.
Akhirnya, berdasarkan perjanjian Sykes-Picot oleh Inggris, Prancis, dan Rusia, wilayah Syam dan Arab dibagi-bagi. Suriah, Libanon, Irak Selatan, dan wilayah tenggara Turki diberikan kepada Perancis. Inggris ambil bagian atas wilayah Palestina, Yordania, Irak Utara, dan akses ke Mediterania. Sementara Rusia berhak atas bekas kekuasaan Turki (Jifara Sniper Wanita di Perang Suriah, Armando: 2013).
ADVERTISEMENT
***
Pasca-Revolusi Arab, setelah Perang Dunia I, pasukan Prancis menginvasi dan menguasai Suriah serta mengusir Raja Faisal I pada 1920. Inilah wujud nyata dari kekecewaan bangsa Arab atas sekutu penyokongnya.
Penghianatan Pangeran Faisal atas Kekhalifahan Turki nyatanya tak bernilai apapun bagi kemerdekaan bangsa Arab, justru semakin melemahkan kekuasaan kekhalifahan Islam.
Hal ini memicu lahirnya semangat persatuan bangsa Arab pasca-runtuhnya Turki Ottoman untuk mengusir kolonialisme Barat, hingga pecahnya Perang Israel-Arab dalam lembar-lembar sejarah Timur Tengah berikutnya semakin tak terelakkan.
Referensi:
Armando, R. 2013. Jifara Sniper Wanita di Perang Suriah. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Aldington, Richard.1955. Lawrence of Arabia: A Biographical Enquiry. London, Collins.