Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Menyelami "Zaman Edan" Gubahan Ranggawarsita
16 Maret 2018 23:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: Cover buku Suparto Broto, 2014 (Sumber: Google)
Akhir-akhir ini banyak muncul di media mengenai penangkapan sejumlah calon kepala daerah yang terlibat korupsi. Alih-alih dapat segera menikmati hangatnya kursi jabatan, justru malah duduk tegang di kursi sidang. Tidak hanya itu, sederet kasus besar yang menyeret wakil rakyat dan pejabat negara juga telah menghiasi "panggung sandiwara" perpolitikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Korupsi memang seolah telah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi dan perilaku suap-menyuap memang bukanlah sesuatu yang hadir kemarin sore di negeri ini. Bahkan eksistensinya telah ada pada masa penjajahan kolonial. VOC, sebuah perkumpulan dagang Belanda yang berkedudukan di Indonesia pada masa Kolonial juga bangkrut akibat korupsi. Korupsilah yang membuat Belanda jatuh ke dalam "jurang yang paling dalam" menuju kekalahan dan terebutnya aset terbesar mereka oleh Jepang, Hindia Belanda.
Tercatat dalam buku Bangsa Inlander: Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara (2008: 17), Gerrit Demmer seorang anggota Dewan Hindia, bergaji sebulan 160 Golden, ia hidup mewah sebagai anggota Dewan Hindia. Ketika ia pulang ke negeri Belanda tahun 1652 dapat mengirimkan uang sebanyak 165.750 Golden. VOC yang kala itu adalah singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie, banyak dicibir oleh pribumi dan bangsanya sendiri dengan sebutan Vergaan Order Corrupsi atau kurang lebih "Jatuh Karena Korupsi"
ADVERTISEMENT
Gambaran korupsi di kalangan kolonial agaknya telah menjadi sebuah rahasia umum. Karena praktek kolonialisme pada dasarnya hanya bagaimana mengambil keuntungan kebanyak-banyaknya dari negeri yang terhisap darah dan keringatnya.
Namun bagaimana penggambaran sebuah negeri yang rusak karena perilaku serakah pemimpinnya yang mementingkan diri sendiri? Raden Ngabehi anggawarsita, seorang pujangga pada masa Paku Buwana IX, seorang anak dari pujangga besar masa Surakarta awal, Raden Tumenggung Sastranegara atau Yasadipura II. Ranggawarsita punya caranya sendiri untuk mengungkapkan bagaimana sebuah negeri dilanda Jaman Edan. Ungkapan itu tergambar dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita, syair ke-7:
Amenangi jaman edan
ADVERTISEMENT
Ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
ADVERTISEMENT
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
ADVERTISEMENT
kaliren wekasanipun
ndilalah kersaning Allah
ADVERTISEMENT
begja begjane kang lali
luwih begja kang eling lan waspada
Terjemahan:
ADVERTISEMENT
mengalami masa yang gila
sulit untuk dimengerti
ikut gila tidak tahan
jika tidak ikut melakukan
tidak dapat bagian (harta)
akhirnya kelaparan
atas kehendak Tuhan
sebahagia-bahagianya (orang) yang lupa
lebih bahagia (orang) yang ingat dan waspada
Secara historis, Ranggawarsita hidup dan mengabdi sebagai pujangga Keraton Surakarta di masa Raja Paku Buwana IX. Pujangga dapat diartikan sebagai orang yang memiliki kewenangan menulis puisi, surat, cerita menurut perintah rajanya. Otomatis apa yang ditulis oleh orang pujangga keraton harus merefleksikan kebesaran dan legitimasi kekuasaan sang raja.
Lain cerita dengan Serat Kalatidha yang ditulis pada tahun 1861. Dalam buku Ranggawarsita, Apa yang terjadi? (Andjar, 1980: 78 ) diketahui pada saat itu Ranggawarsita bertentangan dengan sifat Paku Buwana IX dalam memimpin keraton.
ADVERTISEMENT
Serat Kalatidha merupakan teks yang merefleksikan kritik dan sindiran Ranggawarsita kepada rajanya. Kondisi negara yang berisi pejabat yang selalu menilai segalanya dengan uang dan harta. Ketika ada yang bertentangan, ditekan, ditelantarkan, dan dibiarkan hidup dalam kelaparan.
Namun Ranggawarsita juga memberikan solusi dalam menghadapi pengaruh politik uang yang keji dan telah menjamur di seluruh negeri: ndilalah kersaning Allah, begja begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada. Ada 2 frasa yang mengisyaratkan makna yang ingin disampaikan Ranggawarsita, kersaning Allah dan eling lan waspada.
Dalam Budaya Jawa, ada istilah narima. Dalam konteks filsafat budaya narima adalah sebuah sikap Masyarakat Jawa dalam melihat banyaknya kehidupan berjalan. Masyarakat Jawa percaya bahwa manusia hidup di dunia sebagai wali Tuhan, ada yang menciptakan dan ada yang mematikan. Segala yang telah ada di dunia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. kersaning Allah atau (atas) kehendak Tuhan berarti Ranggawarsita mengajak kita untuk memasrahkan diri kepada kehendak Tuhan. Percaya bahwa Tuhan akan selalu menolong hamba-Nya saat kesulitan datang.
ADVERTISEMENT
Eling lan Waspada atau (selalu) ingat dan waspada. Bagian ini adalah penerapan dari bukti kita sebagai makhluk Tuhan. Semua ajaran agama-agama di dunia pada hakikatnya memupuk rasa percaya kepada Tuhan dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Manusia harus selalu bersikap ingat dan waspada dalam konteks apapun yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Sikap ingat dan waspada akan mengantarkan seseorang agar tidak terseret dengan arus keadaan yang dialaminya. Segala perbuatan yang didasari dengan sikap ingat dan waspada akan mendatangkan pahala dari Tuhan, dan karenanya akan lebih mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dengan melihat kenyataan bahwa korupsi masih "tumbuh subur" di negeri ini, kita tidak dapat memungkuri jika perilaku tercela itu masih akan tetap ada selama 1000 tahun lagi, walaupun mungkin berbeda cara dan bentuknya. Namun kita generasi muda masih dapat mengubahnya menjadi lebih baik, setidaknya berdiri sejajar dengan Ranggawarsita, menentukan sikap untuk melawan dan mengatakan tidak (BP).
ADVERTISEMENT