Napak Tilas Fokker TNI AU: Akhir 30 Tahun Pengabdian

Bagas Putra R
Kata, makna, sabda Military Enthusiast
Konten dari Pengguna
12 Mei 2019 11:10 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pesawat Fokker F-27 Troopship bernomor A-2706 dioperasikan TNI AU selama periode 1976-2012. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat Fokker F-27 Troopship bernomor A-2706 dioperasikan TNI AU selama periode 1976-2012. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
ADVERTISEMENT
"Hei, jangan ke sana-sana. Di sini saja!"
Suara dengan logat Jawa itu terdengar di tengah riuh rendah pengunjung pameran pesawat di apron Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
ADVERTISEMENT
Seorang polisi militer angkatan udara berbadan tambun itu meneriaki saya, saat saya mencoba melangkah lebih dekat lagi ke sebuah Fokker F27 Fellowship yang teronggok di ujung pinggir apron.
Tak butuh dua kali, dirinya membuat saya mengurungkan niat itu--selain memang kawasan ini terbatas untuk sipil--melihat perawakannya yang tegak dan dua strip panah bertengger di lengannya saja saya sudah segan--dia seorang sersan.
"Siap, ndan!" tandas saya sambil menganggukkan kepala.
Di satu sudut rerumputan hijau pinggir apron memang berjejer 'burung besi' Fokker F-27 Troopship dan F-28 Fellowship yang sudah di-grounded. Kondisinya tampak kontras dari deretan pesawat yang dipamerkan di tengah apron. Meski masih tegak berdiri ditopang roda-rodanya yang renta, bekas tunggangan tentara langit itu--bisa dibilang--telah usang dimakan usia.
Sebanyak delapan pesawat Fokker F-27 Troopship dibeli pada tahun 1976 dan bermarkas di Skadron Udara 2 Halim Perdanakusuma. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
Beberapa di antaranya bahkan tak lagi memiliki baling-baling besutan Rolls-Royce, ditambah kondisi bodinya sudah tertutup noda dan lumut akibat diterpa cuaca. Kaca-kaca yang dahulu sering dipoles sehingga terlihat mengkilat, kini tampak kusam. Pucuk-pucuk rerumputan dan ilalang yang mulai meninggi menutupi besi-besi roda berkarat yang sudah dipatok beton.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, para pengunjung di sekitarnya cuek saja. Ada yang sibuk berswafoto, ada yang duduk-duduk berteduh di bawahnya, dan ada juga yang sekadar berdiri termenung memandangnya--sambil lamat-lamat mengingat kembali masa kejayaan pesawat-pesawat itu.
Bukan tanpa alasan pesawat-pesawat tersebut dipurnatugaskan. Setelah mengabdi lebih dari 30 tahun dan armadanya beberapa kali mengalami kecelakaan, wajar jika secara bertahap pesawat fixed wing pabrikan 'Negeri Kincir Angin' itu sudah diistirahatkan.
Di balik nasibnya sekarang yang berakhir teronggok di pinggir landasan, pesawat 'berhidung' mancung itu nyatanya merekam sejarah revolusi armada pesawat angkut TNI AU. Beginilah kisahnya dimulai.
Para pengunjung berteduh di bawah 'si Tangguh' Fokker F-28 A-2803 yang telah dipensiunkan. Dok: Bagas Putra Riyadhana.

Penghuni 2 Skadron Angkut Krusial

Fokker F-27 ‘Troopship’ pertama kali masuk dalam inventori TNI AU pada 7 September 1976. Kala itu, TNI AU membutuhkan armada pesawat transport untuk memperbarui kekuatan Skadron Udara 2 Wing Udara 1 yang sebelumnya diisi pesawat tua besutan Uni Soviet, yaitu Ilyushin Il-14 ‘Crate’ dan Ilyushin Il-14 Avia-14 (lisensi Cekoslovakia); dan C-47 Dakota, pabrikan Amerika Serikat (AS). Ketiga pesawat tersebut sudah digunakan Skadron Udara 2 sejak masa pasca-kemerdekaan (1955) hingga tahun 1970-an.
ADVERTISEMENT
Baik Ilyushin maupun Dakota merupakan pesawat dengan teknologi penerbangan warisan perlombaan senjata saat Perang Dunia II. Oleh karena itu, pengadaan Fokker F-27 dalam arsenal angkatan udara dinilai tepat karena pesawat ini sudah mengadopsi teknologi pasca-Perang Dunia II.
Berdasarkan Majalah Angkasa nomor 8, edisi Mei 2008, Indonesia membeli delapan Fokker F-27 seri 400 M yang diterbangkan langsung dari Belanda. Secara bertahap Troopship dengan tail number A-2701 hingga A-2708 didatangkan dalam rentang periode 1976-1977.
Fokker F-27 Troopship bernomor registrasi A-2701 datang pertama kali pada 7 September 1976. F-27 termasuk pesawat turboprop yang canggih pada zamannya, karena merupakan pengembangan dari teknologi pasca-Perang Dunia II. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
Saat masih bertugas, armada F-27 Troopship TNI AU akrab dengan julukan ‘Flying Horses’. Julukan itu sama dengan logo Skadron Udara 2 yang bergambar Kuda Terbang.
Skadron Udara 2, dalam sejarahnya, merupakan skadron angkut tertua yang berdiri pada 1 Agustus 1950. Selain untuk operasi militer, skadron yang bermarkas di Lanud Halim Perdanakusuma ini berperan sebagai cadangan angkutan udara nasional dan digunakan untuk operasi udara selain perang di masa damai.
ADVERTISEMENT
Pesawat karya Anthony Fokker ini pernah digunakan untuk mendukung operasi SAR untuk menyelamatkan korban tenggelamnya Kapal Tampomas II di Perairan Masalembo pada 27 Januari 1981. Armada F-27 Skadron Udara 2 juga sukses melaksanakan misi yang dikenal sebagai Operasi Jembatan Udara pada 31 Januari-3 Februari 1980.
Kala itu, awak Garuda Indonesia di sejumlah rute penerbangan melakukan mogok kerja sebagai protes atas dipecatnya empat penerbang Garuda dari maskapai pelat merah itu. Aksi tersebut berimbas pada terganggunya lalu lintas udara, sehingga TNI AU mengerahkan 4 unit Fokker F-27 dan 4 unit C-130 Hercules untuk mengambil alih rute penerbangan yang lumpuh.
Sejatinya, Fokker F-27 didesain sebagai pesawat angkut sipil dengan call sign ‘Friendship’, namun pesawat bermesin turboprop juga diproduksi untuk versi militer dengan modifikasi avionik, kabin penumpang, dan penambahan pintu belakang untuk mengakomodasi misi penerjunan lintas udara.
ADVERTISEMENT
Konfigurasi sayap high wing membuat F-27 mampu terbang lebih stabil, sehingga dapat dioperasikan di landasan yang pendek (STOL/Short Take Off and Landing). Letak sayap yang berada di atas fuselage (bodi pesawat) juga membuat sayap pesawat aman dari gangguan saat take off dan landing di landasan tanah dan berpasir.
Pesawat Fokker F-28 Fellowship bernomor registrasi A-2803. Pesawat ini sempat dioperasikan oleh Garuda Indonesia, sebelum akhirnya dihibahkan kepada TNI AU pada 1995. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
Sementara itu, pesawat Fokker F-28 Fellowship yang dioperasikan TNI AU bukan merupakan barang baru yang langsung dibeli dari pabriknya. Ya, F-28 Fellowship sejatinya merupakan pesawat yang memiliki spesifikasi untuk kebutuhan komersial, alias dipakai maskapai penerbangan sipil.
Di Indonesia, pesawat yang merupakan hasil pengembangan dari F-27 Friendship dengan mesin jet turbofan ini dipakai oleh sejumlah maskapai penerbangan, seperti Pelita Air, Merpati Nusantara Airlines, dan Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut data rzjets, sebanyak empat unit F-28 Fellowship dihibahkan dari maskapai sipil kepada TNI AU dalam kurun waktu 1983-2013. Keempat pesawat tersebut masuk dalam inventori Skadron Udara 17/VIP dengan tail number A-2801, A-2802, A-2803, dan A-2804.
Skadron Udara 17 bisa dibilang unik karena menjadi skadron militer yang 'dihuni' oleh pesawat-pesawat sipil untuk transportasi pejabat negara. Dok: Bagas Putra Riyadhana
Secara rinci, planelogger mencatat keempatnya dihibahkan dari: 1 unit Fokker F28-1000/A-2801 dari Pelita Air pada 21 Desember 1983; 2 unit Fokker F28-3000R/A-2802 dan A-2803 dari Garuda Indonesia pada Juni 1995 dan 5 Oktober 1995; dan Fokker F28-4000/A-2804 dari Transwisata Airlines pada 20 Februari 2013.
Fokker F-28 bernomor A-2802 dan A-2804 sempat terlihat masih dipamerkan di acara airshow pada 9 April 2017 dalam kondisi masih layak terbang. Hal ini menimbulkan asumsi kedua pesawat tersebut sampai saat ini masih dioperasikan TNI AU.
Fokker F-28 bernomor A-2802 yang terlihat masih dipamerkan dalam acara airshow di Halim Perdanakusuma. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
Sesuai namanya, Skadron Udara 17 bertanggung jawab mengakomodasi transportasi udara untuk presiden, wakil presiden, menteri, dan tamu kenegaraan yang operasionalnya di bawah naungan Kementerian Sekretariat Negara. Burung besi yang menghuni skadron ini juga bisa dibilang ‘paling sipil’ daripada skadron lain yang dimiliki TNI AU, kenapa?
ADVERTISEMENT
Sesuai tugasnya sebagai ‘Air Force One’ Indonesia, armada skadron berjuluk ‘Kereta Kencana’ ini diisi pesawat sipil yang didesain menunjang keamanan pejabat negara yang diangkut. Sederet pesawat angkut sipil berada di skadron ini, seperti L-100 (versi sipil C-130 Hercules yang tersohor), Boeing B737, dan teranyar--the one and only--‘si Biru’, Boeing 737-800 Business Jet 2 yang jadi tumpangan wajib presiden dan jajarannya sejak diakuisisi tahun 2014.
Pesawat Kepresidenan, Boeing 737-800 Business Jet 2 bernomor A-001. 'si Biru' sempat terlihat numpang di hanggar Skadron Udara 31, 7 April 2018. Masih malu-malu gitu ya, hehe. Dok: Bagas Putra Riyadhana.

Jejak Emas Industri Penerbangan di Skadron ‘Kuda Terbang’

ADVERTISEMENT
Setelah dua dekade lebih sejak F27 Troopship diakuisisi, TNI AU menambah armada angkut sedang untuk Skadron Udara 2 dengan membeli enam pesawat CN-235. Skadron Udara 2 pertama kali menerima CN 235 dengan nomor registrasi A-2301 pada 12 Januari 1993.
Pesawat CN-235 bernomor A-2307 menjadi pionir perkembangan industri penerbangan dalam negeri untuk kelas pesawat angkut sedang berkapasitas 34 penumpang yang diproduksi PT. Dirgantara Indonesia. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
Pesawat tersebut merupakan hasil kerja sama alih teknologi antara CASA (sekarang Airbus Military), perusahaan penerbangan asal Spanyol; dan PT. Dirgantara Indonesia (DI)--dulu Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) pada tahun 1979. Sebelumnya, PT. DI juga mendapat lisensi dari Airbus untuk memproduksi NC-212 untuk kebutuhan sipil dan militer di dalam negeri. Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 1976-2012, total sekitar 49 unit NC-212 yang telah diproduksi di Bandung untuk arsenal angkatan udara.
ADVERTISEMENT
Dalam Majalah Angkasa Edisi Jejak Emas Pembuatan N-250 disebutkan pada tahun 1979, PT. DI dan Airbus mendirikan Aircraft Technology Industry (Airtech) di Madrid, Spanyol, dengan program membuat CN-235--pesawat angkut multifungsi, dua mesin turboprop, berkemampuan Short Take-off and Landing, dan mengangkut 34 pasukan lintas udara. Empat tahun berselang, prototipe CN-235 bernama ‘Tetuka’ lahir pada 10 September 1983 dan terbang perdana pada 30 Desember 1983.
Diketahui, Tetuka merupakan nama kecil dari tokoh pewayangan Gatotkaca. Di balik penamaan tersebut, ternyata proyek CN-235 menjadi acuan PT. DI untuk melakukan riset dan pembuatan pesawat pertama rancangan industri penerbangan dalam negeri, N-250 ‘Gatotkaca’. Sayangnya, meski prototipe pertama sukses mengudara pada 10 Agustus 1995, proyek N-250 harus kandas karena imbas krisis moneter 1998.
Gambaran kerja sama jangka panjang PT. DI dan Airbus untuk merintis terciptanya N-250 'Gatotkaca'. Sumber: Dokumen MoU antara PT. DI dan Airbus.
Seiring menuanya armada Fokker F-27 Troopship di Skadron Udara 2, TNI AU membutuhkan pesawat angkut baru berkapasitas 40-50 pasukan lintas udara. Ini menjadi kebutuhan yang krusial setelah dua insiden tragis kecelakaan F-27 yang merenggut nyawa prajurit TNI AU dan warga sipil.
ADVERTISEMENT
Pada 6 April 2009, F-27 dengan nomor registrasi A-2703 menabrak hanggar di Lanud Husein Sastranegara, Bandung. Akibatnya, 24 penumpang yang terdiri dari 6 kru, seorang instruktur penerjun dan 17 pasukan khusus angkatan udara (Paskhas)--yang sebelumnya akan melakukan latihan penerjunan, namun urung karena cuaca buruk--tewas.
Insiden serupa terjadi pada 21 Juni 2012, saat F-27 bernomor registrasi A-2708--akan mendarat setelah misi latihan terbang--jatuh di Komplek Perumahan Rajawali di kawasan Lanud Halim Perdanakusuma. Peristiwa itu merenggut nyawa 7 awak dan 4 warga sipil, serta merusak 9 rumah.
Pesawat CN-395 bernomor A-2908. Pesawat ini menjadi 'the Next Flying Horses' di Skadron Udara 2 setelah 30 tahun lebih pengabdian Fokker. Perbedaan mendasar antara CN-235 dan CN-395 adalah jumlah bilah baling-balingnya. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
Setelah dua kecelakaan nahas tersebut, seluruh armada F-27 di Skadron Udara dinyatakan tidak layak terbang dan dipensiunkan setelah operasionalnya dimaksimalkan mencapai 36 tahun (1976-2012). Selama periode 2012-2015, armada F-27 digantikan dengan CN-295--medium transport aircraft hasil pengembangan CN-235 oleh Airbus Military pada tahun 2008. Sebanyak 8 unit CN-295 dipesan dan dirakit oleh PT. DI dengan nilai kontrak USD 325 miliar.
ADVERTISEMENT

Transfer Teknologi, Lebih dari Sekadar Beli dan Pakai

Berbicara soal pesawat angkut militer, TNI AU masih banyak bertumpu pada pesawat yang diproduksi periode tahun 1960 sampai 1980-an. Khususnya armada C-130 Hercules yang menjadi tonggak utama angkut berat (heavy transport).
Saat ini, ada sekitar 20 C-130 Hercules berbagai tipe yang dibeli dari AS produksi tahun 1960-1980 yang masih dioperasikan TNI AU. Jumlah tersebut belum termasuk 8 unit dari Australia: 3 unit C-130H hasil hibah tahun 2013-2016 dan 5 C-130H second dibeli tahun 2012-2015. Namun, nasib C-130 yang masih beroperasi saat ini cenderung riskan, karena, pertama, kondisi fuselage yang sudah berumur; kedua, rawan embargo militer dari AS.
Pesawat L-100, versi sipil dari C-130 Hercules yang menjadi pesawat angkut VVIP di Skadron Udara 17. Dok: Bagas Putra Riyadhana.
Negeri Paman Sam memang selalu menyelipkan kepentingan politiknya dalam setiap skema pembelian senjata secara government to government. Tentunya, Indonesia harus belajar dari masa lalu, embargo militer 14 tahun tak boleh terulang lagi.
ADVERTISEMENT
Sekilas pandang, berawal dari insiden penembakan demonstran di Santa Cruz, Dili, Timor Leste, pada 11 November 1991. Akibat insiden tersebut, AS menuding Indonesia melakukan pelanggaran HAM dengan menggunakan senjata untuk menyerang sipil. Imbasnya, AS memberikan sanksi embargo militer terhadap alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia pada 1995-2005.
Embargo tersebut memberikan efek domino bagi Indonesia. Alutsista TNI yang dibeli dari AS dan Inggris tak punya pasokan suku cadang dan tak bisa dioperasikan, bahkan berujung pada insiden dogfight F-16 TNI AU dan F-18 USAF di atas Pulau Bawean tahun 2003. Selain itu, skadron udara yang berisi armada C-130 Hercules juga terdampak. Padahal sebagai negara kepulauan, pesawat angkut sangat dibutuhkan untuk mendukung mobilisasi pasukan dan logistik.
ADVERTISEMENT
Terlebih, di saat damai, Hercules milik TNI AU kerap digunakan untuk mengirim logistik bantuan bencana alam dan tumpangan warga sipil di daerah-daerah terpencil. Dalam mendukung program pemerintah, armada berjuluk Rajawali Flight ini juga membantu distribusi logistik pemilu dan bahan bakar minyak dari Pertamina ke lokasi bencana.
Indonesia, khususnya Kementerian Pertahanan, harus mulai mencari alternatif pabrikan pesawat angkut berat dari negara-negara yang tidak menerapkan intervensi politis sebagai syarat pembelian. Menimbang pesawat angkut berat merupakan salah satu alutsista strategis.
Sesuai dengan kebijakan Minimum Essential Force Kementerian Pertahanan yang sudah berjalan sejak 2007, setiap modernisasi alusista TNI harus menyertakan skema transfer of technology untuk mendorong kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Tentunya sangat sulit bila hanya mengandalkan AS yang terbilang segan memberikan alih teknologi senjata kepada negara lain di luar anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO).
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, mungkin track record kerja sama antara PT. DI dan Airbus bisa menjadi jalan tengah solusi pengadaan dan alih teknologi pesawat angkut berat militer produksi dalam negeri di masa depan.
Di saat industri penerbangan Korea Selatan sudah melangkah lebih maju, masihkah kita hanya sekadar beli dan pakai? Padahal sebagai negara maritim, negeri ini lebih membutuhkan kemandirian industri penerbangan dalam negeri yang matang, agar secara geopolitik punya daya tawar di kawasan regional Asia Tenggara.
Sejenak teringat potongan pidato Ir. Sukarno saat peringatan HUT ke-6 AURI, 9 April 1955:
“Kuasai udara untuk melaksanakan kehendak nasional, karena kekuatan nasional di udara adalah faktor yang menentukan dalam perang modern.”
ADVERTISEMENT
-----------
Referensi:
Majalah Angkasa No. 8, edisi Mei tahun 2009.
Majalah Angkasa Edisi Koleksi: Jejak Emas Pembuatan N-250.
Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.