Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rekam Sejarah Jalan Daendels di Selatan Jawa
4 Juni 2018 23:33 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Persimpangan Jalan Daendels-Kambalan di Desa Ambalresmi. (Dok. Pribadi)
Suasana teduh dan asri masih menyelimuti pagi di Desa Ambalresmi. Desa ini terletak di Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, sekitar 1,5 kilometer dari pesisir pantai selatan Jawa. Ada yang menarik dari kampungku itu, selain terkenal dengan Sate Ambalnya yang manis dengan sambal kedelainya, ada sekelumit sejarah yang tertinggal di sana.
ADVERTISEMENT
Setiap menuju Desa Ambalresmi, pasti akan melewati jalur alternatif yang terdapat di sepanjang pesisir Pantai Selatan Jawa. Jalan itu bernama Jalan Daendels. Jika melihat di aplikasi Google Maps, Jalan Daendals membentang dari daerah Brosot di Kulon Progo hingga daerah Karang Bolong di Kebumen.
Bila merujuk pada namanya, banyak orang yang masih mengira Jalan Daendels di selatan Jawa ini juga dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels . Faktanya, nama Daendels yang tersemat di jalan itu, bukanlah nama gubernur jenderal yang terkenal "bertangan dingin" itu. Lalu, siapa "Daendels" di jalan tersebut?
Jalur Gerilya dan Jalur Upeti Kerajaan
Dalam buku Strategi Menjinakkan Diponegoro (Saleh As'ad Djamhari, 2004:173), jauh sebelum menggunakan nama Daendels, jalan ini dikenal dengan nama Jalan Diponegoro. Sebutan itu tidak terlepas dari peristiwa Perang Jawa ketika Pangeran Diponegoro berperang melawan Belanda. Ketika Perang Jawa meletus pada 1825 hingga 1830, Diponegoro kerap melewati ruas jalan ini yang termasuk wilayah Bagelen Selatan.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan Diponegoro memilih jalur ini sebagai rute gerilyanya. Jalur ini telah digunakan oleh leluhurnya ketika berperang. Amangkurat I pernah menggunakan jalur ini untuk lari dari kejaran Pasukan Raden Trunojoyo yang memberontak Kesultanan Mataram (M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Sejak 1300. 2005).
Pada masa kerajaan Jawa abad ke-14, banyak kerajaan memanfaatkan jalan pesisir Pantai Selatan Jawa ini sebagai jalur penghubung. Salah satunya Kerajaan Mataram Islam pada era Sultan Agung (1613-1645).
Dalam buku Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 (S. Margana, 2010), Mataram Islam menyebut wilayah ini dengan nama Urut Sewu, satu dari delapan wilayah bagian Negaraagung yang merupakan daerah-daerah pungutan pajak di luar pusat pemerintahan keraton.
Selain itu ada kerajaan-kerajaan Jawa seperti Kediri, Majapahit, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Demak juga menggunakan jalur ini sebagai jalur upeti kerajaan di Jawa (Ravie Ananda, Sejarawan Kebumen dalam wawancara dengan Republika , 24 Januari 2014).
ADVERTISEMENT
Nama Seorang Asisten Residen
Selama masa kolonial Belanda, wilayah Ambal termasuk ke dalam Karesidenan Bagelen hingga akhirnya dihapus pemerintah kolonial pada 1 Agustus 1901 (Susanto Zuhdi, Perkembangan Pelabuhan dan Kota Cilacap Jawa Tengah 1830-1940, 1991:6). Selain Ambal, Karesidenan Bagelen juga membawahi wilayah lain, yaitu Ledok, Panjer (sekarang Kebumen), Kutoarjo.
Setiap wilayah itu dipimpin oleh seorang asisten residen, termasuk Ambal yang dipimpin oleh seorang asisten residen bernama Augustus Derk Daendels pada 1838 (Overzigt der Reis in Nederlandsch Indie, 1838:63). A.D. Daendels inilah orang yang menjadi cikal bakal adanya Jalan Daendels di pesisir Pantai Selatan Jawa.
Menariknya, A.D. Daendels adalah anak dari Herman Willem Daendels. Dilansir dari genealogieonline.nl, A.D. Daendels lahir dari pernikahan H.W. Daendels dengan Alida Elisabeth Reiniera van Vlierden. Di kalangan pejabat Hindia Belanda, A.D. Daendels dikenal ambisius dan radikal, watak yang juga kental pada figur ayahnya sewaktu memimpin Hindia Belanda beberapa dekade sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kekalahan Diponegoro dan Perubahan Nama Jalan
Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan kolonialisme Belanda berakhir setelah pada 1827 pasukan Belanda berhasil mengepung pasukan Diponegoro. Pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1930. Diponegoro kemudian diasingkan ke Manado dan wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1955 (M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Sejak 1300. 2005).
Pasca-Perang Jawa, pemerintah kolonial menjalankan politik untuk menghapus pengaruh dan citra Diponegoro di kalangan pribumi. Tujuan politik ini untuk melemahkan semangat pengikut Diponegoro yang masih bergerilya dan kedudukannya terpecah.
Pada 1838, A.D. Daendels menggunakan kesempatan ini untuk mengganti nama Jalan Diponegoro. Daendels mengubah nama jalan kuno penghubung kerajaan Jawa ini dengan namanya, jadilah Jalan Daendels di selatan Jawa. Ia juga membangun kembali jalan tersebut mulai dari Brosot (kulon Progo) hingga Karang Bolong (Cilacap).
ADVERTISEMENT
***
Terlepas dari rekaman sejarah yang ada, Jalan Daendels di selatan Jawa kini sudah berfungsi sebagai jalur alternatif transportasi bagi pemudik ketika menuju Yogyakarta dan sebaliknya.
Pemanfaatan Jalan Daendels sebagai jalur alternatif lintas selatan Jawa dapat membawa fungsi jalur ini menjadi seimbang dengan Jalan Raya Pos di Pantai Utara Jawa yang kini juga berfungsi sebagai jalan Trans Jawa.
Salah satu warung Sate Ambal di Jalan Daendels, Desa Ambalresmi, Kebumen. (Dok. Pribadi)
Bagi warga Ambal, keberadaan jalan ini juga dimanfaatkan untuk urusan perekonomian. Di sepanjang jalan Daendels di kecamatan Ambal banyak berjejer warung Sate Ambal, kuliner khas dari Desa Ambalresmi.
Pantai Ambal yang masih jarang dijamah wisatawan. (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Selain itu, jalan ini juga digunakan para pelancong untuk menuju ke objek wisata Pantai Ambal. Menurut kesaksian Slamet Riyadi (56), warga Desa Ambalresmi, seiring dengan pemanfaatan Jalan Daendels sebagai jalur alternatif lintas selatan Jawa, wisata Pantai Ambal mulai sering disambangi pengunjung dari luar kota.