Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
RUU KUHP Legalkan Praktik Pernikahan Usia Dini?
30 Mei 2018 20:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Bagas Putra R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan usia dini masih marak terjadi di Indonesia, meskipun dalam banyak kasus dipicu karena konsekuensi dari hukum adat dan agama. Namun, tetap saja jika praktik pernikahan usia dini terjadi secara berkelanjutan akan berdampak buruk bagi generasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Hal yang lebih memprihatinkan bahwa payung hukum untuk meredam kasus pernikahan usia dini di Indonesia masih sangat lemah. Kita dapat melihatnya pada isu yang sedang hangat akhir-akhir ini.
DPR saat ini sedang disibukkan dengan agenda merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Ketua DPR Bambang Soesatyo berjanji kepada Presiden Joko Widodo bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP akan selesai tepat saat 17 Agustus 2018. Panitia Kerja RUU KUHP pun mengamini dan akan menepati.
Namun, kritik dari berbagai elemen masyarakat masih menggema jelang pengesahan salah satu fondasi hukum nasional tersebut. Salah satunya mengenai pasal 490, 496, dan 498 tentang Zina dan Perbuatan Cabul. Rumusan pasal-pasal tersebut dinilai bertolak belakang dengan semangat penanganan kasus pernikahan usia dini.
ADVERTISEMENT
Realita Permasalahan Pernikahan Usia Dini
Pernikahan usia dini memang sudah menjadi masalah klasik yang masih membayangi, khususnya bagi kaum perempuan. Tidak hanya di Indonesia, kasus pernikahan usia dini juga menjadi masalah serius di banyak negara. Secara global, ada 720 juta anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, sementara 156 juta merupakan anak laki-laki.
Di India misalnya, menurut Daily Mirror , UNICEF merilis data tentang pernikahan remaja di bawah umur di seluruh dunia. Faktanya, 27 persen perempuan India atau sekitar 1,5 juta orang menikah sebelum berusia 18 tahun. Meskipun, angka tersebut mengalami penurunan sebesar 47 persen selama satu dekade terakhir.
Bagaimana dengan Indonesia?
Badan Pusat Statistik (BPS ) tahun 2015 menyebutkan presentase perempuan pernah kawin di usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 23 persen. Pada tahun berikutnya, BPS bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan bahwa 94,7 persen perempuan berusia 20-24 tahun yang telah menikah di bawah usia 18 tahun harus putus sekolah. Sedangkan, hanya 4,3 persen yang masih sekolah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Provinsi Sulawesi barat, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat menjadi lima provinsi yang memiliki rata-rata presentasi tertinggi untuk pernikahan anak di bawah usia 15 tahun.
Masih hangat pula di ingatan kita, ketika seorang ayah di Garut menikahkan anaknya yang berusia 15 tahun dengan warga Jepang yang berusia 61 tahun. Sang ayah bahkan memalsukan akte kelahiran anaknya agar dapat tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Di Bekasi, seorang anak berusia 15 tahun di Kecamatan Sukatani, menikah dengan pria kenalannya di Facebook. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Bekasi pun buka suara. Berdasarkan survei KPAID Bekasi, 60 persen anak-anak di wilayah Kecamatan Sukatani, menikah dalam usia remaja.
ADVERTISEMENT
Kedua contoh kasus di atas mengungkapkan bahwa pernikahan usia dini berdampak pada kemungkinan terputusnya kesempatan bagi anak untuk mendapatkan pendidikan, khususnya perempuan. Selain itu, motif dari pernikahan dini kini tak hanya didasari oleh faktor ekonomi dan kemiskinan, tetapi faktor pergaulan bebas juga berperan. Masifnya penetrasi perkembangan teknologi informasi di kalangan generasi muda tidak diimbangi dengan kesiapan mental dan emosional yang baik.
RUU KUHP Pasal Tindak Pidana Zina dan Perbuatan Cabul
Seperti yang telah disebutkan di awal, terdapat pasal di dalam draf RUU KUHP yang secara gamblang merumuskan aturan yang tidak sejalan dengan upaya pencegahan pernikahan di bawah umur. Beragam kritik pun muncul dari para praktisi dan lembaga berwenang.
Komnas Perempuan menilai Pasal 490 ayat (2), Pasal 496, dan Pasal 498 ayat (2) RUU KUHP bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) yang menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Dalam pasal-pasal tersebut terdapat instrumen yang menyebutkan korban tindak pidana adalah laki-laki atau perempuan yang “belum berumur 18 tahun dan belum kawin”. Secara rinci pasal-pasal RUU KUHP tersebut berbunyi sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Adanya poin yang menyebutkan “yang berumur 18 tahun dan belum kawin” dapat menimbulkan intepretasi ketika pelaku yang melakukan pencabulan atau perkosaan terhadap korban, tidak akan dipidana jika korban sudah menikah, sehingga berpotensi terjadinya impunitas pelaku. Akibatnya pasal-pasal tersebut tidak memiliki supremasi hukum yang kuat dan merugikan korban tindak pidana pencabulan.
Pelaku kekerasan seksual, khususnya pada anak perempuan dapat menggunakan pasal-pasal tersebut untuk mengambil opsi menikahi korban dan terhindar dari sanksi pidana. Dengan kata lain, penyebutan status kawin atau tidak kawin secara tidak langsung menunjukkan penerimaan terhadap praktik pernikahan usia dini.
Dampak Pernikahan Usia Dini
Seorang anak yang berusia di bawah 18 tahun dan sudah menikah pun tidak serta merta sudah dianggap dewasa. Makna dewasa di sini mengacu pada dua sisi, dewasa secara fisik dan dewasa secara psikologis.
ADVERTISEMENT
Data BPS tahun 2015 mengenai dampak dari pernikahan usia dini menyebutkan, perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun menghadapi dampak buruk terhadap kesehatan mereka karena persalinan dini, gizi buruk, dan gangguan kesehatan reproduksi. Dari segi psikologis, ketidaksiapan mental menjalani kehidupan setelah menikah memicu risiko pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga.
Rendahnya tingkat pendidikan juga berpengaruh pada timbulnya masalah sosial-ekonomi. Hal ini berujung pada rendahnya penghasilan finansial untuk mendukung kebutuhan rumah tangga, sehingga tingkat kemiskinan meningkat.
***
Setelah melihat fenomena pernikahan usia dini dalam kehidupan masyarakat dan kejanggalan pada poin “dan belum menikah” di dalam ayat RUU KUHP Pasal Tindak Pidana Zina dan Perbuatan Cabul, hendaknya perumusan Pasal 490 ayat (2), Pasal 496, dan Pasal 499 ayat (2) RUU KUHP perlu ditinjau kembali.
ADVERTISEMENT
DPR, dalam hal ini Panitia Kerja RUU KUHP tidak perlu terburu-buru mengesahkan undang-undang hukum pidana ini, agar supremasi dan keadilan hukum dapat terjamin. Pemilihan bahasa dalam setiap perumusan amandemen hukum pidana sudah menjadi masalah klasik, padahal krusial.
Khusus mengenai pasal-pasal tindak pidana pelecehan harus dicari solusinya agar jangan sampai mendiskriminasi korban pelecehan dan semakin menumbuh suburkan praktik pernikahan usia dini. Salah satu solusi yang bisa ditempuh yaitu menghapus poin "belum menikah" dalam Pasal 490 ayat (2), Pasal 496, dan Pasal 499 ayat (2) RUU KUHP.