Konten dari Pengguna

Menyoroti Praktik Legislasi 2020 : Potret Buruk Masih Terjadi

Bagas Wahyu N
Pengamat Sosial, hukum, dan HAM.
4 Januari 2021 13:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagas Wahyu N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Proses Legislasi tahun 2020. Foto : Liputan6.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Proses Legislasi tahun 2020. Foto : Liputan6.com.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berangkat Dari Catatan Penting
Praktik legislasi pada tahun 2020 sangat menarik perhatian publik juga memunculkan beberapa persoalan. Bagaimana tidak banyaknya gelombang penolakan terhadap suatu rancangan undang-undang (RUU) oleh masyarakat yang kemudian justru disahkan menjadi undang-undang menjadi contoh salah satunya. Ditambah dengan keberadaan pandemi Covid-19 yang terjadi justru tidak direspon dengan baik dalam proses legislasi makin memperkeruh pandangan publik akan kepercayaan terhadap kinerja legislasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat dua permasalahan pokok yang menjalar dalam praktik legislasi di Indonesia. Pertama, terkait transparansi keterbukaan proses legislasi, seperti misal akses dokumen terhadap suatu RUU yang masih sulit ditemukan hingga laman/kanal resmi digital penyebarluasan dokumen tidak jelas. Hal ini ditemukan misal dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menariknya draf tersebut justru mudah didapatkan melalui media sosial online, namun ironisnya media sosial pemerintah ataupun DPR tidak ada satu pun yang menyebarluaskan draf maupun naskah akademik tersebut secara resmi. Ditambah draf RUU tersebut selalu berubah-ubah, misal draf versi paripurna tertanggal 5 Oktober 2020 berisi 905 halaman kemudian versi penyerahan kepada Presiden tertanggal 14 Oktober 2020 berisi 812 halaman, kedua draf perubahan inipun tidak dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat serta tidak ada legitimasi dari pemerintah atau DPR secara resmi draf yang bena.
ADVERTISEMENT
Kedua, partisipasi publik dalam proses legislasi yang belum baik, ditahun 2020 ini masyarakat sulit untuk menyampaikan aspirasinya terlebih dimasa pandemi hingga waktu yang singkat dalam pembahasan RUU. Hal ini terlihat lagi-lagi dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja misalnya, dimana rapat pengambilan keputusan tingkat I saja dilakukan diluar jam kerja dan hari kerja (hari sabtu malam tertanggal 3 Oktober 2020). Dua hari berselang dilakukan pembahasan tingkat II serta persetujuan bersama RUU tersebut. Padahal isi RUU tersebut berisi 15 bab yang sangat banyak ketentuan didalamnya.
Ditahun 2020 ini juga terdapat beberapa UU yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang (Perppu) yang justru mendistorsi partisipasi publik secara aktif. Seperti misal Perppu No. 2 Tahun 2020 yang berisi penundaan waktu pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dimana proses pengesahannya mengabaikan aspirasi publik (seperti penolakan dari dua ormas islam besar:Nahdathul Ulama dan Muhammadiyah dan demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat) dengan tetap disahkannya dan dilaksanakannya Pilkada ditengah pandemi.
ADVERTISEMENT
Ironisnya pula, proses ini juga diketahui mengabaikan penolakan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai legislative partner. Penggunaan Perppu yang berpacu pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa dalam konteks pelaksanaan Pilkada ini justru bermotif politis dan mengabaikan aspirasi masyarakat demi keamanan masyarakat ditengah pandemi Covid-19.
Potret Kinerja Legislasi 2020 dan Kemunculan Omnibus Law
Tahun 2020 ini terdapat 50 RUU sebagai Proelgnas Prioritas Tahunan. Banyaknya jumlah RUU ini merupakan catatan dan praktik buruk yang terus berulang. Hal ini dikarenakan penetuan jumlah Prolegnas Prioritas Tahunan yang tidak belajar dari pengalaman dan tidak berorientasi pada efektifitas penyelesaian dan kebutuhan masyarakat. PSHK mencatat undang-undang yang disahkan berdasar Program Legislasi Nasional Prioritas ditahun 2020 hanyalah 3 Undang-Undang diantara UU No. 2 Tahun 2020 tentang Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 10 Tahun 2020 tentang BeaMaterai, dan Undang-UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Faktor utama yakni adanya pandemi Covid-19 serta proses penerapan kebiasaan baru. Oleh karenanya pada 16 Juli 2020 dilaksanakan evaluasi terhadap Prolegnas prioritas 2020 dengan hasil dilakukan pengurangan 16 RUU. Namun dari hasil evaluasi tersebut juga tidak ada undang-undang yang disahkan dari daftar tersebut. Meskipun secara keseluruhan tahun 2020 ini terdapat 13 undang-undang (10 uu diluar Prolegnas Prioritas Tahunan) yang disahkan, namun praktik perencanaan legislasi yang tidak padu dan belum maksimal dan penentuan jumlah Prolegnas Prioritas terkesan utopis justru terjadi.
Adanya 10 RUU diluar Prolegnas prioritas yang disahkan membuat masyarakat sulit untuk menyampaikan aspirasinya. Misal RUU Revisi UU Mahkamah Konstitusi yang dimasukan ditengah-tengah berjalannya proses legislasi serta dibahas dan disahkan sangat cepat mengakibatkan partisipasi publik tidak terejawantahkan dengan pasti. Praktik seperti ini selalu dilakukan, seolah-olah pendistorsian partisipasi dan aspirasi rakyat adalah hal wajar. Sehingga justru judicial review di Mahkamah Konstitusi terjadi seperti pada UU No. 7 Tahun 2020 dan UU No. 11 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, masuknya konsep Omnibus Law dalam penyusunan RUU Cipta Kerja menambah rumit proses legislasi di tahun ini. Metode Omnibus Law sendiri merupakan metode pembentukan UU yang menjangkau banyak materi/keseluruhan materi undang-undang lain yang saling berkaitan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Metode ini belum tercantum payung hukumnya secara pasti terkhusus dalam UU No.12 Tahun 2011. Akibatnya adalah kesalahpahaman dan mengaitkan sistem pembentukan undang-undang yang mirip dengan metode omnibus law. Sementara pembentuk undang-undang tidak punya solusi terencana untuk mengatasi hal ini.
Fakta ini berdampak pada banyak proses legislasi yang tidak dijalankan khususnya partisipasi masyarakat. Selain itu draf yang disusun sulit dimengerti, ada beberapa pasal yang baru dengan pasal perubahan saling tumpang tindih begitupun ketidakterkaitan antara pasal yang satu dan yang lain. Hal ini ditambah dengan proses pembahasan yang cepat sehingga harmonisasi juga sinkronisasi antara aturan didalamnya tidak padu. Menurut PSHK, Omnibus Law yang diterapkan pada UU Cipta Kerja justru menambah aturan hukum yang ada bukan justru memangkas sesuai tujuannya, dimana Omnibus Law dalam undang-undang tersebut menghasilkan setidaknya 30 peraturan pelaksana, dengan kata lain tidaklah tepat tujuan.
ADVERTISEMENT
Metode Omnibus Law harus ditinjau ulang dengan analisa permasalahan yang telah terjadi serta harus dimasukan ketentuan mekanismenya dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tahun 2020 ini peran masyarakat dan keterbukaan dalam proses legislasi tidak terpenuhi dengan baik. Kedepan masyarakat harus tetap mengawal secara pasti proses legislasi dengan basis penguatan aspirasi publik secara nyata.
Jalan Kedepan
Berangkat pada pemahaman praktik serta permasalahan proses legislasi di Indonesia tahun 2020 diatas, penulis memberikan setidaknya saran dalam proses legislasi kedepan dengan basis penguatan aspirasi publik. Sebagaimana penelusuran penulis diatas praktik legislasi di Indonesia tahun 2020 menunjukan pola pendistorsian aspirasi publik yang dianggap wajar namun justru mengancam jalannya demokrasi. Praktik ini semakin menggerus partisipasi serta kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
ADVERTISEMENT
Untuk itu penulis menginisiasi suatu konsep dalam hal proses legislasi dengan mengepankan aspirasi rakyat. Salah satunya yakni penegasan perlu diterapkannya analisis dampak atau Regulatory Impact Agency (RIA) dalam proses legislasi. Metode RIA ini menurut Verschuuren dan Van Gestel dilakukan pada tahap awal legislasi karena pilihan-pilihan kebijakan yang relevan masih terbuka untuk didiskusikan secara transparan. Metode ini mengharuskan pembuat undang-undang menyediakan data empiris kebutuhan suatu RUU. Artinya mendukung penegakan partisipasi publik untuk diutamakan. Setidaknya metode ini harus dilakukan sebagai evaluasi bahwa proses legislasi 2020 terjadi sebuah pendistorsian aspirasi publik yang berakibat pada lemahnya ketentuan RUU yang disahkan dan dilakukannya Juducial Review terhadap beberapa UU yang disahkan di Mahkamah Konstitusi.