Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sobo, Benteng Bumi Markas Terakhir Sang Panglima Besar
16 Maret 2021 13:28 WIB
Tulisan dari Bagaskara Wahyu Purnomo Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertengahan tahun 1945-1949 Republik Indonesia yang baru seumur jagung berada pada masa “Revolusi Kemerdekaan”, di mana peristiwa puncaknya ditandai dengan Agresi Militer Belanda II (Operatie Kraai) pada pagi hari 19 Desember 1948 ke Yogyakarta, yang kala itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Akibat dari agresi tersebut, para pemimpin Indonesia yang berada di Yogyakarta ditangkap oleh bala Tentara Belanda yang telah menguasai kawasan tersebut. Namun, dari seluruh pemimpin Indonesia yang ditahan ada satu sosok sentral yang berhasil lolos dari sergapan bala Tentara Belanda. Ialah Panglima Besar Sudirman yang selanjutnya memberikan perintah untuk mengobarkan semangat perang semesta dengan cara bergerilya.

Selama bergerilya, Panglima Besar Sudirman beserta rombongannya menempuh kurang lebih 1.000 KM melintasi Jawa Tengah dan Jawa Timur, berpindah-pindah untuk melakukan gerilya. Hingga pada 31 Maret 1949 Rombongan Panglima Besar Sudirman sampai di satu daerah bernama Sobo (sekarang menjadi salah satu dusun di Desa Pakis Baru, Nawangan, Pacitan) dan menjadikan daerah tersebut sebagai basis pertahanan atau bahasa awamnya Markas Sang Jendral untuk memberikan instruksi kepada seluruh pasukan di Pulau Jawa. Markas ini menjadi markas paling lama (1 April-7 Juli 1949) sekaligus terakhir Panglima Besar Sudirman dan rombongan sebelum akhirnya kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949.
Sobo adalah salah satu dusun yang secara administratif termasuk ke dalam Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Pemilihan Sobo sebagai markas gerilya Panglima Besar Sudirman menarik perhatian karena sebuah dialog pada film “Jendral Soedirman” (2015) antara Kapten Tjokropranolo (Nolly) yang diperankan oleh Ibnu Jamil dan Panglima Besar Sudirman yang diperankan oleh Adipati Dolken, begini dialog lengkapnya:
ADVERTISEMENT
Pada dialog tersebut terselip faktor geologi yang menjadi pertimbangan utama mengapa Sobo dipilih untuk menjadi Markas Gerilya Panglima Besar Sudirman. Perkataan Kapten Nolly yang menyatakan Sobo adalah daerah yang sulit dijangkau sehingga bagai dalam lipatan bumi menarik untuk ditinjau.
Secara fisiografis, daerah Sobo dan sekitarnya menempati zona fisiografi pegunungan selatan (van Bemmelen, 1949) dan memang termasuk morfologi berelief tinggi (Lobeck, 1939).
Sekilas berdasarkan pengamatan menggunakan Google Earth dan Google Maps dengan fitur terrain, daerah Sobo berada pada topografi tinggi dengan elevasi >500 mdpl, sedangkan Markas Gerilya Panglima Besar Sudirman berada pada lokasi yang lebih tinggi lagi, dengan elevasi ±875 mdpl. Menariknya, berdasarkan citra tampak jelas bahwa lokasi markas berada di antara 2 tinggian di bagian barat laut dan Tenggara, yang membuat markas bagai berada di dalam benteng yang disediakan oleh alam.
ADVERTISEMENT
Bentukan relief yang terjal ini dapat teramati lebih jelas pada analisis gabungan hill shade dari citra DEMNAS dengan sudut penyinaran 0° ,45° ,90°,135°, dan 270°. Pada citra nampak adanya banyak lembahan yang ditunjukkan oleh daerah yang memiliki bayangan. Dengan demikian, pernyataan Kapten Nolly yang menyebutkan sekitar Sobo memiliki banyak “lembahan dan jurang” benar adanya.
Nah, lantas apakah ungkapan lain Kapten Nolly yang menyebutkan Sobo “bagaikan lipatan bumi” menunjukkan lokasi markas berada pada daerah lipatan atau pegunungan lipatan?
Bila dilihat pada Peta Geologi, lokasi markas gerilya ini berada pada Peta Geologi Lembar Ponorogo 1508-1 (Sampurno dan Samodra, 1997). Pada tampalan antara Peta Geologi Regional dan Citra Google Earth tampak bahwa daerah Sobo, Nawangan dan sekitarnya merupakan daerah yang kaya akan struktur geologi dengan kecenderungan berarah timur laut-barat daya.
ADVERTISEMENT
Struktur geologi adalah suatu struktur pada batuan yang diakibatkan oleh deformasi/perubahan bentuk sebagai akibat adanya suatu gaya yang timbul dari proses pergerakan lempeng. Struktur geologi sendiri terbagi dua, yakni struktur brittle (contoh: patahan dan kekar) dan struktur ductile/liat (contoh: lipatan)
Pada peta tampalan terlihat struktur yang ada di sekitar Markas Gerilya Panglima Soedirman didominasi oleh struktur brittle berupa sesar geser di mana pada peta geologi nama sesar yang tercantum yakni Sesar Pakis di sebelah timur dan Sesar Melokolegi di barat daya, selain itu masih banyak sesar-sesar lain di sekitar lokasi markas gerilya yang tak tercantum namanya. Struktur daerah Sobo yang didominasi oleh struktur berarah timur laut-barat daya termasuk ke dalam struktur berpola meratus yang terbentuk akibat proses subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng Mikro Sunda yang berlangsung sekitar Eosen Akhir-Miosen Tengah.
Lalu, apakah tidak ada struktur ductile di sekitar lokasi markas gerilya? Jawabannya ada, dibagian utara markas agak jauh terdapat Sinklin Gunung Kukusan. Jadi salah kah ungkapan Kapten Nolly yang menyebutkan Sobo “bagaikan lipatan bumi”? Tidak juga, pernyataan Kapten Nolly tersebut didasarkan pada bentuk dan kontur topografi lokasi markas yang dikelilingi oleh tinggian sehingga “bagaikan dalam lipatan bumi” karena lokasinya yang terlindung. Oleh karena itu, dengan kondisi geologi yang sedemikian rupa di sekitar lokasi Markas Gerilya di Sobo, menjadikan markas tersebut aman dan tersembunyi dari bala tentara Belanda.
ADVERTISEMENT
Wilayah Sobo, Pakis Baru, Nawangan, Pacitan telah menjadi saksi bisu bagaimana keras dan uletnya perjuangan para pahlawan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Selain berkat taktik perang gerilya yang diterapkan oleh Panglima Sudirman yang brilliant, faktor alam juga menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan taktik tersebut, tentu tidak lupa juga karena pertolongan Tuhan Yang Maha Esa sehingga Bangsa Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya.
Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab dan unggul sudah selayaknya pemuda-pemudi Indonesia senantiasa berjuang tanpa menyerah untuk mengisi kemerdekaan dengan prestasi dan karya, sehingga kelak Bangsa Indonesia akan dipandang menjadi bangsa besar, berdaulat dan benar-benar “Gemah Ripah Loh Jinawi”.