Konten dari Pengguna

Politisi Genderuwo

13 November 2018 16:24 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagong Suyanto Guru Besar FISIP dan Dosen Program S2 Kajian Ilmu Kepolisian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Politikus Genderuwo (Foto: kumparan/Nunki Pangaribuan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politikus Genderuwo (Foto: kumparan/Nunki Pangaribuan)
ADVERTISEMENT
Entah apa yang terjadi pada para politisi di tanah air. Ada kesan kuat, banyak politisi dewasa ini yang jauh dari sosok negarawan. Alih-alih memikirkan program pembangunan yang kontekstual dan berbuat nyata untuk rakyat, para politisi tampaknya lebih senang beradu sindiran, bahkan makian.
ADVERTISEMENT
Kau jual, aku beli. Sikap inilah yang kini banyak diperlihatkan para politisi. Begitu ada politisi melontarkan terminologi yang dirasa menyindir dirinya, maka reaksi serangan balik pun spontan dilontarkan. Ketika ada pihak yang melontarkan terminologi politisi sontoloyo, dan yang yang terbaru politisi genderuwo, maka spontan para politisi dari kubu pesaing pun segera merespons.
Yang terjadi kini adalah saling tuding. Ada pihak yang dengan berpuisi menuding bahwa genderuwo ada di istana. Sementara pihak lawan politik membalas dengan menyebutkan genderuwo ada di Senayan, di Hambalang, dan lain sebagainya. Ada yang bilang politisi cenderung hanya menakut-nakuti rakyat dan sekadar melontarkan kritik yang serem-serem tanpa dasar, pihak lawan dengan cepat merespons dengan kritik yang tak kalah menohok.
ADVERTISEMENT
Kesabaran Makin Tipis
Bersikap kritis dan melontarkan kritik demi kebaikan sebetulnya adalah hal yang biasa dalam kehidupan berpolitik. Dalam kehidupan berdemokrasi, menyampaikan pendapat--meski berbeda dengan status quo--adalah hal yang biasa. Tetapi yang menjadi masalah ketika yang terlontar bukan kritik yang membangun, melainkan caci-maki yang sama sekali tidak berbasis data yang akurat.
Dua kubu yang tahun 2019 bersaing dalam Pilpres, kini ada indikasi sama-sama suka berkeluh-kesah. Saling sindir, saling tuduh dan saling kecam adalah hal yang makin lama makin biasa dilakukan kedua belah pihak. Tidak ada diskusi yang produktif dan terhormat yang dilakukan dalam forum yang menjunjung tinggi keadaban.
Duel kedua Jokowi vs Prabowo. (Foto: Reuters, AFP, kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Duel kedua Jokowi vs Prabowo. (Foto: Reuters, AFP, kumparan)
Ketika pihak incumbent mengeklaim kemiskinan di Indonesia tinggal satu digit, maka pihak oposan justru menyebut sebaliknya: 99 persen penduduk Indonesia masih tergolong miskin. Bukannya mendiskusikan program apa yang dibutuhkan dan akan efektif diberlakukan di Indonesia untuk mengurangi angka kemiskinan, yang terjadi belakangan ini adalah klaim-klaim yang sifatnya ekspresif dan bernada retorik daripada klaim-klaim yang didukung data yang up to date, rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Beradu program dan menarik simpati konstituen dengan cara menawarkan maskot program yang efektif sebetulnya adalah hal yang harus dilakukan dalam pesta demokrasi yang memilih pemimpin terbaik. Tetapi, di tanah air ini yang terjadi masih jauh dari panggang api. Jangankan duduk semeja untuk saling berdiskusi secara fair, dalam kenyataan yang lebih penting adalah bagaimana membunuh karakter lawan, menjatuhkan nama baik pesaing walau harus dengan mempergunakan fitnah.
Lihat saja berapa banyak informasi hoaks dan ujaran kebencian yang berseliweran di media sosial? Hampir setiap jam, setiap ada momen yang memungkinkan, maka dengan cepat hoaks dan ujaran kebencian bermunculan dan disirkulasikan di kalangan warganet. Tidak ada pihak yang mau bersabar menunggu waktunya mereka bisa berkampanye dan beradu program. Yang terjadi, upaya untuk membangun citra dilakukan dengan segala cara yang tak jarang melanggar norma kepantasan.
ADVERTISEMENT
Tidak peduli apakah masyarakat di lapisan akar rumput bakal terbakar atau tidak, bagi pihak yang bersaing, yang penting tampaknya adalah bagaimana memojokkan kompetitornya. Apakah yang dipertontonkan elite-elite politik dari kedua kubu yang bersaing sehat dan bermartabat atau tidak, tampaknya tidak lagi dinilai perlu dikedepankan.
Menjelang tahun politik 2019, batas kesabaran dan toleransi masyarakat tampaknya makin tipis. Hanya gara-gara persoalan yang sebetulnya sepele, sensitivitas masyarakat tiba-tiba merasa tersodok, dan mudah sekali naik darah. Sebuah pidato yang bernada canda, menganalogikan orang-orang miskin sebagai orang yang “bertampang Boyolali”, dengan cepat memantik aksi protes. Bahkan, ada pejabat negara yang membahas dengan kata-kata kasar yang sama sekali tidak pantas diucapkan seorang pimpinan daerah.
Kenapa semua ucapan dan bahkan gestur lawan politik selalu menjadi masalah dan dipersoalkan? Di manakah sebetulnya ruang publik yang memungkinkan dialog atau berkomunikasi dilakukan setara dan konstruktif?
ADVERTISEMENT
Prasyarat
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Di era masyarakat yang demokratis, kedewasaan sikap berpolitik sesungguhnya adalah prasyarat dan bahkan karakter yang menandainya. Kedewasaan sikap berpolitik dibutuhkan sebagai prasyarat, sebab dalam kehidupan berdemokrasi, saling melontarkan kritik adalah hal yang dihalalkan terjadi. Cuma, kritik dalam masyarakat yang demokratis, tentu kritik yang dibutuhkan adalah kritik yang membangun, konstruktif, dan berbasis pada realitas.
Di kalangan politisi di tanah air, sayangnya kritik yang dilontarkan pihak-pihak yang bersaing, umumnya cenderung didramatisasi. Kritik bukan menjadi instrumen yang dimanfaatkan untuk beradu argumen dan berdiskusi secara jantan. Kritik sering kali dikembangkan sekadar sebagai sarana mengekspresikan kekesalan, bahkan sebagai saluran untuk menjatuhkan reputasi lawan.
Politisi yang kerjaannya hanya menakut-nakuti masyarakat, mendramatisasi setiap kejadian, dan bersikap pokoknya pihak lawan salah, tidaklah keliru jika disebut sebagai politisi genderuwo. Tetapi, politisi yang tidak siap dikritik, dan menyebut orang yang mengkritik sebagai orang yang budek dan tuli, sebetulnya juga kurang elok.
ADVERTISEMENT
Kau jual, aku beli. Sekali lagi ini adalah praktik politik yang kurang sehat, dan jika dibiarkan berlarut-larut niscaya hasilnya akan kontraproduktif. Membiasakan diri dalam pertikaian, dan membiasakan menjatuhkan reputasi lawan melalui cara apapun, belakangan ini memang menjadi virus yang mudah menular hingga menjadi wabah politik yang menakutkan.
Di mata masyarakat, siapa yang segera sadar dan mengisolasi virus jahat itu agar tidak makin meluas, niscaya itulah pilihan mereka nanti di tahun politik. Bagaimana pendapat anda? (*)
____
Bagong Suyanto
Guru Besar FISIP dan dosen Program S2 Kajian Ilmu Kepolisian (KIK)
Sekolah Pasca Universitas Airlangga