Pisau Tajam Undang-Undang Cipta Kerja

Bagus Fadillah
Mahasiswa D4 Manajemen Sumber Daya Manusia Politeknik STIA LAN Jakarta
Konten dari Pengguna
9 April 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagus Fadillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Sora Shimazaki: https://www.pexels.com/photo/crop-businesspeople-making-deal-during-workday-5668517/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Sora Shimazaki: https://www.pexels.com/photo/crop-businesspeople-making-deal-during-workday-5668517/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bulan lalu, baru saja disahkannya salah satu kebijakan yang sempat menuai protes dari sebagian warga Indonesia, dan sekarang hal tersebut terulang kembali menjadi buah bibir khalayak umum. Beberapa pihak yang terdampak akan kebijakan tersebut pun mulai bersuara menentang kebijakan tersebut. Bahkan, penetapan kebijakan ini memicu kembali aksi untuk menentang kebijakan ini yang dilakukan oleh berbagai kalangan massa.
ADVERTISEMENT
Yap, kebijakan yang dimaksud penulis adalah UU Cipta Kerja. Sebelumnya, Undang-Undang Cipta Kerja ini dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”, karena dianggap cacat secara formal dan cacat prosedur.
Menurut salah satu jurnal konstitusi yang berjudul “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)” putusan model inkonstitusional bersyarat merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.
Undang-Undang Cipta Kerja pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak.
Menurut Airlangga selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam artikel yang dipublikasikan oleh Indonesia.go.id, Perppu Cipta Kerja merupakan salah satu langkah mitigasi dari krisis global. Pengesahan Undang Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang juga mempertimbangkan hal terkait, yaitu dinamika global yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional.
Anggota DPR fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan (kiri) membawa dokumen keputusan fraksi untuk menolak Perppu Ciptaker disahkan jadi UU dalam Sidang Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan. Foto: Galih Pradipta/Antara Foto
Selain itu, ruang lingkup Perppu Cipta Kerja ini meliputi berbagai hal, seperti peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kemudahan berusaha, Dukungan riset dan inovasi, pengadaan tanah, kawasan ekonomi, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional, pelaksanaan administrasi pemerintahan, dan pengenaan sanksi.
ADVERTISEMENT
Namun, beberapa kalangan masyarakat yang seharusnya diuntungkan karena adanya kebijakan terkait penciptaan kerja seluas-luasnya justru merasa dirugikan dan merasa bahwa kebijakan ini tidak tepat untuk disahkan.
Akibatnya, aksi dilakukan oleh para buruh dan mahasiswa, dan sejumlah pemohon pun mulai mengajukan permohonan pengujian formil dan materil terkait Perppu Cipta Kerja. Pemohon tersebut datang dari berbagai kalangan, seperti akademisi, konsultan hukum, wiraswasta, serikat pekerja, aliansi serikat pekerja, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dan bahkan mahasiswa.
Salah satu berita yang dipublikasikan di laman mkri.id terkait Perppu Cipta Kerja mengungkapkan Beberapa hal yang membuat sebagian masyarakat merasa dirugikan akan kebijakan tersebut, seperti status hubungan kerja yang cenderung melegalkan praktik perjanjian kerja tertentu berkepanjangan, masalah upah minimum, berkurangnya nilai pesangon, dan berpotensi timbulnya perselisihan karena ketidakjelasan peraturan peralihan yang mengatur norma baru dan norma-norma yang dihilangkan dalam Bab IV Ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada pula yang berpendapat sebaliknya terkait dengan ruang lingkup ketenagakerjaan. Revisi yang dilakukan pada Perppu Cipta kerja justru menguntungkan buruh, seperti rekonstruksi outsourcing dan juga kebijakan terkait pengupahan upah minimum.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Pada akhirnya, pemerintah perlu mendengarkan keluhan-keluhan tersebut. Apabila tidak segera diambil jalan keluarnya, maka pemerintah perlu memikirkan bagaimana ke depannya, hal tersebut mempengaruhi para buruh secara tidak langsung.
Pengaruh tersebut bisa saja akan menjalar ke dalam ruang lingkup perusahaan seperti, demotivasi, dan potensi terjadinya perselisihan antara pemberi kerja dan pekerja serta perlu diingat kembali bahwa ini termasuk ruang lingkup ketenagakerjaan saja, belum mencangkup hal lainnya seperti perizinan dll.
Penelitian yang berjudul “Crisis Perceptions, Relationship, and Communicative Behaviors of Employees: Internal Public Segmentation Approach” juga mengungkapkan bahwasanya kualitas hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja menentukan keberhasilan suatu organisasi, khususnya ketika terjadi suatu krisis. Selain itu, aspek kepercayaan kemungkinan besar akan menjadi perhatian pemerintah, pemberi kerja dan pekerja.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut penelitian yang berjudul “Bridging Transformational Leadership, Transparent Communication, and Employee Openness to Change: The Mediating Role of Trust” mengungkapkan setidaknya ada tiga dimensi yang mendasari kepercayaan.
Pertama, integritas yang mengacu pada keyakinan bahwa perusahaan itu adil. Kedua, ketergantungan yang mengacu pada keyakinan bahwa perusahaan akan melakukan apa yang dikatakan akan dilakukan. Ketiga, kompetensi yang mengacu pada keyakinan bahwa perusahaan memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang dikatakan akan dilakukan.