Relasi Negara dan Agama pada Pidato 1 Juni

Bagus Adil
Bendahara PA GMNI Situbondo
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2023 13:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagus Adil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ir. Sukarno Foto: perpusnas.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Ir. Sukarno Foto: perpusnas.go.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjadi prasyarat utama bahwa dasar sebuah bangsa yang merdeka adalah kedaulatan sepenuhnya. Dasar yang mampu mengambil benang merah dari keberagaman serta kompleksitas dalam sebuah bangsa. Menuju Indonesia merdeka diperlukanlah sebuah jembatan maka dari itu kita sempurnakan kita punya masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di awal era 1900-an sifat perjuangan kedaerahan sudah mulai ditinggalkan, karena hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan untuk melawan kolonialisme Belanda.
Berangkat dari hal inilah banyak bermunculan gerakan-gerakan revolusioner yang diprakarsai oleh ISDV, Gerindo, PNI, Partindo, dan gerakan revolusioner lainnya dalam rangka hilangnya penindasan di Nusantara yang kelak nanti kita kenal sebagai Indonesia.
Pidato Sukarno pada sidang BPUPKI, Foto: kemendikbud.go.id
Pada tanggal 1 Juni 1945 atau yang kita kenal hari ini sebagai hari lahirnya Pancasila, Bung Karno berpidato mengenai Pancasila yang akan menjadi dasar untuk Indonesia merdeka. Sukarno paham betul, bahwa sebelum masuknya agama-agama ke Indonesia sebenarnya masyarakat kita sudah berasaskan ketuhanan dengan baik.
Prinsip-prinsip ketuhanan inilah yang seharusnya dikedepankan dalam berkehidupan di tengah-tengah bangsa yang madani ini. Prinsip ketuhanan yang “beyond religions” (menaungi agama-agama) ini dibuktikan dengan tetap eksisnya Indonesia hingga hari ini dengan keberagaman kepercayaan di dalamnya dan harapannya hari ini akan mengukir masa keemasan dalam pentas sejarah di tahun 2045 kelak.
ADVERTISEMENT
Pancasila yang diajukan oleh Bung Karno pada waktu itu adalah sebagai “philosophisce grondslag” dasar filsafat dan “way of life” bagi kehidupan Indonesia. Sejak berdirinya NKRI berada dalam dua paradigma relasi antara negara dan agama, yaitu paradigma integrasi, yang melahirkan negara agama (theocracy), dan paradigma sekularistik yang melahirkan negara sekuler yang netral agama (secularism).
Oleh karena itu, “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” menginginkan agar bangsa yang sudah merdeka ini selalu bertakwa kepada Tuhannya masing-masing.
Bung Karno tidak menyetujui bahwa Indonesia menjadi negara agama, yang dimaksudnya adalah “Prinsip Ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, menyembah Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhannya menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab suci yang ada padanya. Tetapi hendaklah bangsa Indonesia semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!” (Pidato 1 Juni 1945).
Presiden Pertama Indonesia Sukarno. Foto: AFP
Dari penelusuran konteks historis dalam sejarah Revolusi 1945 dapat dicatat dua kenyataan yang diterima. Pertama, yaitu fakta bahwa telah sekian lama rakyat sengsara dalam penindasan kapitalisme dan imperialisme. Kedua, kemajemukan Indonesia dalam hal suku, budaya, agama, hingga pandangan politik.
ADVERTISEMENT
Kenyataan pertama membuat Bung Karno muak sehingga melahirkan ide-ide politik untuk menghantam kapitalisme dan imperialisme. Kenyataan kedua membuat Sukarno gandrung untuk menyatukan semua elemen. Dua elemen inilah yang mempengaruhinya dalam aktivitas politik.
Maka dari itu dengan penuh kesadaran historis bahwa realitas kemajemukan bangsa adalah warisan sejarah panjang perjalanan Indonesia selama berabad-abad sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Jika di waktu itu para pemuda mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 karena kesadaran akan kemajemukan dan sebuah bangsa yang besar.
Kiranya kita terus gigih memperjuangkan kesatuan bangsa, dan menjadi obor penyuluh ketika sebagian anak-anak bangsa ini dijangkiti pemikiran sektarian sempit, fanatisme agama, fanatisme terhadap golongan atau kelompok-kelompok tertentu yang mengorbankan persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa.
ADVERTISEMENT
Kiranya kita bisa mereguk faedah-faedah sang Proklamator dan para pejuang lainnya yang gigih dalam menyerukan kemerdekaan dari kebengisan pihak kolonialis serta mewarisi api perjuangan itu.
Sekalipun kita berbeda-beda tetapi tetaplah itu berada di dalam “wilayah-wilayah privat”—dan di dalam “ruang publik” kita menghela napas bersama, bergandengan tangan bersama, menunaikan tugas sejarah bersama, di mana kita berada di rumah besar bernama “NKRI” dengan mengusung semangat “Bhinneka Tunggal Ika”. Maka dirasa Pidato 1 Juni adalah sebuah diskursus yang menciptakan kedamaian bersama dalam naungan kebinekaan dalam relasi antara negara dan agama.
Meskipun dalam konteks historis para pejuang kemerdekaan berada dalam spektrum ideologi hingga gerakan politik yang berbeda akan tetapi semuanya itu untuk Indonesia merdeka. Tak heran jika istilah machtsvorming yang dipopulerkan oleh Sukarno waktu itu cukup populer bagi kalangan kaum nasionalis dan selalu identik dengan pengumpulan kekuatan yang dipikul oleh sebuah ide demi tercapainya cita-cita kemerdekaan, tanpa adanya rasa persatuan dan kesatuan kita tidak akan merasakan manisnya kemerdekaan hari ini.
ADVERTISEMENT
Kedamaian dan ketentraman kita saat ini merupakan sebuah bentuk dari hasil yang manis oleh perjuangan para pendahulu kita. Kadang kala bangsa ini memang harus menengok lagi ke belakang dan mengingat bagaimana proses kelahiran Indonesia dari rahim Ibu Pertiwi.
Hal ini tentu bisa menjadi asas secara ideologis ketika suatu saat bangsa ini dibenturkan oleh hal-hal yang dapat memecah persatuan dan kesatuan dan harapannya rasa kebersamaan dan kesatuan masih tetap ada, tidak tercerai-berai karena suatu kepentingan pribadi/golongan.