Konten dari Pengguna

Gaya Bahasa pada Puisi 'Ada Genderuwo di Istana' Karya Fadli Zon

Bagus Nur Alim
Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Sastra Indonesia
5 Oktober 2023 13:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagus Nur Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gaya Bahasa dalam Puisi. Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gaya Bahasa dalam Puisi. Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis untuk menimbulkan efek-efek tertentu. Gaya bahasa biasa dipergunakan dalam bentuk prosa ataupun puisi. Seperti halnya di bawah ini akan melihat sebuah gaya bahasa dalam puisi "Ada Genderuwo di Istana" karya Fadli Zon.
ADVERTISEMENT
ADA GENDERUWO DI ISTANA
ada genderuwo di istana
tak semua orang bisa melihatnya
kecuali yang punya indra istimewa
makhluk halus rendah strata
menakuti penghuni rumah penguasa
berubah wujud kapan saja
menjelma manusia
ahli manipulasi
tipu sana tipu sini
ada genderuwo di istana
seram berewokan mukanya
kini sudah pandai berpolitik
lincah manuver strategi dan taktik
ada genderuwo di istana
menyebar horor ke pelosok negeri
meneror ibu pertiwi
Puisi tersebut lahir untuk merespon pernyataan "Politikus Genderuwo" dari Presiden Joko Widodo pada tahun 2018, di Tegal. Genderuwo disini adalah yang diduga menakut-nakuti masyarakat dalam konteks sertifikasi tanah. Fadli Zon berpandangan bahwa yang menakut-nakuti masyarakat itu berasal dari pemerintahan atau oknum pejabat.
ADVERTISEMENT
Puisi tersebut tentu memiliki gaya bahasa yang bisa dianalisis lebih jauh. Setidaknya, dalam puisi tersebut mengandung gaya bahasa simbolik, kontradiksi interminus, satire, eufimisme, tautotes, metafora, dan personifikasi. Pada tulisan dibawah ini, setidaknya akan sedikit dipaparkan mengenai gaya bahasa dari puisi "Ada Genderuwo di Istana" karya Fadli Zon.
Baris pertama, maka akan terlihat sebuah gaya bahasa simbolik yang dipergunakan. Mulai dari penggunaan kata "Genderuwo" sebagai oknum yang menakut-nakuti masyarakat, sampai kepada kata "Istana" sebagai simbol pejabat kepemerintahan yang berwenang.
Baris kedua dan ketiga, terdapat gaya bahasa kontradiksi interminus yang dipergunakan di baris ketiga untuk menyangkal baris kedua. "Tak semua orang bisa melihatnya" adalah sebuah pernyataan yang disangkal oleh baris ketiga yaitu "kecuali mereka yang memiliki indra istimewa". Jadi, pada intinya penulis sepertinya hendak menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengetahui sosok "genderuwo di istana" tersebut.
ADVERTISEMENT
Baris ketiga, nampaknya disisipi kata satire dengan kata "makhluk halus rendah strata". Ungkapan ini nampak sepintas layaknya celotehan yang memiliki niat bersahabat tapi berakhir kepada sebuah sindiran kritik. Sindiran ini diberikan kepada sosok "genderuwo".
Baris delapan dan sembilan, terdapat gaya bahasa eufimisme yang mengungkapkan kata dengan lebih halus yaitu "ahli manipulasi, tipu sana tipu sini". Kata tersebut menunjukkan bahwa kata yang akan dimaksud adalah sebagai pendusta atau pembohong.
Baris sepuluh dan empat belas adalah struktur kalimat yang sama dan dapat disebut sebagai tautotes. Jadi, repetisi digunakan untuk menegaskan tentang objek yang dibicarakan yaitu "genderuwo di istana" yang merujuk kepada judul dan baris pertama.
Baris sebelas, memuat gaya bahasa simbolik dengan kata "seram berewokan mukanya". Kata ini merujuk kepada "genderuwo" yang memang berwujud seram, sekalipun tidak harus berewokan. Hanya dipergunakan sebagai simbol yang menegaskan seramnya "genderuwo" yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Baris ke dua belas dan tiga belas, adalah kata yang diperhalus dengan gaya bahasa eufimisme. Menunjukkan fakta namun juga sekaligus mengkritik objek yang dimaksud.
Baris ke lima belas, adalah metafora yang bermakna melebih-lebihkan sebuah kata. seperti kata "meneror ke pelosok negeri", bermakna luasnya lingkup gerak "genderuwo". Sehingga membuat seluruh masyarakat takut terhadapnya.
Baris ke enam belas, adalah personifikasi dengan kata "ibu pertiwi". Kata tersebut dipergunakan untuk merujuk kepada sebuah wilayah yaitu Indonesia. Sehingga bisa disimpulkan bahwa "genderuwo" ini meresahkan sebagian besar masyarakat Indonesia.