Konten dari Pengguna
Membaca Pidato Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80 dengan Retorika Klasik
26 September 2025 18:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
Membaca Pidato Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80 dengan Retorika Klasik
Prabowo Subianto selaku presiden Indonesia menyampaikan pidatonya pada sidang umum PBB ke-80 di New York. Pidatonya begitu mengesankan dan dapat dikupas dengan pendekatakan retorika klasik.Bagus Nur Alim
Tulisan dari Bagus Nur Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Prabowo sebagai presiden Indonesia menyampaikan pidato dengan menggelontorkan beberapa hal. Diantaranya adalah tentang penderitaan rakyat Palestina. Akankah kita tetap menonton kekerasan yang terjadi? Bisakah kita diam saja? Rasanya pertanyaan ini akan menggugah semangat dalam menegakkan keadilan, keseteraan, dan keamanan oleh setiap orang.
ADVERTISEMENT
Pidato dari Prabowo tidak hanya sampai ke telinga, melainkan tembus ke sanubari. Kenapa pidato tersebut bisa sekuat itu? Kita dapat melihat dari segi retorik klasik yang berlandaskan dari kredibilitas, emosi, dan logika.
Kredibilitas (Sisi Historis dan Posisi Indonesia)
Prabowo menajamkan kredibiltas pidato dan persoalan penderitaan rakyat Palestina dengan menguak sisi historis Indonesia yang pernah dijajah. Dengan menyatakan tegas bahwa Indonesia pernah mengalami penjajahan, perbudakan, penindasan, sehingga mengetahui bahwa semuanya tidaklah menyenangkan. Pada masa penjajahan, rakyat Indonesia direndahkan bahkan lebih rendah dari seekor anjing. Dalam konteks ini, Prabowo ingin mengungkapkan bahwa Indonesia paham betul dengan segala bentuk ketidakadilan.
Selain sisi historis, Prabowo menyampaikan pencapaian Indonesia di masa kini. Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang terbesar pasukan perdamaian PBB. Indonesia juga melalukan aksi nyata dengan menjaga ketahanan pangan dengan mencatatkan produksi beras dan gabah cadangan tertinggi. Dengan ketahanan pangan ini, Indonesia mampu mengekspor beras ke negara yang membutuhkan dan terdampak kelaparan, kemiskinan, dan penindasan salah satunya Palestina.
ADVERTISEMENT
Emosi (Kemanusiaan)
Prabowo selain menajamkan kredibilitas dalam pidato, berusaha menggugah emosi audiensi perihal kemanusiaan. Prabowo sekali lagi memotret bagaimana kondisi rakyat Palestina di Gaza. Mulai dari anak-anak yang menangis, orang tua yang meminta pertolongan, perempuan yang terbaring tak berdaya, dan penderitaan lainnya. Dengan mengungkap semua penderitaan ini, Prabowo melontrakan pertanyaan tajam, "apakah kita bisa diam?" Tentu saja, emosi audiensi akan terombang-ambing mendengar pernyataan ini.
Setelah sanubari diketuk, Prabowo meluncurkan secerca harapan bahwa manusia itu harusnya saling menyatukan, bukan memisahkan. Perlu adanya kesadaran tentang kemanusiaan ditengah kebencian, ketakutan, dan kekerasan. Setiap manusia memiliki hak yang sama, kesempatan yang sama, dan dapat menentukan jalan bahagianya.
Logika (Argumentasi)
Prabowo mengungkapkan permasalah global yang menghantui seperti kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan. Banyak nyawa yang hilang karena permasalahan tersebut. PBB lahir sebagai wadah yang menampung segala aspirasi seluruh manusia baik yang kuat maupun lemah dengan menjamin keamanannya, keadilannya, dan kebebasannya. Tanpa lahirnya PBB, setiap manusia merasa tidak aman dan dilanda ketakutan.
ADVERTISEMENT
Atas dasar permasalahan global tersebut, perlu adanya kesadaran bahwa segala bentuk kekerasan tidak dapat dibenarkan. Kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan berikutnya. Tugas PBB dan pemimpin negara adalah mencegah itu semua.
Menanggapi peristiwa ketidakadilan di Palestina, Prabowo mencanangkan satu solusi untuk kedua pihak. Pertama, berikan legitimasi, kebebasan, dan keadilan kepada Palestina. Kedua, setelah legitimasi itu diberikan kepada Palestina, Israel juga harus dihormati dan dihargai. Solusi ini, dapat berdampak besar terhadap keadilan global dan memudarkan penindasan, kekerasan, dan ketidakadilan di berbagai wilayah.
Prabowo menyampaikan pidatonya begitu lantang dengan melandaskan narasinya kepada retorika klasik tersebut. Tidak hanya mengupas kredibilitas secara historis, melainkan juga memberikan dampak nyata dan solusi yang dapat dijadikan pedoman PBB dan negara lainnya. Karena pada dasarnya, pesan kemanusiaan itu tidak hanya perlu diutarakan saja, melainkan juga perlu pembuktian.
ADVERTISEMENT

