Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Pemberontakan PKI 1926
8 November 2022 13:16 WIB
Tulisan dari Bagus Raditya Brahma Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 1900 hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tahun 1945 menjadi sebuah periode yang penting bagi Sejarah Indonesia, di masa ini kita mulai diperlihatkan dengan berbagi perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan, mereka melakukan hal tersebut dengan berbagai pendekatan yang berbeda, salah satunya adalah pendekatan baru yang menandai kebangkitan gerakan politik Pemikiran. Misalnya kehadiran berbagai bentuk gerakan yang berbasis pada koran, jurnal, rapat, pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, lagu, teater, dan pemberontakan. Para tokoh-tokoh pergerakan ini mulai menyadari betapa pentingnya pendirian organisasi bagi perjuangan meraih kemerdekaan bangsa, dengan organisasi sebagai instrumen yang dapat memobilisasi massa guna melawan penindasan yang marak dilakukan oleh pemerintahan kolonial.
ADVERTISEMENT
Pada masa pergerakan nasional Indonesia, terdapat beberapa bentuk pergerakan atau organisasi yang menampung atau memberikan wadah bagi tokoh-tokoh perjuangan. seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia (PKI), Insulinde, Sarekat Rakyat, dan sebagainya. Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan salah satu komponen pergerakan yang terkenal progresif dan frontal serta memiliki peran dalam Masa Kebangkitan Nasional. Meskipun saat ini eksistensinya sudah sepenuhnya dilarang, baik fisik maupun pemikirannya di Indonesia.
Sejak bibit dari ideologi ini sendiri mulai ditanamkan di Tanah Jawa sejak tahun 1913, komunisme mulai menjadi momong yang mengkhawatirkan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, berbagai bentuk mogok buruh hasil organisasi PKI yang sering terjadi pada awal 1920 an, hingga Dalam waktu 4 tahun saja, PKI dapat berkembang menjadi ancaman yang nyata bagi pendudukan pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda terus melakukan segala bentuk upaya pengawasan secara ketat terhadap partai tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyatanya adalah Sneevliet, sang pembawa ideologi komunisme yang diasingkan pada 1919, kemudian Tan Malaka pada 1922, Semaoen pada 1923, dan Darsono pada 1925. Ditambah dengan kebanyakan petinggi-petinggi PKI seperti Alimin, Musso, dan Sardjono yang memutuskan untuk melarikan diri ke Singapura untuk menghindari kejaran pemerintah kolonial. Sudah tentu bahwa hal ini membawa dampak yang berpengaruh bagi PKI.
Tahun 1924 merupakan tahun yang menentukan bagi Partai, dimana diadakan kongres PKI di Yogyakarta yang menghasilkan keputusan untuk memperkuat barisan pergerakan, yang berartikan persiapan revolusi dengan tujuan mengadakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1926. Keputusan tersebut diambil dikarenakan para petinggi partai berpikiran bahwa momentum untuk melaksanakan sebuah revolusi sudah semakin terlihat dengan persekusi yang berlebihan dari Pemerintah Kolonial. Rencana mengenai mobilisasi ini ditolak mentah-mentah oleh Tan Malaka, karena menurutnya secara organisasi maupun rencana, PKI dirasa masih belum siap untuk melaksanakan sebuah pemberontakan berskala besar.
ADVERTISEMENT
Tentu absennya petinggi-petinggi PKI yang berpengalaman memberi jalan bagi PKI untuk berada di bawah tangan kaum muda yang cenderung berpikir panas. Selama 1,5 tahun setelah kongres di Yogyakarta, PKI semakin lama dipengaruhi oleh dorongan-dorongan pemikiran anarkis oleh anggotanya. Sehingga pada akhirnya PKI lebih mengikuti naluri bahwa revolusi adalah sebuah keharusan dan pemberontakan tanpa mempertimbangkan kekuatan yang dimiliki.
Di akhir tahun 1926, tanpa koordinasi ataupun mediasi dengan pimpinan yang sedang berada di pengasingan, PKI melancarkan pemberontakan yang berlangsung selama bulan November-Desember, dengan pelaksanaannya di berbagai kota penting di Jawa, seperti di Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara),Tangerang, Karesidenan Banten, Priangan, Solo, dan Kediri.
Tentunya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menanggapi hal tersebut dengan tegas, pada bulan Desember 1926 sebanyak 100 lebih “kaum merah” dari Tanah Abang dan Karet ditangkap lalu digiring ke kantor Kabupaten Molenvliet daerah Gambir. Sementara pimpinan pusat PKI memutuskan untuk melarikan diri ke Uni Soviet. Perburuan besar-besaran terhadap orang-orang “merah” mulai digencarkan oleh Pemerintah Kolonial, mereka yang beruntung memutuskan untuk melarikan diri, mereka yang tidak harus mendekam di penjara kolonial selama bertahun-tahun, atau yang lebih parah diasingkan ke tempat-tempat terpencil seperti Boven Digoel di Papua. Hal ini alhasil mengartikan bahwa pergerakan atau pemberontakan PKI tersebut gagal.
ADVERTISEMENT
Kegagalan Pemberontakan PKI tersebut apabila dilihat dengan benar dapat dipahami bahwa adanya berbagai permasalahan yang cukup mendalam, dan sekiranya permasalahan yang dimaksud adalah:
- Aspek Kepemimpinan
Seperti yang kita ketahui, petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Darsono, Musso, dan Tan Malaka yang bersifat lebih “dewasa” (kompeten dan berpengalaman) dalam perpolitikan negara pada saat itu diasingkan ataupun mengasingkan diri ke luar negeri, hal ini memberi jalan bagi pemuda-pemuda PKI yang cenderung berpikiran panas dan anarkis untuk memegang kendali atas kebijakan partai, alhasil melahirkan ide mengenai sebuah pemberontakan atau “Revolusi” yang ditujukan untuk melawan, atau bahkan menggulingkan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tentunya mereka yang lebih berpengalaman melihat ide perlawanan ini sebagai hal yang tidak masuk akal, dikarenakan memang PKI, secara organisasi maupun rencana, tidak memiliki kekuatan ataupun keunggulan yang dapat digunakan, ditambah dengan anggapan bahwa pelaksanaannya bersifat prematur dan terlalu cepat sehingga seharusnya membutuhkan pertimbangan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
- Aspek Citra
Keberhasilan suatu gerakan dapat diraih apabila kegiatan tersebut mendapat dukungan penuh dari masyarakat, inilah yang dimaksud aspek citra, dimana sebuah gerakan mencoba untuk meyakinkan semua pihak bahwa mereka memiliki tujuan yang baik bagi kehidupan masyarakat. Citra publik merupakan komponen yang sangat penting, tujuannya tentu adalah untuk mendapatkan dukungan sepenuhnya dari semua elemen masyarakat. Sedangkan PKI sendiri gagal dalam meraih aspek ini, seperti yang diketahui bahwa PKI seringkali berkonflik dengan golongan-golongan lain, seperti misalnya pertentangan ideologi dengan organisasi-organisasi islam seperti Sarekat Islam. Dengan demikian, PKI hanya disukai oleh beberapa kelompok yang pada dasarnya adalah kalangan kelas bawah. Sementara dengan sebagian besar golongan, mereka seringkali bertentangan, terutama golongan agama.
ADVERTISEMENT
- Aspek Taktik
Suatu gerakan akan berhasil apabila memiliki taktik yang cerdik nan cerdas di dalamnya. Strategi yang dipilih harus bisa meraih opini publik dan digunakan secara efektif untuk mencapai tujuan dari gerakan tersebut. Pada konferensi PKI di Yogyakarta (1924), diusulkan untuk mendisiplinkan partai, salah satunya adalah dengan pembubaran Serikat Rakjat (SR), namun ditolak oleh Darsono dengan alasan bahwa SR masih diperlukan dalam operasi. Usulan lainnya adalah memperluas serta mendisiplinkan PKI melalui pembentukan sel-sel, namun tidak pernah terlaksanakan. Yang terlaksana hanyalah mendorong anggota SR untuk bergabung dengan PKI, akibatnya jumlah anggota membengkak dan berakibat pada partai yang semakin tidak disiplin. Taktik PKI juga terbilang monoton, hanya berputar di bidang mogok, rapat, rapat anggota, dan surat kabar, yang tentu semakin lama akan semakin usang, yang pada akhirnya tak lagi bisa digunakan. Bisa dibilang bahwa PKI gagal dalam menemukan suatu strategi yang baik, benar, dan diterima oleh seluruh anggotanya.
ADVERTISEMENT
- Aspek Tujuan
Dalam menciptakan gerakan yang berhasil, diperlukan pandangan pihak luar bahwa suatu gerakan sosial tersebut memiliki tujuan yang baik dan untuk kepentingan masyarakat. Tujuan PKI adalah untuk membentuk masyarakat sosialis di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa sifat masyarakat Indonesia memiliki kesamaan dengan masyarakat di negeri kapitalis maupun Rusia sebelum Revolusi Bolshevik yang tentunya merupakan anggapan yang keliru, karena kondisi masyarakat Indonesia saat itu bersifat masyarakat yang feodal. Hal ini berakibat fatal bagi PKI yang otomatis salah dalam melihat susunan masyarakat dan sosial secara keseluruhan. Penentuan sosialisme sebagai dasar program dalam melakukan pemberontakan sudah dapat dikatakan salah yang berakibat fatal bagi PKI sehingga mereka tidak memiliki komponen yang dapat mempersatukan seluruh golongan yang ada pada saat itu dapat digunakan sebagai kekuatan yang sangat dahsyat.
ADVERTISEMENT
- Aspek Dukungan
Hampir seluruh kelompok gerakan sosial mendapatkan dukungan politik dan material dalam bentuk seperti uang dari berbagai kelompok lainnya. Seperti yang diketahui, PKI sendiri tidak memenuhi aspek dukungan yang merupakan komponen penting, mereka malah bertentangan dengan kelompok lainnya, seperti kelompok SI, Muhammadiyah, atau golongan putih lainnya. Hal ini tentu berdampak bagi PKI yang seharusnya dapat memanfaatkan golongan-golongan tersebut untuk diajak bekerja sama di bawah slogan “kebangkitan nasional” namun malah merenggangkan hubungan dengan kelompok lain sehingga PKI terpaksa melakukan semuanya dengan sendiri.