Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Generasi Muda, Komunikasi Politik, dan Tantangan Demokrasi di Era Digital
1 Mei 2025 19:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Bagus setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat ini, lanskap politik global dan nasional tengah bergeser secara signifikan. Komunikasi politik tidak lagi didominasi oleh para elit dengan mikrofon di panggung megah, atau oleh juru bicara partai yang berbicara di layar televisi. Kini, siapa pun bisa menjadi komunikator politik. Siapa pun bisa memengaruhi opini publik. Dan di pusat dari perubahan itu berdiri generasi muda generasi yang lahir dan besar dalam pusaran teknologi, informasi, dan keterbukaan.
ADVERTISEMENT
Generasi muda bukan hanya konsumen informasi, tapi produsen opini. Mereka tidak menunggu perubahan, mereka menciptakannya. Di tangan mereka, komunikasi politik menjadi lebih dari sekadar pernyataan sikap: ia adalah senjata sosial yang mampu mengguncang struktur kekuasaan, menantang status quo, dan membentuk ulang arah masa depan bangsa.
Melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, Twitter, hingga YouTube, generasi muda menciptakan ruang-ruang diskusi yang tidak terpusat, terbuka, dan tanpa batas geografis. Mereka mempopulerkan istilah-istilah politik ke dalam bahasa yang ringan dan relatable. Istilah seperti oligarki, nepotisme, hingga disinformasi kini menjadi bagian dari percakapan harian di kolom komentar dan utas-utas viral. Ini bukan hal kecil. Ini adalah kebangkitan kesadaran politik secara organik.
Dulu, banyak yang mengatakan bahwa anak muda apatis terhadap politik. Tetapi kini, klaim itu terdengar usang dan tidak berdasar. Mereka tidak apatis mereka hanya jenuh dengan model politik lama yang penuh sandiwara, korupsi, dan minim transparansi. Ketika kanal tradisional tak lagi mampu mengakomodasi kegelisahan mereka, anak muda menciptakan kanal sendiri. Mereka memanfaatkan ruang digital sebagai medan tempur narasi, menjadikan konten sebagai peluru, dan menyusun strategi komunikasi politik yang lebih kreatif, inklusif, dan membumi.
ADVERTISEMENT
Namun, kekuatan ini tidak datang tanpa tantangan. Era digital menghadirkan banjir informasi, dan di dalamnya terselip ancaman berupa hoaks, disinformasi, dan manipulasi algoritma. Generasi muda harus berperang di medan yang tidak selalu adil. Mereka harus memiliki kemampuan literasi digital yang kuat agar tidak terjebak dalam echo chamber atau terprovokasi oleh isu-isu yang sengaja dipelintir untuk memecah belah. Komunikasi politik di era digital membutuhkan kecerdasan emosi dan intelektual yang seimbang. Karena itu, pendidikan politik yang adaptif dan non-doktrinal sangat diperlukan agar mereka mampu mengolah, menilai, dan menyebarkan informasi secara bertanggung jawab.
Realitas lain yang juga perlu dikritisi adalah bagaimana sebagian besar elit politik masih meremehkan kekuatan generasi muda. Banyak politisi yang hanya memanfaatkan anak muda sebagai alat kampanye, simbol estetik, atau pangsa pasar pemilih pemula. Mereka abai terhadap fakta bahwa generasi ini bukan sekadar angka dalam daftar pemilih tetap, melainkan aktor kunci dalam proses perubahan sosial-politik. Generasi muda hari ini bukan hanya ingin dilibatkan, tapi ingin dilibatkan secara bermakna. Mereka ingin didengar, dihargai, dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya para penguasa baik di level lokal maupun nasional berhenti memandang anak muda sebagai ‘beban’ demokrasi. Justru sebaliknya, anak muda adalah benteng terakhir integritas demokrasi itu sendiri. Dalam dunia yang semakin dipenuhi dengan politik transaksional dan permainan citra, anak muda hadir membawa kesegaran moral dan keberanian untuk menantang yang mapan. Mereka tidak terjebak dalam jargon formal, tetapi mampu menyulap isu serius menjadi konten yang bisa diakses, dipahami, dan dibagikan secara luas. Mereka adalah pendobrak batas antara politik dan rakyat.
Kita telah melihat bagaimana gerakan sosial yang dipelopori oleh generasi muda mampu menciptakan dampak nyata. Aksi turun ke jalan, kampanye online, penggalangan dana solidaritas, hingga edukasi publik melalui konten digital adalah bentuk konkret dari kekuatan komunikasi politik generasi muda. Mereka tidak sekadar beropini mereka menciptakan arus. Mereka tidak hanya menolak kebijakan, tapi juga menawarkan solusi alternatif. Gerakan ini lahir dari bawah, tumbuh dengan cepat, dan mengakar pada keresahan kolektif yang tak lagi bisa diabaikan.
ADVERTISEMENT
Tentu saja perjuangan ini tidak mudah. Dibutuhkan keberanian untuk tetap bersuara di tengah tekanan. Dibutuhkan konsistensi untuk tetap berpihak pada kebenaran meski dihadang kekuasaan. Dan yang paling penting, dibutuhkan solidaritas antar sesama anak muda lintas kelas, suku, dan latar belakang agar kekuatan ini tidak tercerai-berai oleh kepentingan sesaat. Komunikasi politik bukan lagi sekadar alat propaganda. Ia adalah senjata ideologis untuk menyuarakan harapan, memperjuangkan keadilan, dan menuntut transparansi. Di tangan generasi muda, komunikasi politik berubah menjadi ruang perlawanan yang kreatif, progresif, dan tidak bisa diremehkan.
Mereka bukan hanya pewaris masa depan, tapi juga arsitek yang sedang merancangnya dari sekarang. Maka, jangan pernah meremehkan satu cuitan anak muda. Jangan anggap sepele satu video berdurasi 30 detik yang menyuarakan kebenaran. Karena dari satu suara, bisa lahir gelombang perubahan. Dan dari gelombang itulah, masa depan demokrasi kita dibentuk bukan di ruang-ruang elit yang tertutup, tetapi di ruang-ruang digital yang terbuka, penuh semangat, dan tak terbendung.
ADVERTISEMENT