Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Dilema Pembangunan: Ketegangan Antara Nilai Tradisional dan Pertumbuhan Ekonomi
28 April 2025 19:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Bagus Azam Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernah nggak sih ngerasa, di tengah semangat Indonesia buat ngejar pertumbuhan ekonomi, ada sesuatu yang kayak “nahan”? Bukan cuma soal duit atau infrastruktur, tapi soal nilai-nilai tradisional yang dipegang erat sama masyarakat, terutama di desa-desa. Bayangin, di satu sisi kita pengen bangun pabrik biar ekonomi ngegas, tapi di sisi lain, warga bilang, “Eh, tunggu dulu, tanah ini bukan cuma tanah, ini warisan leluhur!” Konflik kayak gini bikin pembangunan jadi dilema: kita mau maju, tapi jangan sampai budaya kita ketinggalan. Nah, mari kita bongkar soal ini dengan santai, tapi tetap pake data dan contoh biar nggak cuma omong kosong.
ADVERTISEMENT
Apa Kata Angka?
Ekonomi Indonesia lagi on fire, lho. Badan Pusat Statistik (BPS) bilang, di triwulan I-2024, pertumbuhan ekonomi kita nyampe 5,11%, ditopang investasi dan sektor industri. Keren, kan? Tapi, di balik angka ciamik itu, ada cerita lain. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023) nyebutin, lebih dari 30% konflik lahan di Indonesia gara-gara masyarakat adat nolak proyek pembangunan. Kenapa? Karena proyek-proyek itu dianggap ngerusak nilai budaya dan lingkungan yang udah dipegang turun-temurun. Jadi, nggak heran kalau banyak warga desa bilang “no” ke pembangunan pabrik atau tambang.
Wadas: Cerita Nyata dari Lapangan
Coba deh kita ke Wadas, Jawa Tengah. Di sini, tahun 2021-2022, warga ribut gara-gara rencana penambangan batu andesit buat proyek Bendungan Bener. Buat pemerintah, ini proyek strategis nasional, tapi buat warga? Tanah itu bukan cuma sumber duit dari pertanian, tapi juga bagian dari identitas mereka. Menurut laporan WALHI (2022), lahan di Wadas punya nilai spiritual, tempat mereka jaga keseimbangan sama alam. Bayangin, tiba-tiba dateng buldozer, apa nggak bikin warga panas? Apalagi, Komnas HAM (2022) nyatat ada 15 kasus konflik agraria di 2021 yang intinya sama: pemerintah dan perusahaan ngotot bangun, masyarakat ngotot pertahanin budaya.
ADVERTISEMENT
Kasus lain ada di Dompu, NTB. Masyarakat adat di sana protes keras sama PT Sumbawa Timur Mining yang mau ubah 5.300 hektar hutan lindung jadi tempat buang limbah tambang. Hutan itu nggak cuma sumber mata pencaharian, tapi juga tempat sakral buat ritual adat. Ini bukan cuma soal ekonomi, tapi soal jati diri mereka sebagai komunitas.
Apa Kata Para Pakar?
Michael Todaro, ahli ekonomi pembangunan, pernah nulis di Economic Development (2014) kalau pembangunan itu nggak cuma soal ngejar angka GNP. Harus mikirin kualitas hidup dan keseimbangan sosial. Kalau nilai budaya lokal diabaikan, yang ada malah konflik dan ketimpangan. Todaro bilang, libatin masyarakat lokal dalam keputusan itu kunci, biar pembangunan nggak cuma untungin elit.
ADVERTISEMENT
Dari sisi sosiologi, Dedi Tikson (2005) ngingetin kalau modernisasi itu nggak selalu bawa kemajuan. Kadang, justru bikin identitas budaya masyarakat luntur. Menurut dia, nilai tradisional kayak gotong-royong atau hubungan harmonis sama alam bisa jadi “senjata” buat pembangunan yang lebih manusiawi, asal dikelola dengan bener.
Terus, ada Nunung Nuryartono, Guru Besar IPB, yang ngusung Sistem Ekonomi Pancasila. Katanya, pembangunan harus nyambung sama nilai lokal kayak keadilan dan kekeluargaan. Kalau kita bikin kebijakan yang respek sama budaya, pembangunan bakal lebih sustainable, nggak cuma ngejar cuan sesaat.
Jadi, Apa Solusinya?
Menurut aku, ini bukan soal pilih salah satu—ekonomi atau budaya. Kita bisa kok jalan bareng. Pertama, pemerintah harus bener-bener dengerin suara masyarakat. Bukan cuma formalitas, tapi bikin dialog yang transparan. Kedua, kebijakan pembangunan harus mikirin lingkungan dan budaya, kayak yang diomongin Sutamihardja (2004) soal pembangunan berkelanjutan. Ketiga, edukasi penting banget. Warga perlu paham manfaat modernisasi, tapi pemerintah juga harus ngerti kenapa tradisi itu berharga.
ADVERTISEMENT
Bayangin kalau kita bisa bikin model pembangunan yang nggak cuma bikin dompet tebel, tapi juga hati tenang karena budaya tetap terjaga. Kayak pepatah Jawa, “Alon-alon asal kelakon”—pelan-pelan, tapi pasti. Indonesia punya gotong-royong, punya nilai harmoni sama alam, kenapa nggak jadiin itu kekuatan buat maju bareng? Jadi, mari kita mulai dari sini: dengerin, hargain, dan cari jalan tengah. Pembangunan yang bikin semua senyum, bukan cuma segelintir orang.