Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Nahdlatul Ulama: Pilar Moderasi Beragama di Tengah Ancaman Radikal
30 April 2025 7:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bagus Azam Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah dinamika global yang penuh tantangan, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tidak luput dari ancaman radikalisme. Ideologi ekstrem yang mengusung kekerasan atas nama agama terus berusaha merasuki masyarakat, mengancam harmoni keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa kita. Dalam konteks ini, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, tampil sebagai pilar moderasi beragama yang kokoh, menjaga Indonesia dari ancaman radikalisme dengan pendekatan yang inklusif, bijaksana, dan berakar pada tradisi.
ADVERTISEMENT
Akar Tradisi dan Moderasi NU
NU, yang didirikan pada 1926, memiliki sejarah panjang dalam mempromosikan Islam yang rahmatan lil alamin—Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Berbasis pada tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, NU menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keseimbangan, dan penghormatan terhadap keberagaman budaya. Pendekatan ini tercermin dalam berbagai ajaran yang diajarkan di pesantren-pesantren NU, di mana para santri tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Salah satu konsep kunci yang menjadi ciri NU adalah tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran). Ketiga prinsip ini menjadi landasan bagi NU untuk menolak narasi radikal yang cenderung hitam-putih dan memaksakan pandangan tunggal. Dengan pendekatan ini, NU mampu merangkul berbagai elemen masyarakat, termasuk kelompok-kelompok lintas agama, untuk membangun harmoni sosial.
ADVERTISEMENT
Nahdlatul Ulama (NU), sejak didirikan pada 1926, konsisten mempromosikan Islam rahmatan lil alamin yang penuh rahmat dan damai. Berpijak pada akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), NU menawarkan pendekatan moderat yang menjunjung toleransi dan keberagaman budaya. Seperti yang diungkapkan Moh. Ashif Fuadi, “Moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat” (Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 21, No. 1, 2022). Pandangan ini menegaskan bahwa moderasi NU bukanlah sekadar strategi, melainkan inti dari tradisi Aswaja yang telah mengakar kuat dalam praktik keagamaan organisasi ini.
Dakwah NU mengedepankan kelembutan dan hikmah, sebagaimana firman Allah:
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ (Surah An-Nahl 16:125)
ADVERTISEMENT
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…”
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ (Surah Ali Imran 3:159)
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Prof. Dr. H. Faisal Ismail menjelaskan bahwa ayat-ayat ini memerintahkan dakwah dengan hikmah, nasihat baik, dan dialog sopan, menolak paksaan atau kekerasan (NU: Moderatisme dan Pluralisme, hal. 101). Pendekatan ini memungkinkan NU menangkal radikalisme dengan dakwah yang inklusif dan damai.
Pendekatan moderat ini juga termanifestasikan dalam pengajaran serta pembelajaran di pesantren-pesantren NU, di mana santri mempelajari ilmu agama seperti tafsir, hadis, dan fiqih dengan metode yang kontekstual, mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Prinsip tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) menjadi landasan NU menolak narasi radikal yang cenderung memecah belah bangsa. Dengan demikian, NU tidak hanya berperan sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga sebagai gerakan sosial yang merangkul semua elemen masyarakat, termasuk komunitas lintas agama, untuk menjaga harmoni dan persatuan bangsa.
ADVERTISEMENT
Peran Strategis NU dalam Melawan Radikalisme
NU memiliki peran strategis dalam membentengi Indonesia dari radikalisme melalui berbagai inisiatif. Pertama, melalui pendidikan. Pesantren-pesantren NU menjadi benteng intelektual yang mengajarkan Islam moderat kepada jutaan santri. Kurikulum yang mencakup studi Al-Qur’an, hadis, fiqih, dan sejarah Islam diajarkan dengan cara yang kontekstual, sehingga santri memahami agama dalam kerangka keindonesiaan yang plural.
Kedua, NU aktif dalam dakwah yang inklusif. Melalui pengajian, majelis taklim, dan media sosial, para ulama NU menyebarkan pesan-pesan damai dan menangkal narasi radikal. Misalnya, tokoh-tokoh seperti KH Said Aqil Siroj dan KH Ma’ruf Amin kerap menegaskan pentingnya menjaga persatuan bangsa di tengah perbedaan. NU juga memiliki sayap pemuda seperti Gerakan Pemuda Ansor dan Banser, yang tidak hanya melindungi kegiatan keagamaan, tetapi juga aktif mempromosikan nilai-nilai kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, NU berperan dalam diplomasi budaya dan agama. Pada tingkat internasional, NU memperkenalkan konsep Islam Nusantara, sebuah model Islam yang berakar pada budaya lokal namun tetap setia pada nilai-nilai universal. Konsep ini telah mendapat pengakuan dunia sebagai pendekatan efektif untuk melawan ekstremisme. Melalui forum-forum seperti Konferensi Internasional Islam Moderat, NU menunjukkan bahwa Islam Indonesia adalah teladan bagi dunia dalam menghadapi radikalisme.
Sepak Terjang Tokoh – Tokoh NU dalam Menjaga Moderasi
Tokoh-tokoh NU telah menjadi teladan nyata dalam menerapkan sikap moderat, memperkuat peran organisasi ini melawan radikalisme. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan Presiden RI dan Ketua PBNU, dikenal sebagai pembela pluralisme. Gus Dur aktif mempromosikan dialog antaragama, melindungi hak-hak minoritas, dan menentang ekstremisme dengan pendekatan humanis. Ia pernah berkata, “Agama adalah untuk memanusiakan manusia,” mencerminkan visinya tentang Islam yang inklusif.
ADVERTISEMENT
KH Mustofa Bisri (Gus Mus), ulama karismatik dan budayawan, mencontohkan moderasi melalui dakwah yang penuh kelembutan dan seni. Melalui puisi, seni kaligrafi, dan pengajian, Gus Mus menyebarkan pesan Islam yang damai, menekankan pentingnya harmoni sosial. Sikapnya yang rendah hati dan terbuka terhadap perbedaan membuatnya disegani lintas komunitas.
KH Said Aqil Siroj, mantan Ketua PBNU, gigih mempromosikan Islam Nusantara sebagai model Islam moderat yang berakar pada kearifan lokal. Dalam pengajian dan tulisannya, ia menekankan ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), yang menjadi senjata melawan narasi radikal.
KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU, dikenal sebagai pendukung dialog antaragama dan perdamaian global. Ia sering menghadiri forum internasional untuk mempromosikan Islam moderat, menegaskan bahwa NU menolak kekerasan atas nama agama. Kiprahnya dalam membangun jembatan antarumat beragama memperkuat posisi NU sebagai penjaga toleransi.
ADVERTISEMENT
Tokoh-tokoh ini, dengan cara masing-masing, menunjukkan bahwa moderasi NU bukan sekadar teori, melainkan praktik nyata yang hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Nahdlatul Ulama adalah anugerah bagi Indonesia. Dengan moderasi yang berakar pada Aswaja, dipraktikkan oleh tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Said Aqil Siroj, dan Hasyim Muzadi. NU menjadi benteng kokoh melawan radikalisme. Melalui pendidikan, dakwah, dan deradikalisasi, NU menawarkan teladan Islam damai yang relevan bagi Indonesia bahkan juga untuk Dunia. Dengan semangat Islam Nusantara, NU membuktikan bahwa agama dan keberagaman dapat bersinergi, menciptakan Indonesia yang adil, makmur, dan penuh rahmat.