“Bahasa Kode di Negeri Kincir Angin”

Bahana Menggala Bara
An ordinary chap in an extraordinary quest of life.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2018 21:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bahana Menggala Bara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dengan gaya lebaynya, puisi sentuh logika dan emosi jiwa. Bisa dibilang, puisi itu bentuk protes dan permainan bahasa.
ADVERTISEMENT
Gak cuma itu, puisi ternyata senang langgar aturan. Namun gak salah lho, karena nilai seni yang tertancap di dalamnya membuat pengecualian dalam berbahasa.
Tapi tahukah good people kalau di Negeri Kincir Angin Belanda ada paling gak dua puisi Indonesia yang bertengger gagah.
“Aku” puisi karya Chairil anwar (1943) dan potongan sastra La Galigo Sulawesi Selatan (abad 14).
Ya Kota Leiden, Belanda memiliki julukan “the Dutch city of poems”. Jika cermat, maka good people temukan ratusan puisi dari berbagai belahan dunia.
Dr. Lindsay Black dosen Universitas Leiden bahkan tidak ketahui adanya fakta ini. “Wow thank you Bahana for bringing the poems of the city. It’s new knowledge even to me,” katanya.
ADVERTISEMENT
Nah good people, di jalan Kernstraat 17a, “Aku” terpatri di tembok kota. Kenapa ya puisi ini ada di sini?
Untuk tahu jawabannya maka good people harus maknai puisi “Aku” karya Chairil Anwar dahulu.
Ketika good people maknai “Aku”, ada nuansa lain di dalamnya. Berbeda dari zaman now, good people bagai dibawa kembali ke zaman perjuangan.
“Aku” gambarkan perjuangan politik kemerdekaan Indonesia dari penindasan Belanda. Yuk lihat kutipan puisinya: “Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap meradang menerjang. Luka dan bisa kubawa berlari”.
Lepas dari “Aku”, di sisi kota yang lain, tepatnya di tepian kanal Universitas Leiden, grafiti potongan epik Bugis terpampang megah.
Kerennya, tulisan potongan puisi Bugis terpampang dalam aksara Lontara dari Bugis.
ADVERTISEMENT
Berani taruhan, good people pasti gak akan nyangka asalnya dari Indonesia. Pasalnya Lontara miliki aksara yang jauh beda dari Latin. Maknanya nih: “I have wandered everywhere/but never has my eye lit on/greater wisdom than here”.
Kenapa juga karya ini dilukis tak jauh dari lokasi patung Rembrandt, seorang pelukis kelahiran Leiden yang ternama dalam sejarah Eropa.
Sejatinya, ini adalah bentuk pengakuan Belanda akan keindahan Nusantara. Pendeknya, potongan La Galigo tunjukan elemen moral keterpesonaan. Belanda jatuh cinta pada Indonesia, titik.
Kutipan tersebut sebenarnya bisikan emosi Belanda yang tidak dapat terucapkan dari seorang aktor hegemoni. Oleh karenanya #terbaique diakui melalui narasi seni lokal Nusantara dan dicat gede-gede dekat perpustakaan kampus.
Singkatnya potongan epik La Galigo yang diakui UNESCO sebagai Memory of the World dengan cerita yang lebih panjang dari Mahabarata ini, cerminkan hubungan Belanda dan Indonesia pada masanya dan bagaimana Belanda memandang Indonesia.
Ini nih yang disebut bahasa kode.
ADVERTISEMENT
Potongan sastra La Galigo adalah bisikan emosi kekaguman Belanda yang tak terucap.
Dan “Aku” mewakili Nusantara tertindas, bentuk protes terhadap upaya penjajahan Belanda yang sengsarakan rakyat.
Namun good people jangan salah, Belanda gak pernah lho menjajah Indonesia selama 350 tahun. Inget ni, gak ada lagi tuh istilah penjajahan 3,5 abad.
Ini nih narasi yang harus kita bangun.
“Belanda usaha 350 tahun jajah Nusantara tapi akhirnya Indonesia merdeka”.
Beda lho maknanya, rakyat Indonesia beneran bersatu berjuang melawan penindasan Belanda untuk sebuah kata: “Merdeka”.
Nah good people, Hubungan sejarah panjang Indonesia-Belanda membuat setidaknya dua karya sastra besar Indonesia terpampang megah di Belanda. Sebenarnya ada satu lagi sih, tapi itu tugas good people untuk temukan, hehe.
ADVERTISEMENT
Penasaran kan sama foto-foto karya ini? Giliran good people saksikan sendiri dan selfie-selfie di depan karya bangsa ini dengan clue di atas. Buruan sebelum dihapus yang punya kota lho!
Happy Hunting.
(Foto Dokumen pribadi)