Konten dari Pengguna

Politik Dinasti Masa Kini: Bahaya Kekuasaan Oligarki

Bai Haqi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah
24 Mei 2022 21:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bai Haqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oligarki
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oligarki
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan berita hangat tentang rencana pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman dengan adik perempuan dari Presiden Indonesia saat ini, Idayati. Pernikahan ini direncanakan akan terlaksana pada 26 Mei 2022, bertempat di Solo. Hal ini menjadikan Anwar Usman akan resmi bergabung dengan keluarga besar orang nomor satu di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Berita tentang rencana pernikahan dua insan ini menguatkan tendensi masyarakat tentang pembentukan "Dinasti Politik Jokowi" yang sebelumnya telah diawali oleh Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, anak serta menantu Jokowi yang sukses dalam Pilkada 2020. Ini sangat bertentangan dengan pernyataan Jokowi kepada salah satu media Inggris The Economist, “Menjadi presiden bukan berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anak saya.”
Politik dinasti sendiri bukan merupakan hal baru di negeri ini, sejak zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY, politik dinasti memang tidak dapat lepas dari sanubari negara kita. Di setiap zaman, politik dinasti memiliki corak tersendiri, dan dapat kita lihat makin marak dari waktu ke waktu.
Politik dinasti era Jokowi seakan evolusi dari politik dinasti era Orde Baru. Jika Soeharto membutuhkan waktu 25 tahun untuk mengangkat putrinya sebagai menteri sosial, maka hanya perlu 5 tahun bagi Jokowi untuk membuat anak serta menantunya menjadi wali kota
ADVERTISEMENT
Belum lagi Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang sebentar lagi akan resmi bergabung sebagai keluarga besar kepresidenan yang dengan tegas menolak desakan untuk mundur dari kursi jabatannya. Hal ini memunculkan isu “conflict of interest” Mahkamah Konstitusi (MK) jika terjadi masalah yang berkaitan dengan Presiden, yang mana melanggar pasal 17 ayat (4) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006.
Bahkan, bukan hanya di sektor eksekutif dan yudikatif, dalam sektor legislatif dominasi Jokowi juga terlihat dari simpatisan partainya di kursi DPR. Fakta-fakta ini menguatkan opini masyarakat akan wacana "Jokowi 3 Periode" yang makin dekat, juga menegaskan akan potensi menguatnya kekuasaan oligarki.
Hubungan Politik Dinasti dengan Oligarki
ADVERTISEMENT
Praktik politik dinasti era Jokowi ini dinilai menyuburkan budaya oligarki, menurut pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin “Adanya politik dinasti, hal ini menandakan dinasti politik dan tumbuh suburnya budaya oligarki,” serunya.
Seperti yang diulas Ni'matul Huda dalam bukunya, Perkembangan Hukum Tata Negara (2014), praktik politik dinasti merupakan praktik yang menyebabkan maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tidak lagi bersumber pada proses rasionalitas instrumental, melainkan bersumber dari keputusan individual aktor-aktor dinasti yang berkuasa, pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditunjukkan pada hubungan darah dan kekerabatan.
Dengan demikian, hal ini sejalan dengan tujuan oligarki, yaitu membentuk kekuasaan yang pemerintahan dan politiknya secara efektif dipimpin oleh elite kecil dari bagian masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan, di mana politik dinasti terjadi, maka saat itu pula oligarki menjadi suatu keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Bahaya Kekuasaan Oligarki
Kekuasaan oligarki yang terlahir dari politik dinasti, menerapkan budaya oligarki yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi. Demokrasi di Indonesia mempunyai peranan penting dalam meratakan kekuasaan dan ekonomi, sedangkan oligarki hanya menguntungkan kelompok elite kecil dari masyarakat. HaI ini terlihat dari lahirnya kebijakan yang hanya melayani kepentingan segelintir orang, mulai dari revisi UU KPK, perubahan UU Minerba hingga lahirnya UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Kekuasaan oligarki juga memicu ketimpangan ekonomi nasional, "Oligarki minoritas menguasai perekonomian nasional dan pemerintahan. Padahal, oligarki tersebut merupakan kelompok minoritas terbatas, sedangkan rakyat yang menjadi mayoritas dalam negara justru hanya menerima dampak dari ketimpangan yang dihasilkan dari para oligarch," ungkap Dipo Alam, Sekretaris Kabinet (Seskab) era 2009 - 2014. Maka kita dapati fakta di lapangan, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
ADVERTISEMENT
Belum hilang di benak masyarakat perihal harga PCR yang begitu tinggi di tahun 2019, yang mencapai harga Rp2.500.000,00, kemudian disusul kelangkaan kedelai, minyak goreng hingga kenaikan BBM di tengah krisis ekonomi rakyat setelah diterjang badai pandemi COVID-19, yang merupakan bukti daripada dominasi kekuasaan oligarki dalam ekonomi nasional.
Krisis sosial seperti korupsi yang merajalela di Indonesia juga tidak lepas dari peran kekuasaan oligarki politik dinasti. Hal terlihat jelas dengan banyaknya koruptor yang bermunculan di atas penderitaan rakyat, contohnya kasus korupsi para kepala daerah yang makin marak. Tidak sampai di situ, korupsi bantuan sosial (Bansos) oleh Menteri Sosial di tengah pandemi, juga menguatkan peranan oligarki dalam mengurangi nilai kemanusiaan bangsa ini.
Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Agus Jabo Priyono, mengutarakan bahwa kekuasaan oligarki dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengkhianati Pancasila dan dasar negara UUD 1945. Karena itu kata oligarki harus dijadikan sebagai musuh bangsa dan negara Indonesia.
ADVERTISEMENT