Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Paradoks Kehidupan: Mengenai Kesempurnaan dan Kebahagiaan
24 April 2023 13:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Baidhowi Mursyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bagaimana jika hidup ini semuanya terpenuhi tanpa ada celah sedikit pun kekurangan? Mau makan tinggal makan, tinggal pilih mana yang mau dimakan sesuai dengan seleranya. Mau tidur tinggal tidur tanpa adanya hal-hal yang dikhawatirkan. Mau berak atau kencing bisa dikendalikan—bahkan di tiadakan.
ADVERTISEMENT
Intinya tidak ada lagi kecemasan dan penderitaan sedikit pun—yang ada hanya kebahagiaan-kebahagiaan yang kita bayangkan dan harap sudah terealisasikan—bahkan harapan sendiri sudah bunuh diri—sudah tidak ada lagi. Permasalahan ini merupakan percikan pemikiran yang ganas di lingkaran diskusi. Temanku mengutarakan persoalan di mana dunia tidak lagi ada harapan (semua terpenuhi dan bahagia) seperti ungkapan di atas.
Permasalahan ini sangat intim dan menggemaskan coba kita bayangkan! Adahkah di mana kita duduk di dalam kebahagiaan—terpenuhi segala harapan—tak ada kecemasan dan penderitaan? Aku sendiri hanya bisa menggambarkan atau mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang aku sendiri pernah berada di posisi tersebut.
Seperti di mana aku berada di dalam lingkungan keluarga dan aku hanya ongkang-ongkang di dalam kamar—dengan fasilitas—bahkan makanan tersedia tinggal lahap. Di posisi itu, ternyata aku tetap saja mencari dan mencari hal-hal yang memang tidak tersedia—tidak terjangkau atau mudahnya masih ada harapan, entah rindu dengan kawan atau ingin ngopi di pinggiran kota dekat jalan raya.
ADVERTISEMENT
Ternyata penggambaran yang aku dasari dengan pengalaman, masih tidak menutup adanya hilangnya harapan dan masih belum sampai pada di mana semuanya terpenuhi—hingga terbunuhnya harapan.
Dari sini yang menjadi pertanyaan, “bagaimana manusia hidup dengan segala kecukupan—kenikmatan tanpa adanya celah penderitaan dan kecemasan?” Namun, ada pertanyaan yang lebih mendasar sebelum itu. Jika semuanya terpenuhi, jelas harapan-harapan sudah mati—alias tidak ada lagi—karena harapan-harapan adalah keinginan yang belum terpenuhi. Jadi aku dahulukan pertanyaan, “apakah harapan bisa mati—tidak ada lagi harapan?”
Manusia sejak lahir sudah menggendong harapan-harapan. Bisa dilihat jika bayi yang lahir menangis menderu-deru kayak ada sesuatu yang tidak terpenuhi. Atau bayi yang menangis yang haus minta asi atau susu. Singkatnya bayi selalu menangis jika ada sesuatu yang belum terpenuhi di hidupnya—entah makan, minum, selimut bahkan gendongan orang tua.
ADVERTISEMENT
Jika membayangkan manusia terlepas dari harapan, kayaknya kita mencoba membayangkan sesuatu yang memang di dunia ini tidak ada. Sesuatu yang ada pasti bisa di jelaskan walaupun belum terjadi. Begitu juga harapan, apakah pernah manusia kehilangan harapan. Adanya kehilangan harapan memang benar adanya, karena kita masih bisa membayangkan atau memikirkannya, meski tidak bisa menjelaskan secara empiris, entah kita yang tidak adanya contoh empiris atau memang masih belum terjadi di kehidupan ini. kayaknya persoalan kematian harapan ini ada dalam pikiran namun belum ada dalam pengalaman (empiris).
Kalau masuk pada dunia manusia sudah di berada di ruang-ruang kehampaan. Apakah manusia sudah hilang harapannya? Jika ditelisik lebih dalam, manusia yang berada pada ruang kehampaan ternyata masih memiliki harapan-harapan entah bentuk pengakhiran dari hidup (bunuh diri) untuk masuk di dunia lain atau memang menghilangkan hidupnya dan ada yang dengan cara mereda atau pelampiasan kehampaan menggunakan narkoba, mabuk, ngopi, dan banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Menurutku, mengenai kematian harapan tidaklah mungkin terjadi di kehidupan manusia. Di posisi manusia masuk ke dalam ruang ke hampaan saja masih ada harapan-harapan yang terselubung. Di ruang-ruang kebahagiaan masih ada harapan-harapan, karena kebahagiaan bukanlah hal yang tetap, melainkan terus bertahap-tahap langkah kakinya. Begitu dengan penderitaan, pada posisi manusia yang mendewakan penderitaan masih mengharapkan jika dunia harus menderita—ada harapan untuk terus menderita. Kayaknya harapan itu berada dalam denyut nadi manusia yang terus mengalir bersama darah yang dipompa terus-menerus masuk mengelilingi tubuh manusia.
Kalau memang harapan tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia, terus bagaimana jika hidup sudah terpenuhi tanpa adanya harapan-harapan? Sepertinya pertanyaan jawabannya sama dengan “apakah harapan bisa mati?”
Hidup sempurna tanpa ada kekurangan apa pun, tak ada lagi yang di cemaskan lagi, tak ada lagi sesuatu yang di kejar, jelas harapan sudah mati di fase itu. Di mana tidak adanya lagi secuil apa pun yang tidak ada pada manusia—sudah terpenuhi semuanya. Karena harapan merupakan sesuatu yang tiada ada pada manusia yang masih dalam proses pengadaan.
ADVERTISEMENT
Dan di sini (hidup sempurna) berarti sudah tidak adanya harapan—semuanya terpenuhi—komplit tak ada lubang-lubang. Dan sarang kecemasan—penderitaan manusia ialah harapan—pasti tidak akan mungkin di dunia yang sempurna—tak bisa dikatakan jika hidup sempurna lagi bahagia tak ada lubang-lubang penderitaan—kecemasan.
Di pembahasan awal tadi yang menyuguhkan pertanyaan “bagaimana berkehidupan yang sempurna—tak ada lagi penderitaan dan kecemasan—semuanya terpenuhi—dan bahagia?” merujuk pada “semuanya terpenuhi”, ini sudah menjadi jawaban jika hidup sempurna harus menyertakan penderitaan dan kecemasan yang bersarang pada harapan-harapan.
Kita tidak bisa menganggap bahwa hidup sempurna (tanpa ada kecemasan dan penderitaan) yang hanya di isi dengan kebahagiaan begitu sebaliknya. Coba kita pikirkan! Bayangkan saja kalau di dunia ini yang ada hanya warna putih, terus ada pertanyaannya, “bagaimana kita mengetahui warna hitam, kalau di dunia ini hanya ada warna putih?”
ADVERTISEMENT
Hidup sempurna serba kecukupan tidak bisa hanya di isi dengan kebahagiaan saja. Sempurna memiliki arti tidak adanya kekurangan. Kalau hidup sempurna meniadakan penderitaan dan kecemasan, secara tidak langsung ia telah membunuh kesempurnaannya. Jadi hidup itu sempurna dengan rempah-rempah penderitaan, kecemasan, kebahagiaan, kehampaan, dan banyak lagi yang di aduk-aduk lembut menjadi satu.