Konten dari Pengguna

UIN Jakarta Rilis Riset Soal Green Islam, Respon Rencana Ormas Kelola Tambang

Baidhody Muchlis
Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Hidup Universitas Indonesia. Penulis Bebas. Pemerhati Lingkungan, Energi dan Pertambangan.
8 September 2024 15:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Baidhody Muchlis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. (Dok/Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. (Dok/Istimewa)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta merilis hasil temuan penelitian kualitatif dengan tema gerakan green Islam harapan bagi krisis iklim di Indonesia. Riset tersebut merespon rencana Pemerintah yang tengah mematangkan proses pemberian izin kelola tambang untuk organisasi masyarakat (Ormas) keagaamaan.
ADVERTISEMENT
Koordinator Riset Gerakan Green Islam PPIM UIN Jakarta, Testriono mengatakan, dalam dua dekade terakhir, gerakan lingkungan yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok agama semakin meningkat, termasuk oleh kelompok Islam. Gerakan-gerakan organisasi atau komunitas yang menggunakan identitas Islam, seperti ceramah lingkungan, ngaji lingkungan, fatwa lingkungan dan lainnya, mulai mengemuka dalam aktivisme lingkungan di Indonesia.
Gerakan green Islam di Indonesia dinilai berkembang setidaknya melalui tiga fase. Fase awal yang bermula pada periode 1980-an, yaitu ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) merumuskan fatwa tentang kependudukan, kesehatan, dan pembangunan pada Oktober 1983. Selanjutnya adalah fase pascatsunami Aceh 2004, di mana gerakan mitigasi risiko bencana dan bantuan pascabencana mendorong perkembangan gerakan Islam lebih dekat pada isu lingkungan.
"Yang terakhir adalah fase ecological turn, yang ditandai dengnan deklarasi Islam tentang perubahan iklim global di Istanbul, Turki, dan Paris pada tahun 2015," ungkap Testriono, Selasa (27/8).
ADVERTISEMENT
Ia juga menyatakan bahwa terdapat tiga pola pembentukan green Islam di Indonesia. Pertama, gerakan green Islam yang muncul dari organisasi-organisasi Islam, seperti LPBI pada NU, MLH, MDMC, dan LLHPB Aisyiyah pada Muhammadiyah, serta LPLHSDA pada MUI.
Kedua, gerakan green Islam yang muncul dari organisasi lingkungan nonagama, seperti Greenpeace dengan Ummah For Earth dan HAkA dengan gerakan Teungku Inong. Ketiga, gerakan green Islam yang sejak awal berdirinya memang ditujukan untuk integrasi Islam dan lingkungan, seperti FNKSDA, KHM, dan AgriQuran.
"Perihal peta green Islam di Indonesia, setidaknya terdapat 142 kelompok organisasi atau komunitas green Islam di berbagai daerah di Indonesia yang dikategorikan ke dalam tiga tipologi, yaitu konservasionis, pengkampanye kebijakan, dan mobilisator," bebernya.
ADVERTISEMENT
Mayoritas kelompok green Islam terafiliasi secara struktural di bawah dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Banyak dari mereka bekerja di basis lokal daripada nasional dan internasional, dan paling banyak berjenis ormas keagamaan, dibandingkan NGO, komunitas, dan koalisi.
Sebagian besar aktivisme green Islam menggunakan pendekatan pengkampanye kebijakan, dibandingkan konservasionis dan mobilisator.
"Ketika ditanyakan mengapa aktivisme gerakan green Islam belum menjadi gerakan besar yang dikenal publik? Ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh gerakan green Islam di Indonesia," tutur Testriono.
Pertama, gerakan green Islam masih terfragmentasi dan cenderung fokus pada isu-isu lokal di area mereka. Kedua, sebagian organisasi belum mampu mengoptimalkan sumber daya yang mereka miliki, sebagian lainnya bahkan memang terbatas dalam hal sumber daya. Ia juga menyebutkan beberapa tantangan lainya seperti kesenjangan pengetahuan antara aktivis dan konstituen serta belum maksimalnya pelibatan perempuan dalam gerakan green Islam di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dari sisi pengambil kebijakan, Testriono menyoroti misalnya, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum memanfaatkan secara maksimal kelompok green Islam, agenda lingkungan belum masuk dalam program Kementerian Agama (Kemenag), serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga belum secara maksimal melibatkan aktivis perempuan green Islam, padahal tiga kementerian tersebut merupakan lembaga yang dapat berperan penting dalam perkembangan gerakan green Islam di Indonesia.
Jika ditanya, apakah green Islam merupakan harapan bagi krisis iklim di Indonesia? Secara afirmasi Testriono menjawab, iya dengan beberapa catatan.
“Iya, gerakan green Islam dapat menjadi harapan, tapi mereka perlu mendapatkan dukungan kebijakan publik yang lebih luas, dan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang mereka hadapi sendiri,” pungkas Testriono.
ADVERTISEMENT