Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Pengahapusan Presidential Threshold: Kemajuan atau kemunduran Demokrasi?
9 Januari 2025 20:19 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Reza Nanga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Moh. Resa, S.H.
Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 62/PUU-XXII/2024 yang memutuskan tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dalam pemilihan umum (Pemilu) Indonesia. Keputusan ini disambut baik oleh berbagai kalangan. Walaupun demikian, ada yang menentang putusan tersebut dengan berbagai alasan, terutama mengenai apakah langkah ini akan memperkuat atau justru melemahkan kualitas demokrasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah syarat yang mengatur minimal jumlah suara atau kursi yang harus dimiliki oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusung calon presiden. Dengan kata lain, keputusan ini menjadi penentu siapa saja yang bisa bertarung di panggung Pemilu Presiden dan seberapa besar akses yang diberikan kepada calon-calon alternatif.
Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia seharusnya dapat memastikan bahwa proses pemilu memberikan ruang yang cukup bagi berbagai calon dan partai politik untuk berpartisipasi, tanpa dibatasi oleh aturan yang justru menguntungkan segelintir elit politik. Lalu, apakah putusan MK mengenai penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini merupakan langkah maju atau justru mundur bagi demokrasi Indonesia?
Ambang Batas Presidensial
ADVERTISEMENT
Ambang batas presidensial (presidential threshold) adalah ketentuan dalam sistem pemilu Indonesia yang menetapkan persyaratan minimal bagi partai politik atau koalisi partai untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini diperkenalkan untuk menyederhanakan proses pencalonan dan mendorong stabilitas politik dengan mengurangi jumlah calon yang bersaing. Dalam sistem ini, partai atau gabungan partai harus memperoleh minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya agar dapat mengusung calon presiden.
Tujuan awal diberlakukannya ambang batas ini adalah untuk mendorong terbentuknya koalisi antarpartai, mengurangi fragmentasi politik, dan memastikan hanya kandidat yang memiliki dukungan signifikan dapat maju dalam pemilu(Abadi, 2022). Namun, aturan ini juga menimbulkan berbagai kritik. Sebagian pihak menganggap ambang batas 20% terlalu tinggi dan membatasi munculnya kandidat alternatif, sehingga mempersempit pilihan rakyat. Selain itu, aturan ini dinilai lebih menguntungkan partai besar dan menyulitkan partai kecil atau calon independen untuk bersaing secara adil.
ADVERTISEMENT
Meski dirancang untuk menciptakan stabilitas pemerintahan, ambang batas presidensial tetap menjadi isu kontroversial. Banyak yang berpendapat bahwa aturan ini perlu ditinjau ulang untuk memastikan lebih banyak pilihan bagi masyarakat tanpa mengorbankan efisiensi politik.
Ambang Batas dan Oligarki
Aspek utama dari sistem demokrasi adalah memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung(Liando, 2016, p. 15). Namun, dalam praktiknya, proses demokrasi sering kali dihadapkan pada kenyataan bahwa partai politik besar memiliki lebih banyak sumber daya dan jaringan yang lebih luas memiliki, sementara partai-partai kecil atau calon-calon independen menghadapi berbagai hambatan. Ambang batas pencalonan presiden menjadi titik krusial di mana aturan ini dapat memengaruhi aksesibilitas dan inklusivitas dalam pemilu.
Ambang batas yang terlalu tinggi dapat menjadi alat untuk memperkokoh dominasi partai-partai besar dan mengurangi keberagaman calon yang dapat dihadirkan dalam pemilu presiden. Partai-partai kecil yang tidak mencapai ambang batas tersebut akan terpinggirkan. Menurut Saldi Isra ambang batas pencalonan hanya menguntungkan partai-partai besar. Titi Anggrainy (dalam Soeoed, 2023, p. 2) Mengatakan hal ini berpotensi mereduksi ruang politik dan membatasi pilihan yang tersedia bagi pemilih dan mendorong adanya praktik politik transaksional.
ADVERTISEMENT
Salah satu kekhawatiran utama mengenai ambang batas pencalonan presiden adalah bahwa aturan ini dapat memperkuat oligarki politik. Aturan tersebut menyebabkan tingginya biaya politik dan mendorong munculnya oligarki politik yang mensponsori calon presiden. Setelah sosok pemimpin yang didukung tersebut terpilih, kepentingan para oligarki harus diakomodasi, sehingga mereka terikat pada kepentingan pihak lain. Hal ini berpotensi memicu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Abdul Majid & Anggi Novita Sari, 2023, p. 12).
Dengan menghapuskan ambang batas, MK menghapuskan hambatan bagi calon-calon presiden dari partai-partai kecil atau bahkan calon independen yang mungkin memiliki popularitas di kalangan masyarakat. Hal ini dapat mengurangi dominasi partai besar dan membuka peluang lebih banyak bagi calon-calon alternatif untuk bersaing di tingkat nasional.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diingat bahwa meskipun ambang batas dihapuskan, tidak semua partai atau calon presiden dapat langsung diterima oleh rakyat. Proses demokrasi tetap memerlukan upaya keras dalam memenangkan hati pemilih, dan kualitas calon presiden akan tetap diuji melalui proses politik yang lebih transparan dan partisipatif.
Penghapusan Ambang Batas: Langkah yang Memperluas Ruang Demokrasi
Putusan Mahkamah Konstistusi nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dapat dianggap sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi Indonesia. Dengan penghapusan ini, semua partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan calon presiden, bahkan partai-partai kecil sekalipun yang sebelumnya terhalang oleh aturan ambang batas yang tinggi. Hal ini membuka peluang bagi keberagaman calon dan ideologi yang lebih banyak, yang merupakan inti dari demokrasi yang sehat.
ADVERTISEMENT
Keberagaman ini penting karena, pada kenyataannya, demokrasi yang sehat bukanlah tentang mengurangi jumlah pilihan untuk rakyat, melainkan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berbagai kelompok politik untuk berpartisipasi dalam pemilu. Penghapusan ambang batas berarti lebih banyak calon presiden yang dapat berkompetisi, yang pada gilirannya dapat memperkaya pilihan politik bagi rakyat. Ini memberi ruang bagi lebih banyak suara rakyat untuk diperhitungkan dalam proses pencalonan, sehingga memberikan representasi yang lebih akurat terhadap kehendak publik.
Menurut Robert Dahl (dalam Liando, 2016, p. 17), ukuran sebuah pemilu yang demokratis ditandai oleh adanya pemilihan umum, rotasi kekuasaan, rekrutmen secara terbuka, dan akuntabilitas publik. Jika ambang batas dihapuskan, hal ini dapat membuka peluang partisipasi masyarakat yang lebih luas serta menciptakan proses rekrutmen yang lebih terbuka, sesuai dengan parameter pemilu demokratis yang kemukakan oleh Robert Dahl.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penghapusan ambang batas dapat mengurangi kecenderungan konsolidasi kekuasaan di tangan partai-partai besar. Selama ini, ambang batas yang tinggi cenderung meminggirkan partai-partai kecil, meskipun mereka memiliki dukungan signifikan di tingkat lokal. Dengan kebebasan lebih besar untuk mencalonkan diri, diharapkan partai-partai kecil atau calon-calon dari luar partai besar dapat memperoleh ruang yang lebih adil dalam pemilu presiden.
Efisiensi Pemerintahan vs. Partisipasi Rakyat
Salah satu argumen utama yang mendasari keberadaan ambang batas pencalonan presiden adalah untuk memastikan efisiensi pemerintahan. Dengan membatasi jumlah calon presiden yang dapat mencalonkan diri, ambang batas dapat membantu mengurangi kemungkinan terjadinya fragmentasi yang berlebihan dalam politik Indonesia (Abadi, 2022). Ambang batas, dalam hal ini, bertujuan untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik dalam beberapa koalisi besar, yang lebih mudah untuk bekerja sama dalam pemerintahan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah efisiensi pemerintahan ini lebih penting daripada partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi yang ideal, rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih calon pemimpin mereka tanpa dibatasi oleh aturan yang menguntungkan kelompok politik tertentu. Menurut Robet Dahl Partisipasi rakyat dalam pemilihan memperkuat demokrasi, Oleh karena itu, meskipun penghapusan ambang batas bisa meningkatkan fragmentasi politik, hal ini dapat dianggap sebagai bagian dari proses demokratisasi yang lebih inklusif.
Risiko Fragmentasi Politik dan Ketidakstabilan, Penghapusan ambang batas pencalonan presiden juga menghadirkan risiko besar terkait dengan fragmentasi politik. Tanpa ambang batas yang jelas, potensi munculnya banyak calon presiden dari berbagai latar belakang politik menjadi semakin besar. Hal ini bisa memecah suara rakyat secara signifikan, yang mengarah pada keterpecahan di tengah pemilu dan sulitnya membentuk pemerintahan yang stabil setelah pemilu berlangsung. Menurut Huntington (1991), stabilitas pemerintahan merupakan syarat penting kemajuan ekonomi dan sosial, stabilitas memungkinkan pemerintahan untuk mengambil keputusan jangka panjang dan mengembangkan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Keberagaman calon memang bisa memperkaya demokrasi, namun jika terlalu banyak calon presiden yang muncul dengan dukungan yang terfragmentasi, maka proses pemilu bisa menjadi sangat tidak efisien. Di beberapa negara dengan sistem multipartai yang sangat terbuka, sering kali ada banyak calon yang tidak memiliki dukungan mayoritas yang cukup untuk membentuk pemerintahan yang stabil.
Hal ini bisa mengarah pada situasi di mana koalisi pemerintahan sulit terbentuk atau tidak stabil, yang akhirnya berpotensi mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan. Efisiensi pemerintahan dan partisipasi rakyat sama-sama penting dalam demokrasi, keseimbangan keduanya dapat menciptakan pemerintahan yang efektif dan demokratis. Keseimbangan keduanya dapat dicapai melalui pengembangan kapasistas pemimpin, pengawasan dan akuntabilitas.
Kesimpulan
Demokrasi Indonesia berpotensi maju jika tidak ada ambang batas, asalkan sistem dan mekanisme pemilu mampu menjamin seleksi yang adil, transparan, dan akuntabel. Ini melibatkan penyediaan ruang kompetisi yang sehat tanpa mengorbankan kualitas kandidat. Namun, jika sistem pemilu tidak cukup kuat untuk menangani konsekuensi dari tidak adanya ambang batas, seperti fragmentasi atau munculnya kandidat dengan kepentingan sempit, demokrasi bisa mengalami kemunduran.
ADVERTISEMENT
Pilihan kebijakan ini perlu diimbangi dengan penguatan lembaga demokrasi, edukasi politik, dan mekanisme pengawasan untuk memastikan proses pemilu yang berkualitas dan mencerminkan kehendak rakyat.
Daftar Pustaka
Abadi, S. A. (2022). Mekanisme Penetapan Ambang Batas (Threshold) Terhadap Stabilitas Sistem Presidensial Dan Sistem Multipartai Sederhana Di Indonesia. Jurnal Konstitusi Dan Demokrasi, 2(1), 10–35. https://doi.org/10.7454/jkd.v2i1.1202
Abdul Majid, & Anggi Novita Sari. (2023). Analisis Terhadap Presidential Threshold Dalam Kepentingan Oligarki. Jurnal Rechten : Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 5(2), 8–15. https://doi.org/10.52005/rechten.v5i2.120
Liando, D. M. (2016). Pemilu dan Partisipasi Politik Masyarakat (Studi Pada Pemilihan Anggota Legislatif Dan Pemilihan Presiden Dan Calon Wakil Presiden Di Kabupaten Minahasa Tahun 2014). Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, 3(2), 14–28.
ADVERTISEMENT
Soeoed, M. R. (2023). Analisis Pengaturan Ambang Batas Pencalonan Presiden Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2022-2023. Jurnal Konstitusi Dan Demokrasi, 3(2). https://doi.org/10.7454/jkd.v3i2.1309