Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Retreat Kepala Daerah: Membangun Sinergi untuk Indonesia Maju
2 Maret 2025 16:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rohim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Retreat Kepala Daerah yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto pada Februari 2025 di Akademi Militer Magelang telah memicu perdebatan hangat di kalangan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas. Acara yang diklaim bertujuan untuk menyelaraskan visi dan misi antara pemerintah pusat dan daerah ini justru menimbulkan kekhawatiran terkait potensi kemunduran demokrasi dan desentralisasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks desentralisasi, Indonesia telah menempuh perjalanan panjang sejak era Reformasi 1998. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu pencapaian signifikan yang memastikan akuntabilitas pemimpin daerah langsung kepada rakyat. Namun, prakarsa retreat ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya sentralisasi kekuasaan, mengingat format acara yang menyerupai praktik pada masa Orde Baru, di mana kepala daerah lebih berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat daripada sebagai pemimpin otonom yang mandiri.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, mengungkapkan bahwa retreat ini berpotensi merusak sendi-sendi desentralisasi yang telah dibangun dengan susah payah. Ia menyoroti bahwa acara tersebut dapat menjadi strategi politik untuk membentuk hierarki kekuasaan baru, di mana kepala daerah yang seharusnya otonom justru menjadi subordinat pemerintah pusat. Hal ini mengindikasikan nostalgia terhadap era Orde Baru, ketika kepala daerah hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat, sehingga mengancam capaian besar demokrasi pasca-Reformasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, aspek finansial dari penyelenggaraan retreat ini juga menuai kritik tajam. Di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah, termasuk pemangkasan belanja berbagai kementerian dan lembaga, alokasi dana miliaran rupiah untuk acara ini dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Ironisnya, kebijakan efisiensi tersebut berdampak pada pemutusan kontrak ribuan tenaga honorer di berbagai instansi pemerintahan, sementara retreat kepala daerah tetap dilaksanakan dengan fasilitas mewah, termasuk akomodasi glamping dan serangkaian acara seremonial.
Lebih lanjut, format acara yang kental dengan nuansa militeristik menimbulkan pertanyaan mengenai arah kepemimpinan nasional. Penggunaan Akademi Militer sebagai lokasi, serta agenda yang mencakup baris-berbaris dan upacara keprotokolan, memunculkan kekhawatiran akan militerisasi pemerintahan sipil. Padahal, dalam sistem demokrasi, pemisahan antara ranah sipil dan militer harus dijaga dengan tegas untuk mencegah dominasi militer dalam urusan pemerintahan yang seharusnya dikelola oleh otoritas sipil.
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya, menyatakan bahwa retreat ini akan dievaluasi kembali pada tahun 2026 untuk memastikan efektivitasnya dan menghindari kesan "omon-omon" atau omong kosong belaka. Namun, tanpa kerangka kerja yang jelas dan transparan, evaluasi semacam ini berisiko menjadi formalitas belaka tanpa menghasilkan perbaikan substantif.
Kritik lain yang muncul adalah potensi konflik kepentingan dan politisasi birokrasi. Retreat semacam ini dapat dimanfaatkan sebagai ajang untuk memetakan kepala daerah yang sejalan atau berseberangan dengan agenda politik pusat, sehingga mengancam independensi dan profesionalisme aparatur sipil negara. Selain itu, koordinasi tertutup antara pusat dan daerah dalam format seperti ini berpotensi menjadi arena negosiasi politik yang tidak transparan, membuka peluang bagi praktik korupsi dan kolusi.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif hukum tata negara, langkah-langkah yang diambil pemerintah harus selalu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Penyelenggaraan retreat dengan format dan tujuan yang ambigu, serta potensi implikasi negatif terhadap desentralisasi dan otonomi daerah, menuntut adanya pengawasan ketat dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan lembaga swadaya masyarakat.
Upaya membangun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah tentu merupakan langkah yang positif dan diperlukan. Namun, metode yang digunakan haruslah menghormati prinsip prinsip demokrasi, otonomi daerah, dan efisiensi anggaran. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali format dan esensi dari retreat semacam ini, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga selaras dengan semangat reformasi dan aspirasi rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Referensi: