Konten Media Partner

Aktivis Perempuan Sebut Kesetaraan Gender di Papua Masih Jauh dari Harapan

9 Juni 2022 17:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aktivis Perempuan dan Anak di Papua Barat, Yuliana Numberi didampingi pemateri perempuan pedesaan, Mia Siscawati , dan Els Katmo, Dosen di Falkultas Pertanian UNIPA. Alumni Kajian Gender
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis Perempuan dan Anak di Papua Barat, Yuliana Numberi didampingi pemateri perempuan pedesaan, Mia Siscawati , dan Els Katmo, Dosen di Falkultas Pertanian UNIPA. Alumni Kajian Gender
ADVERTISEMENT
Aktivis perempuan dan anak Papua Barat, Yuliana Numberi mengatakan, pihaknya belum berbuat banyak dalam mendorong kesetaraan gender di semua bidang, baik itu kesehatan, pendidikan, ekonomi dan masyarakat adat, serta kaum difabel.
ADVERTISEMENT
"Kesetaraan gender di segala aspek belum terealisasi dengan baik. Karena tidak ada kegiatan yang dilakukan secara konkret yang dilakukan oleh kabupaten/kota di Papua Barat. Hal yang penting adalah melakukan edukasi dan sosialisasi di tingkat kabupaten dan kota terutama di kampung-kampung,"kata Yuliana Numberi kepada media ini.
Menurutnya, kesetaraan gender masih mengalami ketimpangan karena di Indonesia Timur khususnya Papua masih kontruksi patriarki yang selalu melihat perempuan sebagai nomor dua.
" Kita sebut dengan marjinalisasi meminggirkan perempuan dari akses ekonomi untuk pemberdayaan mereka. Kemudian melihat perempuan tidak cocok jadi pemimpin, harus berada di kelas nomor dua. Yang diutamakan laki laki," ujarnya.
Ia menambahkan, perempuan itu lemah lembut cocok kerjanya urus rumah dan masak. Tidak cocok untuk kerja di luar rumah. Kemudian ada beban perempuan dalam mengurus rumah tangga tetapi kalau jadi pegawai tetap melakukan pekerjaan rumah.
ADVERTISEMENT
Peraturan dan kebijakan khusus kaum perempuan dan disabilitas dikeluarkan pemerintah kurang optimal. Terutama sosialisasi membangun kesadaran antara pengambil kebijakan di OPD teknis.
"Untuk itu stop kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kita harus lihat apakah ada 4 aspek yakni kesempatan partisipasi, kontrol para perempuan difabel serta perempuan pedesaan. Dan mereka merasakan manfaatnya atau tidak. Kalau empat aspek sudah dilakukan maka dengan demikian berikan ruang kepada mereka terlibat dalam perencanaan program. Jadi kita tanyakan mereka apa masalah mereka apa kebutuhan mereka bisa berikan akses mereka yang menyampaikan bukan direncanakan oleh kita," tegasnya.
Kendala yang dihadapi aktivis perempuan adalah pengambil kebijakan dalam hal ini OPD belum melihat dan memahami gender secara baik. "Mereka suka rotasi ASN, disiplin ilmu yang tidak tepat. Itu berpengaruh kepada bagaimana menyusun rencana anggaran responsif gender. Kalau kita bisa anggaran responsif gender yaitu anggaran berpihak pada masyarakat baik laki dan perempuan tanpa membedakan posisi status,"tuturnya.
ADVERTISEMENT
Selain tidak gunakan orang orang yang punya kemampuan dalam melakukan sosialisasi dan edukasi. Dinas teknis suka mengambil ahli untuk melakukan sosialisasi dan edukasi.
"Mereka selalu berpikir dari narasumber itu mereka dapat uang tapi mereka tidak berpikir bahwa sejauh kita lakukan dimengerti masyarakat atau gak. Karena mengubah mindset masyarakat itu tidak segampang membalik telapak tangan. Dan kita lemah dalam pendampingan,"kata dia.
Hal itu butuh komitmen melalui peraturan daerah, Perda, Pergub atau Pergub. Itu harus ada regulasi karena aturan UU Nasional sudah ada harus disertai dengan peraturan daerah.(*)