Konten Media Partner

Cerita dari Pantai Pasir Putih Mingar di NTT yang Eksotis

11 Juni 2019 9:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Pagi hari di Pantai Pasir Putih Mingar. Foto: Melki Delos Bakan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pagi hari di Pantai Pasir Putih Mingar. Foto: Melki Delos Bakan
ADVERTISEMENT
Secara administratif, Mingar masuk dalam Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, Provinsi NTT. Jika datang ke Lembata, rasanya belum lengkap jika belum menginjakkan kaki di pasir putih Pantai Mingar yang eksotis. Berkat hamparan pasir putihnya yang eksotis, desa yang terletak di sekitar pantai tersebut pun diberi nama Desa Pasir Putih.
ADVERTISEMENT
Untuk sampai ke Mingar, jarak tempuh dari Lewoleba memakan waktu dua jam dengan bus kayu atau sepeda motor. Maklum infrastruktur jalannya masih sangat buruk dan memprihatinkan. Andai saja jalannya mulus, Lewoleba ke Mingar bisa ditempuh hanya dengan satu jam.
Pantai Pasir Putih Mingar Lembata, NTT .Foto: Melki Delos Bakan
Sepanjang perjalanan dari Lewoleba ke Mingar, bukit-bukit sabana berdiri tegar meyapa. Mingar memang punya pasir putih dengan garis pantai panjang yang mencapai tiga kilometer lebih. Butiran-butiran pasirnya yang kemilau membuat siapa pun yang melihatnya pasti terpukau.
Ombak yang membumbung tinggi khas pantai selatan adalah pemandangan yang unik. Ombak di pantai pasir putih Mingar adalah ombak yang berceracau.
Alunan ombak seolah minta disolek. Bisa lebih terkenal kalau dijadikan arena selancar dan fun surfing.
Batuan yang disekitar pantai Pasir Putih MIngar. Foto: Melki Delos Bakan
Dari ceracau berisik ombak, yang paling banter untuk diingat dari Mingar-Pasir Putih, adalah tradisi Guti Nale atau penangkapan ikan nale (Bahasa Indonesianya nyale).
ADVERTISEMENT
Jika dalam tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera ada teriakan 'Baleo-baleo-baleo', maka di Mingar ada teriakan 'Duli gere-duli gere-duli gere'. Teriakan ini sebenarnya yel-yel kebahagiaan akan datangnya nale.
Orang Mingar percaya bahwa nale adalah jelmaan dari wujud teringgi yang datang untuk mengabarkan semacam isyarat semesta. Bahwa tahun yang lagi dijalani, adalah tahun penuh kesuburan dan kelimpahan makanan. Dari ladang-ladang petani terisi, begitu juga hasil tangkapan ikan dari melaut berlimpah.
Wujud nale yang muncul setiap tahun adalah serupa koloni cacing yang berwarna hijau keemasan.
Pasir Putih Mingar di Sore hari saat matahari terbenam. Foto: Melki Delos Bakan
Kata Melki Delos Bakan (39), warga Mingar, ketika nale naik ke permukaan dan membentang, itu seperti bentangan motif sarung serupa permadani yang cantik. Apalagi ditingkap obor yang bernyala dari warga yang datang mengambil nale.
ADVERTISEMENT
Proses pengambilan nale biasanya terjadi pada bulan Februari dan Maret, itu pun melalui ritus adat.
Suku yang dipercayakan sejak kemunculan nale pada masa purba hingga sekarang adalah Suku Ketupapa dan Atakabelen. Suku inilah yang pertama kali mendapat semacam ilham untuk mengambil nale.
Paulus Pati Kabelen, kepala suku Atakabelen yang memilki hak untuk membuat seremoni Guti Nale, menceritakan secara sejarah nale berasal dari Duli, laut di Alor tepatnya di Selat Merica. Nale tersebut dibawa ke kampung Mingar oleh Srona dan Srani, yang keduanya mengaku berasal dari Duli.
Lanjut Paulus, mulanya Belake dan Geroda, dua bersaudara dari Suku Ketupapa pergi melaut. Mereka mengajak Ama Belawa dari Suku Atakabelen untuk menyusul mereka sambil membawa tuak. Ketika sampai di pantai, keduanya sontak melihat dua orang yang tengah berenang dalam amukan gelombang ke Pantai Watan Raja.
ADVERTISEMENT
Belake dan Geroda penasaran. Mereka berdua menghampiri dan bertanya asal dan tujuan kedua orang itu. Keduanya memperkenalkan diri sebagai Srona dan Srani yang berasal dari Duli.
Pantai Pasir Putih Mingar. Foto: Melki Delos Bakan
Masing-masing mereka membawa batu, yang merupakan jelmaan istri mereka yakni Srupu dan Srepe. Dua istri ini berasal dari dunia lain, dunia gaib.
"Asal mereka dari Duli. Mereka datang ke Mingar untuk mengikuti nale yang sudah lama meninggalkan kampung mereka," kata Paulus.
Blake dan Geroda lalu menyuruh Srona dan Srani agar bersembunyi di atas pohon Pandan sambil menunggu Blake dan Geroda pulang melaut.
Sesaat kemudian, datanglah Ama Belawa membawa tuak dan diikuti anjing piaraannya. Anjing itu tiba-tiba menggonggong ke atas rimbunan daun Pandan tempat persembunyian Srona dan Srani.
ADVERTISEMENT
Keduanya pun keluar dari persembunyian dan turun dari pohon Pandan bertemu Ama Belawa. Sambil menunggu Belake dan Geroda, Srona dan Srani menceritakan hal yang sama soal kedatangan mereka. Tak lama kemudian, Belake dan Geroda kembali.
Srona dan Srani pun diajak ke kampung, kemudian diperkenalkan kepada warga kampung. Mereka diterima dan menetap di Mingar. Kepada warga kampung, keduanya pun memperkenalkan tata cara mengambil nale dan ritual-ritual yang mendahuluinya.
Di Duang Waitobi Srona dan Srani memasukkan dua batu yang mereka bawa dari Duli. Dua batu ini merupakan jelmaan dari istri mereka.
Kedua batu ini dikenal dengan sebutan batu ikan nale. Srona dan Srani juga menunjukkan cara memberikan makan kepada kedua batu ini dan hanya diberi makan sebelum mengambil nale.
ADVERTISEMENT
Saat meninggal, tengkorak kepala Srona dan Srani ditempatkan di lokasi yang disebut Duli Ulu (di bagian timur lapangan sepak bola Mingar). Sementara jasadnya dikuburkan di Klete, Kampung Adat Mingar.
Begitu juga Lukas Labi Sura (78) warga Mingar menambahkan, kepada warga yang menerima Srona dan Srani secara baik dan penuh penghormatan, Srona dan Srani memberikan mereka petunjuk cara mengambil nale yang telah ada di perairan laut Mingar.
Anak-anak Mingar sedang mengambil Nale di Pantai Pasir Putih Mingar. Foto: Dinas Pariwisata Lembata
"Intinya sebelum proses pengambilan dimulai, semua yang hendak turun ke laut harus bersih secara lahir batin. Ritus untuk pengambilan nale biasanya terjadi pada bulan Januari atau Februari dan terjadi di Batu Koker Nale.
Waktu untuk mengambil nale pun terjadi setiap tahun pada saat purnama ketujuh," jelas Lukas.
ADVERTISEMENT
Katanya, setelah Srona dan Srani meninggal, mandat untuk memimpin ritus pengambilan nale pun diserahkan kepada suku Ketupapa dan Atakabelen secara turun-temurun hingga saat ini.
Selain itu, jika waktu pengambilan nale telah selesai dilaksanakan, kembali dilakukan ritus penutupan di Koker Nale. Pada saat ritus penutup, semua diwajibkan membuat semacam gumam syukur atas kemurahan Wujud Tertinggi.
Suasana pengambilan Nale di Pasir Putih Mingar. Foto: Dinas Pariwisata Lembata
Dalam ritus penutup ini, sesepuh dari Suku Ketupapa menyanyikan mantra "Enem lau pito jae, pito jae buto lau tune mu besol, mo akaju para boi ribu ratu moa ia duli pali epak rea. Waike ake da malu mai".
Arti dari mantra ini adalah sebuah permohonan sekaligus pengharapan agar pada waktunya datang dan memberikan kesejahteraan masyarakat.
#Ayo kita ke Pantai Pasir Putih Mingar sambil menanti tradisi Guti Nale#
ADVERTISEMENT
Pewarta: Alvin Johan Lamaberaf