Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten Media Partner
Gereja Santo Arnoldus Janssen di Papua Gelar Tradisi Bakar Batu
16 Januari 2020 14:42 WIB

ADVERTISEMENT
Tanah Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku, agama, budaya, adat istiadat maupun bahasa. Masing-masing suku yang ada di tanah Papua pun memiliki keanekaragaman budaya dan adat istiadat. Keanekaragaman budaya tersebut tentunya harus terus dilestarikan, agar tidak punah dimakan jaman. Bakar batu dan sep, merupakan salah satu budaya yang hingga kini masih terus dilakukan oleh masyarakat Papua pada acara-acara tertentu.

Salah satunya adalah Gereja Katolik Santo Arnoldus Janssen Malanu di Kota Sorong. Dalam rangka memperingati HUT ke-16 gereja, pihak gereja melaksanakan ibadah syukur dan resepsi. Dalam resepsi ini digelar jamuan kasih bersama, di mana masyarakat atau jemaat menyiapkan makanan lokal dan makanan nasional.
Cara pengolahan makanan lokal pun terbilang sangat unik, yakni diolah dengan cara bakar batu dan sep. Cara memasak menggunakan sep, yaitu daging dan sagu dibungkus dengan kulit kayu, kemudian di bakar sampai masak. Sedangkan untuk yang bakar batu, daging dan sayur ditaruh di dalam tanah, kemudian di atasnya diletakkan batu dan dimasak sekitar 2 jam, sampai benar-benar masak.
Biasanya, daging yang digunakan untuk membuat makanan lokal adalah daging babi. Daging babi ini diperoleh dengan cara berburu, yaitu dengan menombak babi yang masih hidup di hutan. Setelah babi benar-benar sudah mati, baru kemudian warga membersihkannya dan mengambil dagingnya.
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Paroki Gereja Katolik Santo Arnoldus Janssen Malanu, Jerry Gembenop mengatakan, budaya bakar batu dan sep dilakukan untuk mengingat kampung halaman, karena keberadaan mereka di Kota Sorong dianggap sedang berada di tanah rantau.
"Di samping mengingat kampung halaman, juga ada makna kebersamaan. Jadi, saya mengajak umat di gereja kita untuk melihat keanekaragaman budaya yang ada ini. Kita satukan dalam suatu acara misa syukur dan resepsi. Makna yang ingin dicapai yakni kita semua harus damai dalam harmoni, karena dengan kondisi negara saat ini, di mana keberagaman terancam atau terganggu," ungkapnya kepada Balleo News.
Jerry juga mengungkapkan bahwa peran gereja memang seharusnya tidak hanya secara spiritual, tetapi juga sosial kemasyarakatan. Ketua Dewan Paroki ini berharap dengan diadakannya acara seperti ini, bisa mencerminkan suatu pandangan atau suatu edukasi bahwa keberagaman itu penting, terutama ketika dimaknai dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Budaya atau kearifan lokal harus kita tampilkan pada event, bukan saja event gereja, tapi juga event-event lain yang dilaksanakan pemerintah ataupun swasta. Sehingga secara khusus, budaya Papua asli ini bisa kita munculkan dan bisa kita anggap sebagai barometer kemajuan dari daerah atau kemajuan dari gereja, dan kemajuan bermasyarakat berbangsa dan bernegara," pungkasnya.
ADVERTISEMENT