Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Masa sekarang, sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota sedang dalam situasi politik menyongsong pemilihan kepala daerah (Pikada) serentak 2020 untuk memilih gubernur; bupati dan wakil bupati; wali kota dan wakil wali kota yang baru. Secara khusus, sebanyak 9 dari 22 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT), akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Desember yang akan dating, yakni tiga di Pulau Flores, dua di Pulau Sumba, tiga di Pulau Timor dan Sabu Raijua. Kesembilan kabupaten dimaksud, yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Ngada Sumba Timur, Sumba Barat, Sabu Raijua, Belu, Malaka dan Timor Tengah Utara (TTU) sedang sibuk berproses menyongsong momentum lima tahunan tersebut. Proses sudah mulai dan sedang berlangsung untuk menarik simpatisan dan massa. Berbagai strategi digunakan oleh tim sukses masing-masing partai pendukung demi memenangkan pasangan calon (paslon) pilihannya. Setiap partai politik (parpol) telah melewati masa penjaringan, penentuan paket, dan memberikan kesempatan kepada masing-masing paket untuk menyempaikan visi dan misi untuk lima tahun ke depan. Masyarakat setiap kabupaten pemilihan pun diberi kesempatan mendengar, menelaah, dan menilai untuk menentukan yang terbaik dan relevan dengan kondisi masing-masing kabupaten.
ADVERTISEMENT
Konteks ini dimaknai sebagai suatu situasi suksesi politik peralihan kekuasaan kepemimpinan pemerintahan daerah. Dengan perkataan lain, suatu proses pembaruan pemimpin pemerintahan yang lama dan adanya peralihan kekuasaan dari satu periode ke periode lain; tidak peduli entah siapa yang berada di dalamnya dan menempati kursi kekuasaan pemerintahan daerah sesuai konstitusi yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan merupakan materi yang diperjuangkan dalam suksesi membutuhkan biaya tidak sedikit. Artinya, masyarakat mencari seorang ‘pemimpin’ sesuai dengan komposisi harapan, selain memiliki kemampuan memimpin dan memiliki label ‘kekuasaan’ yang senantiasa melekat secara langsung pada dirinya.
Namun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa proses penjaringan dan penetapan calon kepala daerah masing-masing kabupaten dilakukan dengan berbagai cara, entah dengan cara “baik” atau pun cara yang “tidak baik”. Misalnya, melalui jalur politik uang, politik kekerabatan atau kekeluargaan, seperti mengutamakan kepentingan keluarga, kepentingan partainya, dan mencari keuntungan pribadi, mobilisasi massa untuk memunculkan namanya ke publik, dan lain sebagainya. Semuanya dibingkai dalam apa yang disebut “politik kotor”. Politik kotor biasanya terjadi karena para politisinya tidak berpolitik etis. Tentu, segala cara yang dilakukan membutuhkan biaya yang sangat banyak. Fenomena-fenomena tersebut sering terjadi dalam dunia politik, khususnya dalam masa pesta domokrasi pilkada seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
Tentu, suatu harapan bagi masyarakat yang selalu mendapat predikat sebagai pemilih cerdas benar-benar memilih pemimpin yang memiliki makna kepemimpinan sebagai suatu harapan. Hal tersebut dibahasakan oleh penulis sebagai suatu “semantik kepemimpinan harapan”. “Semantik kepemimpinan harapan” yang dimaksudkan, yakni makna kata atau kalimat yang dikonsepkan dari diksi utama untuk memaknai kesatuan karakteristik seorang pemimpin harapan masyarakat pemilih. Beberapa makna kepemimpinan yang menjadi harapan dan impian masyarakat.
Pertama, keteladanan. Pemimpin adalah teladan (the leader as paragon). Artinya, suatu karakteristik kepemimpinan yang baik, dapat dijadikan contoh, dan dapat diteladani sifat-sifat baiknya. Seorang pemimpin harus memiliki karakter kepemimpinan dan keteladanan cara hidup, perilaku, etika, dan moral. Banyak pemimpin yang coba menerapkan sikap keteladanan dengan berbagai macam cara dan motivasi yang sangat kuat. Misalnya, Perdana Menteri Cina, Hu Yoabang (1982) menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat sehari-hari. Ia bekerja di bendungan, bergaul dengan para buruh, membersihkan jalan bersama para petugas kebersihan untuk menunjukkan betapa pentingnya kebersihan lingkungan. Selain itu, tentu kita ingat sosok seorang pemimpin Israel, David Ben Gurion. Ia menunjukkan kehidupan politik yang ditandai dengan kesederhanaan dan jiwa pioner. Hal ini ditunjukkan dengan pakaiannya yang hanya dibuat dari bahan driil biasa dan harta miliknya yang sangat sedikit. Ia hanya memiliki banyak buku. Selama menjabat sebagai pemimpin Israel, setiap hari dia tinggal di sebuah apartemen yang Spartan. Namun, ketika ia mengundurkan diri dari dunia politik, dia pindah ke sebuah rumah kecil di Kibbutz, Sdeh Boker di gurun Negef. Kita juga bisa melihat prinsip hidup dan keteladanan dari Mahatma Gandhi, seorang tokoh spiritual India yang senantiasa hidup sederhana sesuai dengan ajaran agamanya. Beberapa contoh keteladanan tokoh-tokoh tersebut dapat membantu masyarakat kabupaten sebagai pemilih untuk memahami dan berpikir bijaksana dalam memilih pemimpin daerah mereka; bahwa seorang pemimpin harus memiliki keteladanan hidup.
Kedua, pemimpin yang memiliki integritas. Artinya bahwa seorang pemimpin harus bermutu, memiliki sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan utuh dan memiliki potensi serta kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Mungkin kita ingat seorang penulis drama sekaligus pembangkang, Vaclav Havel yang mampu berjuang menjadi Presiden Chekoslowakia. Suatu ketika, ia ditanya oleh rakyatnya, “Apakah Anda merasa siap menjalankan roda pemerintahan dan politik utama sebagai presiden?” Jawabnya, “Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri. Rakyat yang memilih saya menjadi presiden, tentu sudah memiliki penilaian tentang kualifikasi diri saya. Saya adalah penulis dan saya berniat untuk tetap menulis, tetapi saya akan selalu meletakkan kepentingan diri sendiri di bawah kepentingan masyarakat.” Karena itu, walaupun sebagai tokoh pembangkang, tetapi dari ide-idenya tentang demokrasi, rakyat merasa bahwa ia paling cocok menjadi pemimpin ideal. Havel mempunyai integritas kepribadian yang ideal karena dalam memperjuangkan idealismenya ia tetap konsisten dalam perbuatannya seperti apa yang dikatakannya. Pernyataan “meletakkan kepentingan diri sendiri di bawah kepentingan rakyat” menunjukkan bahwa ia memiliki integritas. Sesungguhnya, tidak banyak memang pemimpin politik yang betul-betul sanggup mewujudkan ide tersebut. Pengalaman kita selama ini, kebanyakan yang menjadi pemimpin hanya bisa bicara tentang kepentingan rakyat sebagai selogan yang bersifat ritual, namun tidak meletakkan kepentingan diri dan golongan di bawah kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pemimpin yang terbuka. Artinya, seorang pemimpin harus transparansi terhadap masyarakatnya, terbuka mendengar, menerima kritik, serta memberi pertanggungjawaban; tidak terbatas pada orang-orang tertentu saja, juga hal-hal tertentu yang seharusnya diketahui oleh publik tidak dirahasiakan. Ketika kita masuk dalam kriteria ini, tentu kita ingat tokoh George W. Bush. Ketika melakukan kampanye tahun 1988, ia ditanya oleh seorang simpatisan bahwa apa isu menarik yang diprioritaskan dalam kampanye. Ia menjawab bahwa kepemimpinan. Ia menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah mengambil keputusan dan memberikan perintah, tetapi terbuka mendengarkan semua pendapat sebelum mengambil keputusan.
Keempat, pemimpin yang mampu merangkul. Artinya, seorang pemimpin harus membangun dialog, membangun kerja sama dengan masyarakat dan orang atau lembaga lain. Lebih dari itu, seorang pemimpin tidak terpengaruh oleh isu sepihak atau membela sepihak dan mempersalahkan pihak lain. Kriteria ini mengingatkan kita pada seorang novelis terkenal dari Kolumbia bernama Grabiel Garcia Marques. Ia pernah menulis sebuah novel berjudul 100 Tahun dalam Kesunyian (100 Hundred Years of Solitude) yang berkisah tentang suatu negara kota bernama Makondo yang silih berganti mengalami pergantian pemerintahan. Ketika kaum yang ada berkuasa, mereka mengusir semua kelompok pendahulu. Sebaliknya, ketika kelompok pendahulu berkuasa, mereka pun membersihkan kelompoknya dari yang digantikan. Jadi, negara tersebut selalu mengalami kemunduran. Hal ini berarti bahwa seorang pemimpin diharapkan dapat merangkul berbagai elemen; tidak juga terjebak pada pemahaman agama yang sempit dan mengklaim kebenaran golongannya serta menutup dialog dengan kelompok lain. Lebih dari itu, tidak terjebak pada primordialisme sempit dan memahami riligiositasnya hanya melampaui agama itu sendiri.
Semantik keteladanan, integritas, terbuka, dan merangkul tersebut merupakan konsep dasar yang harus dipahami, sekaligus menjadi pegangan bagi masyarakat dalam melihat para paslon sebelum menentukan pilihan ketika berada dalam bilik suara. Tentu, masih banyak semantik kepemimpinan yang harapan baik kepada para calon bupati dan wakil bupati agar membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Begitu banyak kriteria yang masyarakat setiap daerah harapkan dan sandangkan kepada para calon. Namun, saya pikir beberapa karakteristik tersebut menjadi penting dan prioritas harapan masyarakat. Artinya, seorang pemimpin daerah harus memiliki wawasan terbuka, kemampuan berpikir untuk hari esok, dan berjiwa visioner. Rakyat hanya bisa diyakninkan melalui penalarannya yang digerakkan dengan emosinya. Pemimpin harus mampu memberikan keyakinan sekaligus menggerakkan. Seorang pemimpin tidak hanya cukup mengetahui yang benar, namun dia juga harus berbuat benar, yang pada akhirnya dapat memberikan inspirasi bagi rakyat yang dipimpinnya. Tentu, contoh-contoh yang disampaikan di atas ada baik buruknya. Tidak mungkin kita mengharapkan Mahatma Gandhi, Ben Gurion, Hu Yoabang, Vaclav Havel atau Georeg W. Bush berwujud dalam diri calon bupati dan wakil bupati. Perlu diingat mereka menjadi besar di dalam medan juangnya masing-masing, namun paling tidak prinsip, keteladanan, kepemimpinan, dan prilaku orang-orang tersebut dapat memberikan makna dan inspirasi bagi kita dalam memberikan pilihan yang tepat saat berada dalam bilik suara.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, semantik kepemimpinan sangatlah penting diperhatikan karena dengan sendirinya melekat kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud tidak dipandang buruk, tetapi tergantung pada acara memanfaatkannya. Artinya, agar kekuasaan itu bermanfaat haruslah dibuatkan rambu-rambunya, arahnya, dan batasnya. Power corrupts, absolute power corrupts absolutely, kekuasaan bersifat korup, kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula (Lord Action). Karena itu, dibutuhkan hukum, dan kekuasaan harus tunduk pada hukum.
Sesungguhnya semantik pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah hal yang tidak terpisahkan. Karena itu, seorang calon pemimpin selayaknya tidak hanya tahu akan ambisinya saja, tetapi juga paham akan keterbatasannya. Dengan demikian, ia membutuhkan orang lain sehingga tidak terjadi seperti yang dikisahkan oleh Gabriel Garcia Marques dalam One Hundred Years of Solitudo bahwa siapa pun yang naik nantinya akan merangkul kelompok-kelompok rival-rivalnya. Semoga semantik kepemimpinan ini dapat sedikit memberikan inspirasi bagi semua.*
ADVERTISEMENT
Penulis: Bernardus Tube Beding
Pegiat Literasi dan Dosen PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng