Konten dari Pengguna

Tantangan Demokrasi di Kawasan Sahil: Kudeta dan Krisis Keamanan

Balqis Devithalia
Mahasiswi Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia juga sebagai Asisten Peneliti di Institute of ASEAN Studies (IAS)
19 Oktober 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Devithalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Africa's Sahel / sumber: youtube.com/@africanews
zoom-in-whitePerbesar
Africa's Sahel / sumber: youtube.com/@africanews
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wilayah Sahel, zona transisi antara Sahara dan sabana Afrika, sedang menghadapi krisis multidimensi yang semakin memperburuk keadaan di kawasan tersebut. Sahel sendiri diambil dari ساحل sahil untuk ‘pesisir’ atau ‘perbatasan’. Krisis pada kawasan Sahel memburuk karena kekerasan yang melibatkan kelompok-kelompok militan jihad dan pemberontak, terutama terjadinya kudeta di negara-negara kawasan. Awal kudeta militer yang dimulai di Mali pada tahun 2020 ini telah menyebar sampai ke negara-negara tetangga seperti Guinea, Burkina Faso, dan Niger. Kekacauan politik ini juga diperburuk oleh ancaman teroris yang terus meningkat, terutama dari kelompok-kelompok militan yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan ISIS, yang memperkeruh situasi di kawasan.
ADVERTISEMENT
Beberapa faktor yang terjadi, menjelaskan lonjakan atau menaiknya kudeta di Kawasan Sahel. Seperti Ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan yang korup, kegagalan dalam menangani krisis ekonomi, dan bahkan anggapan atas ketidakmampuan dalam menangani kelompok-kelompok bersenjata telah memicu aksi militer yang menurunkan para pemimpin terpilih. Salah satunya Niger, yang baru saja mengalami kudeta pada Juli 2023, adalah contoh nyata bagaimana pemerintahan yang rapuh berpotensi dipasok oleh kekuatan militer.
Meski begitu, penanganan militer ini bukanlah solusi dalam jangka panjang. Banyak yang masih khawatir bahwa terulangnya kudeta akan semakin membuat lemah institusi demokrasi di kawasan dan menciptakan sesuatu yang negatif bagi negara-negara lain di Afrika Barat.
Selain tantangan politiknya, krisis-krisis kemanusiaan yang melanda Kawasan Sahel ini semakin mendesak untuk diatasi. Konflik yang berkepanjangan antara militer pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata telah menyebabkan tingginya pengungsian massal. Banyak dari warga sipil yang terpaksa untuk mengungsi, ada sekitar 3,3 juta orang mengungsi secara paksa di akhir tahun 2023 (UNHCR, 2023). Bantuan-bantuan internasional juga sering kali terhambat oleh ketidakamanan di daerah-daerah yang dikuasai kelompok bersenjata.
ADVERTISEMENT
Upaya multilateral, seperti yang dilakukan oleh ECOWAS (Economic Community of West African States) untuk menegakkan sanksi dan tekanan diplomatik, sepertinya belum menghasilkan solusi yang signifikan. Peningkatan pada keamanan regional sampai kebutuhan-kebutuhan solusi jangka panjang yang melibatkan politik inklusif ini tentunya menjadi semakin krusial.
Maka dari itu, situasi di Kawasan Sahel ini telah mencerminkan tantangan demokrasi yang dihadapi di banyak negara-negara Afrika. Kudeta yang berulang kali dan juga meningkatnya kekerasan dari kelompok-kelompok bersenjata bukan hanya mengguncang stabilitas kawasan, tetapi juga berpotensi pada memburuknya krisis kemanusiaan yang memang sudah terjadi sejak lama. Solusi yang komprehensif dan kolaboratif tentu diperlukan untuk memulihkan demokrasi dan menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.