Konten dari Pengguna

Cermin Harapan dan Kekecewaan: Opini atas Kumpulan Cerpen Anak Kebanggaan

Balqis Meira Salwa
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13 Mei 2025 18:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Meira Salwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Ayah Dan Anak Melihat Kembali Latar Belakang Retro Hangat Hari Ayah. Sumber Gambar: id.pngtree.com
zoom-in-whitePerbesar
Latar Belakang Ayah Dan Anak Melihat Kembali Latar Belakang Retro Hangat Hari Ayah. Sumber Gambar: id.pngtree.com
Tokoh Indra Budiman dalam cerpen “Anak Kebanggaan” karya A.A. Navis adalah gambaran anak yang dianggap berhasil oleh ukuran masyarakat: cerdas, punya jabatan tinggi, dan hidup berkecukupan. Tapi sebagai pembaca, saya justru merasa ada yang kosong dalam dirinya. Ia kehilangan empati, rasa hormat, dan kedekatan dengan ayahnya, Ompi. Ini membuat saya sadar bahwa kesuksesan secara materi bukan jaminan terbentuknya karakter yang utuh dan berakhlak.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ompi digambarkan sebagai sosok ayah yang sederhana, tulus, dan penuh kasih. Ia rela berkorban apa pun demi kebahagiaan dan keberhasilan anaknya. Membaca tentang perjuangannya membuat saya terharu sekaligus sedih, karena cinta dan pengorbanan itu tidak mendapat balasan yang layak. Perlakuan Indra terhadap Ompi terasa dingin dan menyakitkan, seolah ayahnya hanya kewajiban masa lalu yang kini tak penting lagi.
Konflik batin yang dialami Ompi begitu mengena di hati. Di satu sisi, ia bangga pada pencapaian anaknya. Tapi di sisi lain, hatinya remuk melihat anak yang dulu ia besarkan berubah menjadi pribadi yang angkuh, jauh dari nilai-nilai yang pernah dia tanamkan. Saya jadi berpikir, apakah kita sebagai anak sudah benar-benar tahu arti membanggakan orang tua?
ADVERTISEMENT
Indra Budiman seperti cerminan dari banyak orang yang merasa keberhasilannya adalah milik pribadi, lepas dari jasa siapa pun. Ia adalah produk masyarakat yang terlalu menyanjung gelar dan jabatan, tapi lupa menanamkan penghargaan terhadap hubungan manusia, terutama dengan orang tua sendiri. Membaca kisahnya membuat saya khawatir: jangan-jangan kita juga sedang berjalan ke arah itu.
Yang membuat cerita ini semakin menyedihkan adalah cinta Ompi yang terus ia berikan, meski ia tahu dirinya dilupakan. Ia tetap sabar, tetap berharap, dan tetap mendoakan Indra. Tapi dalam diamnya, saya bisa merasakan luka yang dalam. Ini adalah bentuk cinta orang tua yang sering kali tidak disadari nilainya, hingga sudah terlambat.
Perbedaan karakter antara Ompi dan Indra sangat mencolok—dan itulah kekuatan utama cerpen ini. Di satu sisi ada hati yang penuh kasih dan pengertian, dan di sisi lain ada dinginnya ambisi yang menutupi rasa. Saya merasa A.A. Navis menyentil kita semua: jangan sampai kemajuan membuat kita kehilangan rasa, kehilangan nurani, dan kehilangan orang-orang yang seharusnya paling kita jaga.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, Indra bukan sekadar tokoh fiksi. Ia adalah simbol dari anak-anak masa kini yang mungkin terlalu larut dalam pencapaian, tapi tak lagi menyempatkan diri untuk sekadar bertanya kabar pada orang tua. Cerpen ini seperti alarm yang mengingatkan kita: sukses itu bukan hanya tentang diri sendiri, tapi juga tentang siapa yang telah membentuk kita.
Ompi, dengan segala kesederhanaannya, merepresentasikan banyak orang tua di sekitar kita. Mereka mungkin tak banyak bicara, tak pandai mengungkapkan perasaan, tapi cinta mereka selalu nyata. Mereka hanya ingin dikenang, dihargai, dan dianggap penting, bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka sudah memberikan segalanya untuk kita.
Cerita ini membuat saya bertanya: kapan terakhir kali saya mengucapkan terima kasih pada orang tua saya? Apakah saya sudah cukup menunjukkan rasa bangga saya kepada mereka, bukan hanya sebaliknya? A.A. Navis tidak menulis kisah yang mewah, tapi kisah ini punya kekuatan untuk menyentuh bagian terdalam dari hati saya sebagai anak.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, hubungan antara Indra Budiman dan Ompi adalah gambaran yang sangat manusiawi. Ada cinta, ada harapan, ada kecewa, dan ada luka. Tapi yang paling kuat adalah pesan moralnya: sehebat apa pun kita, jika kehilangan rasa hormat dan cinta kepada orang tua, maka keberhasilan kita terasa hampa. Cerpen ini adalah pengingat yang jujur dan menyentuh, bahwa nilai sejati dari kebanggaan adalah cinta yang tetap hidup—bukan sekadar prestasi yang memukau.
Cerpen "Anak Kebanggaan" karya A.A. Navis mengangkat tema yang sangat dekat dengan kehidupan banyak keluarga: cinta orang tua, harapan, dan kenyataan yang kadang tidak sesuai harapan. Sosok Ompi, sang ayah, begitu kuat menggambarkan cinta yang tanpa syarat. Ia rela melakukan apa pun demi anaknya, Indra Budiman—bahkan jika itu berarti harus mengorbankan diri sendiri, menahan malu, atau menyangkal kenyataan pahit yang sesungguhnya ia tahu. Semua demi satu harapan: agar anaknya berhasil, menjadi orang terhormat, dan bisa membawa kebanggaan bagi keluarga serta masyarakat desa.
ADVERTISEMENT
Namun, kasih yang besar itu justru berbalik menjadi luka yang dalam. Indra Budiman, anak yang diharapkan menjadi dokter dan kebanggaan keluarga, justru menjadi sosok yang menyia-nyiakan semua kepercayaan yang diberikan. Ia tidak hanya gagal secara moral, tetapi juga secara manusiawi. Ia melupakan akar, lupa diri, dan yang paling menyakitkan: ia melupakan ayahnya. Cerita ini membuat kita bertanya, seberapa sering cinta orang tua dibalas dengan kekecewaan yang mendalam?
A.A. Navis, melalui cerpen ini, tidak hanya menyorot hubungan personal antara ayah dan anak, tetapi juga mengajak kita untuk merenung lebih jauh—tentang bagaimana ekspektasi masyarakat terhadap anak-anak yang merantau, tentang perbedaan tajam antara nilai hidup di desa dan pergaulan di kota, serta tentang bagaimana cinta yang membabi buta bisa membuat seseorang menutup mata terhadap kenyataan.
ADVERTISEMENT
Yang membuat kisah ini menyentuh adalah ironi yang dihadirkan. Ompi begitu percaya dan bangga, bahkan ketika kenyataan sudah menyodorkan tanda-tanda bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya. Ia memilih percaya, karena cinta seorang ayah tak selalu logis. Namun dari situlah muncul pesan moral yang tajam: cinta orang tua memang luar biasa, tapi bukan berarti harus membutakan diri.
Cerita ini juga menjadi cermin bagi para anak. Bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan bagi orang tua selain dikhianati oleh anak yang selama ini dijunjung tinggi. Betapa besar harapan yang ditumpukan pada pundak Indra, dan betapa dalam pula luka yang ditinggalkan saat semua harapan itu runtuh. Cerpen ini mengingatkan kita bahwa menjadi "anak kebanggaan" bukan sekadar tentang pencapaian, tapi tentang sikap, tentang tanggung jawab, dan tentang kesadaran akan cinta yang telah menghidupi kita sejak kecil.
ADVERTISEMENT
Di balik narasinya yang sederhana, Navis menyisipkan kritik sosial yang tajam—tentang ketimpangan nilai antara desa dan kota, tentang keretakan hubungan antar generasi, dan tentang masyarakat yang kadang terlalu cepat menaruh harapan tanpa membekali anak dengan cukup pondasi moral. Kota digambarkan bukan hanya sebagai tempat peluang, tapi juga godaan. Dan anak-anak desa yang merantau ke kota sering kali terjebak di tengah dunia yang tak lagi mengenal batas benar dan salah.
Ompi, dalam keterbatasannya, tetap menjadi simbol kasih sayang yang luar biasa. Tapi ia juga menjadi pengingat bahwa orang tua pun perlu belajar bersikap kritis. Cinta tidak boleh membutakan, dan harapan perlu disertai keberanian untuk menghadapi kenyataan. Karena cinta sejati bukan hanya percaya, tapi juga mampu berkata jujur, bahkan ketika itu menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Cerpen ini memberi ruang bagi pembaca untuk merenung. Mungkin kita pernah menjadi Indra, yang mengecewakan. Atau kita adalah Ompi, yang terus berharap dan percaya. Di situlah kekuatan cerita ini—ia mengajak kita masuk, tidak hanya sebagai penonton, tapi juga sebagai bagian dari konflik batin yang sangat manusiawi.
“Anak Kebanggaan” bukan sekadar cerita tentang kegagalan seorang anak atau kekecewaan seorang ayah. Ia adalah potret kecil dari ketegangan antara cinta dan kenyataan, antara harapan dan luka. Dan dari situ, kita belajar bahwa menjadi kebanggaan bukan soal gelar atau posisi, tetapi tentang bagaimana kita menjaga cinta dan kepercayaan orang-orang yang paling mencintai kita tanpa syarat.