Konten dari Pengguna

Hanafi dan Pengaruh Pendidikan Kolonial dalam Salah Asuhan

Balqis Meira Salwa
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
27 April 2025 12:14 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Meira Salwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Novel Salah Asuhan, (Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Novel Salah Asuhan, (Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi).
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis bukan sekadar karya fiksi yang menyuguhkan kisah cinta antara dua insan berbeda budaya, melainkan juga sebuah refleksi tajam atas kondisi sosial dan budaya pada masa kolonial. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1928, novel ini berhasil menggambarkan kegamangan identitas tokoh pribumi terpelajar dalam menghadapi modernisasi dan dominasi budaya Barat. Melalui tokoh Hanafi, Abdoel Moeis menunjukkan bagaimana pendidikan kolonial dapat mengaburkan jati diri bangsa dan menciptakan jarak antara individu dengan akar budayanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Artikel ini bertujuan untuk membedah lebih dalam tema-tema besar dalam Salah Asuhan, seperti benturan budaya, krisis identitas, dan ketimpangan sosial, serta menyoroti relevansi kritik sosial yang disampaikan Moeis terhadap realitas Indonesia pada masa penjajahan—yang bahkan masih terasa gaungnya hingga kini.
Karakter Hanafi yang Terjebak antara Identitas Pribumi
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, karakter Hanafi digambarkan sebagai seorang pemuda pribumi yang terpelajar namun terjebak dalam konflik identitas antara budaya pribumi dan impian modernisasi ala Barat. Hal ini tercermin dalam sikap dan tindakannya yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai budaya asalnya.
1. Kecintaan terhadap Budaya Barat
Hanafi menunjukkan ketertarikannya yang mendalam terhadap budaya Barat, bahkan dalam aspek kehidupan sehari-hari. Ia menata rumahnya dengan perabotan ala Eropa dan lebih memilih bergaul dengan orang Belanda. Kecintaannya terhadap budaya Barat ini menyebabkan ia mengabaikan adat dan budaya Minangkabau yang merupakan asal-usulnya.
ADVERTISEMENT
2. Penolakan terhadap Adat Minangkabau
Dalam pernikahannya dengan Rapiah, Hanafi menolak penggunaan adat Minangkabau. Ia menginginkan agar pernikahan tersebut mengikuti gaya Barat, dengan pakaian yang sederhana dan tanpa hiasan adat. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan keluarga Rapiah dan mencerminkan penolakan Hanafi terhadap budaya asalnya.
3. Perubahan Identitas untuk Menjadi Bagian dari Dunia Barat
Hanafi berusaha mengubah identitasnya agar diterima dalam masyarakat Barat. Ia mengubah cara berpakaian, berbicara, dan bergaul sesuai dengan norma-norma Barat. Namun, upaya ini justru membuatnya semakin terasing dari budaya pribumi dan keluarganya.
4. Konflik Batin dan Penyesalan
Meskipun berusaha keras untuk menjadi bagian dari dunia Barat, Hanafi akhirnya merasakan kekosongan dan penyesalan. Ia menyadari bahwa upayanya untuk mengadopsi budaya Barat telah membuatnya kehilangan jati diri dan hubungan dengan keluarganya. Penyesalan ini tercermin dalam pernyataannya yang mengungkapkan bahwa hidupnya terasa kosong dan penuh cita-cita yang tidak tercapai.
ADVERTISEMENT
Cinta yang Terjerat dalam Kekuasaan Kolonial dan Identitas Pribumi
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, cinta antara Hanafi dan Corrie terjalin dalam konteks ketegangan antara identitas pribumi dan pengaruh budaya kolonial. Hubungan mereka mencerminkan dilema sosial dan budaya yang dihadapi oleh individu pribumi terpelajar pada masa itu.
1. Cinta yang Terjerat dalam Struktur Kekuasaan Kolonial
Hanafi, sebagai pemuda pribumi yang terdidik di Betawi dan tinggal bersama keluarga Belanda, merasa terasing dari budaya Minangkabau dan mengidentifikasi dirinya dengan budaya Barat. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial Eropa, termasuk dalam hal pergaulan dan hubungan antargender. Namun, meskipun ia mengadopsi budaya Barat, statusnya sebagai pribumi tetap membatasi penerimaannya dalam masyarakat Eropa.
ADVERTISEMENT
Hubungan Hanafi dengan Corrie, seorang gadis keturunan Eropa, mencerminkan benturan antara keinginan untuk mengadopsi budaya Barat dan kenyataan sosial yang membedakan status mereka berdasarkan ras dan asal usul. Meskipun mereka saling mencintai, perbedaan status sosial dan budaya menjadi penghalang bagi hubungan mereka.
2. Identitas dan Hegemoni Kultural
Hanafi berusaha mengubah identitasnya agar diterima dalam masyarakat Eropa, namun upaya ini justru membuatnya semakin terasing dari budaya pribumi dan keluarganya. Ia menolak adat Minangkabau dan merasa malu disebut pribumi. Hal ini menunjukkan adanya hegemoni kultural yang mempengaruhi cara pandang dan identitas pribumi terpelajar pada masa itu.
Novel ini menggambarkan bagaimana struktur kekuasaan kolonial mempengaruhi hubungan pribadi dan identitas individu, serta menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh pribumi terpelajar dalam mempertahankan identitas budaya mereka di tengah dominasi budaya Barat.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Kolonial dan Benturan Nilai Tradisional dengan Nilai Modern
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, tema pendidikan kolonial dan benturan antara nilai tradisional dan modern menjadi inti dari konflik yang dialami oleh tokoh utama, Hanafi. Melalui karakter Hanafi, Moeis menggambarkan dampak pendidikan kolonial terhadap identitas pribumi dan bagaimana nilai-nilai Barat bertentangan dengan tradisi lokal.
1. Pendidikan Kolonial dan Benturan Nilai
Hanafi, yang menempuh pendidikan di HBS (Hogere Burgerschool) di Betawi, merupakan representasi dari kaum pribumi terpelajar yang terpengaruh oleh budaya Barat. Pendidikan ini membuka wawasan Hanafi terhadap dunia luar, namun juga menimbulkan konflik internal terkait identitas dan nilai-nilai yang dianutnya.
Salah satu contoh nyata dari benturan nilai ini terlihat dalam sikap Hanafi terhadap adat Minangkabau. Ia merasa bahwa adat tersebut kuno dan membatasi kebebasan individu. Sebaliknya, ia mengagumi kebebasan yang ditawarkan oleh budaya Barat, di mana individu memiliki otonomi dalam menentukan pilihan hidup, termasuk dalam hal pernikahan.
ADVERTISEMENT
2. Cinta dan Identitas dalam Pendidikan Kolonial
Hubungan Hanafi dengan Corrie, seorang gadis Belanda, mencerminkan bagaimana pendidikan kolonial mempengaruhi pandangan dan pilihan hidup pribumi terpelajar. Meskipun cinta mereka tulus, perbedaan budaya dan status sosial menjadi penghalang bagi hubungan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pendidikan dapat membuka peluang, namun struktur sosial dan budaya tetap memainkan peran penting dalam menentukan nasib individu.
3. Kritik Sosial melalui Pendidikan
Melalui karakter Hanafi, Abdoel Moeis mengkritik sistem pendidikan kolonial yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai yang dapat mengikis identitas budaya lokal. Hanafi, yang seharusnya menjadi agen perubahan bagi bangsanya, justru terjebak dalam kebingungannya sendiri mengenai identitas dan nilai-nilai yang harus dipegang teguh.
ADVERTISEMENT
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan dampak pendidikan kolonial terhadap pembentukan identitas dan bagaimana benturan antara nilai tradisional dan modern dapat mempengaruhi kehidupan individu.
Relasi Antar Tokoh Mencerminkan Penjajahan Kultural
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, relasi antar tokoh mencerminkan penjajahan kultural yang terjadi pada masyarakat pribumi akibat pengaruh kolonialisme. Melalui karakter Hanafi, Moeis menggambarkan bagaimana pendidikan kolonial dan budaya Barat memengaruhi identitas pribumi dan hubungan sosial mereka.
1. Hanafi dan Ibu: Konflik Identitas dan Penjajahan Kultural
Hanafi, yang dibesarkan dengan pendidikan Barat, menunjukkan sikap merendahkan budaya dan identitas pribumi. Ia merasa lebih superior dibandingkan dengan ibunya yang masih memegang teguh adat Minangkabau. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut:
ADVERTISEMENT
Kutipan ini merupakan contoh nyata bagaimana kolonialisme tidak hanya menjajah secara politik dan ekonomi, tapi juga secara budaya dan mental. Hanafi adalah potret anak bangsa yang teralienasi dari budayanya sendiri akibat pengaruh Barat yang begitu dominan.
2. Hanafi dan Corrie: Cinta dalam Bingkai Hegemoni Kultural
Hubungan antara Hanafi dan Corrie menggambarkan benturan antara budaya Barat dan Timur. Meskipun mereka saling mencintai, perbedaan status sosial dan budaya menjadi penghalang utama. Tuan du Busse, ayah Corrie, menentang hubungan tersebut karena perbedaan latar belakang budaya dan status sosial. Ia berpendapat bahwa pernikahan antara orang Barat dan pribumi akan dianggap sebagai penghinaan terhadap bangsa Barat. Kutipan berikut menggambarkan pandangan Tuan du Busse:
ADVERTISEMENT
Kutipan ini mencerminkan penjajahan kultural dan sosial yang sangat kuat dalam masyarakat kolonial. Hubungan antarras tidak hanya soal perasaan, tapi dipolitisasi oleh sistem kelas dan ras. Abdoel MMoeis menggunakannya untuk mengkritik tajam bagaimana kolonialisme tidak hanya menguasai tanah dan kekayaan, tetapi juga mengontrol nilai dan moral sosial.
3. Hanafi dan Rapiah: Penolakan terhadap Adat dan Budaya Pribumi
Pernikahan Hanafi dengan Rapiah juga mencerminkan penjajahan kultural. Hanafi menolak adat Minangkabau dalam pernikahannya dan lebih memilih mengikuti adat Barat. Ia menginginkan pernikahannya dilaksanakan dengan cara yang sederhana, tanpa menggunakan adat Minangkabau yang dianggapnya kuno. Kutipan berikut menggambarkan sikap Hanafi terhadap adat Minangkabau:
ADVERTISEMENT
Kutipan ini memperkuat gambaran bahwa Hanafi adalah produk dari sistem pendidikan dan budaya kolonial yang tidak hanya menjauhkan dirinya dari akar budaya, tetapi juga membuatnya mempermalukan, merendahkan, bahkan ingin menghapus jejak identitas lokalnya dalam momen penting seperti pernikahan. Ini menjadi kritik tajam dari Abdoel Moeis terhadap hegemoni budaya Barat yang berhasil memengaruhi cara pikir dan rasa percaya diri bangsa terjajah.
Melalui relasi antar tokoh dalam Salah Asuhan, Abdoel Moeis menggambarkan bagaimana penjajahan kultural memengaruhi identitas dan hubungan sosial masyarakat pribumi. Pendidikan kolonial dan budaya Barat tidak hanya memengaruhi cara berpikir dan bertindak, tetapi juga membentuk struktur sosial yang membatasi interaksi antar individu berdasarkan ras dan status sosial. Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan dampak penjajahan kultural terhadap identitas dan hubungan sosial masyarakat pribumi.
ADVERTISEMENT
Dampak Modernisasi Tokoh Utama (Hanafi)
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, tokoh utama Hanafi menggambarkan dampak negatif dari modernisasi yang keliru—yaitu modernisasi yang mengabaikan akar budaya sendiri demi mengagungkan budaya Barat. Pendidikan Barat yang diterimanya membuatnya merasa superior dan memandang rendah budaya serta adat istiadat pribumi.
1. Alienasi dari Budaya Pribumi
Hanafi merasa lebih tinggi dari orang-orang yang tidak bisa berbahasa Belanda dan mencemooh segala hal yang berhubungan dengan orang Melayu, termasuk adat dan agama Islam. Ia menganggap bahwa orang yang tidak pandai berbahasa Belanda tidaklah masuk bilangan, dan segala hal ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu dicatat dan dicemoohkannya. Adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindah serambut juga. Kutipan ini menunjukkan bagaimana pendidikan kolonial telah mengubah cara pandang Hanafi terhadap budaya dan identitas pribuminya.
ADVERTISEMENT
2. Penolakan terhadap Adat Pernikahan Pribumi
Ketika hendak menikah dengan Rapiah, Hanafi menolak penggunaan adat Minangkabau dalam pernikahannya. Ia meminta agar pengantin perempuan tidak digilakan dengan anak joget yang berumbai-umbai, melainkan mengenakan pakaian sederhana sesuai dengan budaya Barat, yaitu berbaju pendek gunting Priangan. Hal ini menunjukkan bagaimana Hanafi menolak adat dan budaya pribumi demi mengikuti budaya Barat.
3. Kehilangan Identitas dan Konflik Sosial
Hanafi merasa bahwa dunia Corrie bukanlah dunianya, dan ia tersingkir dari dua dunia: dunia pribumi yang tidak menerimanya karena sikapnya yang menganggap rendah budaya mereka, dan dunia Barat yang tidak sepenuhnya menerima dirinya karena statusnya sebagai pribumi. Hal ini menggambarkan bagaimana modernisasi yang keliru dapat menyebabkan seseorang kehilangan identitas dan terjebak dalam konflik sosial.
ADVERTISEMENT
Kritik Sosial dalam Novel Salah Asuhan
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, kisah cinta antara Hanafi dan Corrie bukan sekadar roman pribadi, tetapi juga menjadi medium kritik sosial yang tajam terhadap dampak negatif pendidikan kolonial dan penjajahan budaya. Melalui kisah ini, pengarang menggambarkan bagaimana modernisasi yang keliru dapat menyebabkan alienasi identitas dan konflik sosial yang mendalam.
1. Alienasi Identitas dan Penolakan terhadap Budaya Lokal
Hanafi, yang terdidik dalam sistem pendidikan kolonial Belanda, mulai memandang rendah budaya dan adat istiadat pribumi. Ia merasa lebih tinggi dari orang-orang yang tidak bisa berbahasa Belanda dan mencemooh segala hal yang berhubungan dengan orang Melayu, termasuk adat dan agama Islam. Ia menganggap bahwa orang yang tidak pandai berbahasa Belanda tidaklah masuk bilangan, dan segala hal ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu dicatat dan dicemoohkannya. Adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindah serambut juga.
ADVERTISEMENT
2. Penolakan terhadap Adat Pernikahan Pribumi
Ketika hendak menikah dengan Rapiah, Hanafi menolak penggunaan adat Minangkabau dalam pernikahannya. Ia meminta agar pengantin perempuan tidak digilakan dengan anak joget yang berumbai-umbai, melainkan mengenakan pakaian sederhana sesuai dengan budaya Barat, yaitu berbaju pendek gunting Priangan. Hal ini menunjukkan bagaimana Hanafi menolak adat dan budaya pribumi demi mengikuti budaya Barat.
3. Diskriminasi Sosial dan Penolakan Masyarakat
Hubungan antara Hanafi dan Corrie menghadapi penolakan dari masyarakat karena perbedaan ras dan budaya. Masyarakat memandang rendah hubungan tersebut, dan Hanafi serta Corrie mengalami diskriminasi sosial. Diskriminasi ini mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di masa kolonial.
Kesimpulan
Novel Salah Asuhan merupakan karya sastra klasik yang tidak hanya menyuguhkan kisah cinta tragis antara Hanafi dan Corrie, tetapi juga memuat kritik sosial yang kuat terhadap dampak pendidikan kolonial dan modernisasi yang keliru. Melalui tokoh Hanafi, Abdoel Moeis menggambarkan bagaimana individu pribumi yang mengagumi budaya Barat secara membabi buta dapat terasing dari jati diri dan lingkungan sosialnya sendiri. Konflik antara adat tradisional dan nilai-nilai Barat menjadi pusat narasi, sekaligus memperlihatkan ketimpangan sosial dan rasisme yang terjadi dalam masyarakat kolonial.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Salah Asuhan menyampaikan pesan penting tentang pentingnya menjaga identitas budaya, serta menjadi cerminan bagi bangsa Indonesia dalam memahami sejarah penjajahan dan dampaknya terhadap psikologi serta relasi sosial masyarakat pribumi.