Konten dari Pengguna

IQ, EQ, dan SQ: Tiga Pilar Utama dalam Psikologi Pendidikan

Balqis Meira Salwa
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
20 Oktober 2024 12:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Meira Salwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Funny happy cute smiling hipster book and brain in glasses. Sumber: Freepik.com.
zoom-in-whitePerbesar
Funny happy cute smiling hipster book and brain in glasses. Sumber: Freepik.com.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia pendidikan yang terus berkembang, pemahaman mengenai kecerdasan manusia semakin meluas. Tidak hanya Intelligence Quotient (IQ) yang menjadi patokan keberhasilan akademik, tetapi juga Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) yang memainkan peranan penting dalam membentuk individu yang seimbang. Artikel ini akan membahas bagaimana ketiga jenis kecerdasan ini berinteraksi dan saling melengkapi dalam konteks psikologi pendidikan. Dengan memahami peran IQ, EQ, dan SQ, kita dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif dan mendukung perkembangan karakter siswa. Mari kita eksplorasi lebih dalam tentang pentingnya ketiga kecerdasan ini dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga emosional dan spiritual.
ADVERTISEMENT
a. Intelligence Quotient (IQ)
Secara garis besar kecerdasan intelektual adalah kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari sesuatu dengan menggunakan alat–alat berpikir. Kecerdasan ini bisa diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang. Secara teknis kecerdasan intelektual pertama kali ditemukan oleh Alfred Binet. Menurut pendapat lain bahwa kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Kecerdasan tersebut dikenal dengan kecerdasan rasional karena menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah. Penilaian kecerdasan dapat dilakukan melalui tes atau ujian daya ingat, daya nalar, penguasaan kosa kata, ketepatan menghitung, dan mudah atau tidaknya dalam menganalisis data. Dengan ujian maka dapat dilihat tingkat kecerdasan intelektual seseorang.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Intelektual
Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
Di mana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.
Di mana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
Di mana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
Di mana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode juga bebas memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
b. Emotional Quotient (EQ)
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Salovey dalam (Goleman, 2015: 56) adalah sebagai berikut:
Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional, kemampuan memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.
ADVERTISEMENT
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk motivasi diri sendiri dan untuk berkreasi.
Kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
ADVERTISEMENT
Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Individu mampu menangani emosi orang lain membutuhkan kematangan dua keterampilan emosional lain, yaitu manajemen diri dan empati.
c. Spiritual Quotient (SQ)
Spiritual quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual berasal dari kata spiritual dan quotient. Spiritual berarti batin, Rohani, keagamaan. Sedangkan, quotient atau kecerdasan berarti sempurnanya perkembangan akal budi, kepandaian, ketajaman pikiran. Spiritual quotient (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk menjalankan Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ) secara efektif. Kecerdasan spiritual dianggap sebagai jenis kecerdasan yang paling penting dibandingkan dengan kecerdasan lainnya karena hubungannya dengan keyakinan atau agama. Namun, SQ tidak selalu terkait dengan agama secara langsung. Ada aspek di luar agama yang juga termasuk dalam ranah SQ, yaitu jiwa. Oleh karena itu, SQ juga dikenal sebagai kecerdasan jiwa, yang berfungsi untuk membantu kita membangun diri secara menyeluruh. SQ berasal dari intuisi atau perasaan hati.
ADVERTISEMENT
Tanda-Tanda Orang yang Mempunyai Kecerdasan Spiritual
Orang yang memiliki kecerdasan spiritual, ketika menghadapi persoalan dalam hidupnya, tidak hanya dihadapi dengan rasional dan emosional saja, tapi ia akan menghubungkannya dengan makna secara spiritual agar langkah-langkahnya lebih matang dan bermakna dalam kehidupan.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal, setidaknya ada sembilan tanda orang yang mempunyai kecerasan spiritual, yakni sebagai berikut:
Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi ditandai dengan sikap hidupnya yang fleksibel atau bisa luwes dalam menghadapi persoalan. Orang yang fleksibel semacam ini lebih mudah menyesuaikan diri dalam berbagai macam situasi dan kondisi.
Orang yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi berarti ia mengenal dengan baik siapa dirinya. Orang yang demikian lebih mudah mengendalikan diri dalam berbagai situasi dan keadaan, termasuk dalam mengendalikan emosi.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, manusia ketika dihadapkan dengan penderitaan, akan mengeluh, kesal, marah atau bahkan putus asa. Akan tetapi, orang yang mempunyai kecerdasan spiritual yang baik akan mempunyai kemampuan dalam menghadapi penderitaan dengan baik.
Dalam menghadapi rasa takut ini, tidak sedikit dari manusia yang dijangkiti oleh rasa khawatir yang berlebihan bahkan berkepanjangan. Padahal hal yang ditakutkan itu belum tentu terjadi. Takut menghadapi kemiskinan misalnya, bila berlebihan rasa takut itu bisa membuat seseorang lupa terhadap hukum dan nilai. Akhirnya, dalam rangka supaya hidupnya tidak miskin, tak segan ia menipu, berbohong, mencuri, atau melakukan korupsi.
Tanda orang yang mempunyai kecerdasan spiritual adalah hidupnya berkualitas karena diilhami oleh visi dan nilai. Visi dan nilai inilah hal yang termasuk bernilai mahal dalam kehidupan seseorang. Tidak jarang seseorang mudah terpengaruh oleh bujuk rayu karena memang tidak mempunyai visi dan nilai, atau mempunyai mempunyai visi dan nilai namun tidak mampu berpegangan kuat.
ADVERTISEMENT
Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual yang baik akan enggan bila keputusan atau langkah-langkah yang diambilnya bisa menyebabkan kerugian yang tidak perlu. Hal ini bisa terjadi karena ia bisa berpikir lebih selektif dalam mempertimbangkan berbagai hal.
Agar keputusan dan langkah yang diambil oleh seseorang dapat mendekati keberhasilan, diperlukan kemampuan dalam melihat keterkaitan dalam berbagai hal. Agar hal yang sedang dipertimbangkan itu menghasilkan kebaikan, sangat perlu melihat keterkaitan antara berbagai hal dalam sebuah masalah.
Pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana jika” biasanya dilakukan oleh seseorang untuk mencari jawaban yang mendasar. Inilah tanda bagi orang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi. Dengan demikian, ia dapat memahami masalah dengan baik, tidak secara parsial, dan dapat mengambil keputusan dengan baik pula.
ADVERTISEMENT
Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi akan bisa menjadi pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggung jawab. Dalam konteks keindonesiaan, rasanya seperti mimpi untuk mempunyai pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggung jawab. Banyak orang berebutan agar dipilih menjadi pemimpin, namun masih dipertanyakan bila kelak ia bisa menjadi pemimpin yang penuh pengabdian.
Dari pendapat ahli di atas ada sembilan tanda-tanda atau ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual, yakni orang tersebut memiliki sifat fleksibel, mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi, kemampuan menghadapi penderitaan, kemampuan menghadapi rasa takut, hidupnya berkualitas, enggan menyebabkan kerugian, melihat keterkaitan dengan berbagai hal, cenderung bertanya mengapa atau bagaimana jika, dan mempunyai rasa penuh tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
.
.
.
Dosen Pengampu: Ibu Maolidah, M.Psi.
Daftar Pustaka
Azzet, A. M. (2010). Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Bagi Anak. Yogyakarta: Katahati.
Daryanto, Agus Setyono. (2024). Kecerdasan Spiritual. Semarang: Mutiara Aksara.
Djaali. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Goleman, D. (2016). Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia.
Iskandar. (2009). Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru). Jakarta: Gaung Persada Press.