Konten dari Pengguna

Pendidikan, Cinta, dan Tanggung Jawab Bangsa: Refleksi Tokoh Hidjo

Balqis Meira Salwa
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
27 April 2025 12:07 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Meira Salwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Novel Student Hidjo, (Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Novel Student Hidjo, (Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi).
Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo bukan sekadar sebuah novel, melainkan sebuah karya sastra yang sarat akan semangat perlawanan dan kesadaran identitas pada masa penjajahan Belanda. Ditulis oleh seorang tokoh pers dan pejuang kemerdekaan yang berani, novel ini mencerminkan keresahan dan aspirasi kaum terpelajar pribumi yang terjepit di antara budaya Timur yang diwariskan dan pengaruh kuat budaya Barat yang datang melalui kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Dalam novel ini, tokoh utama bernama Hidjo menjadi representasi generasi muda Indonesia yang mengalami pergeseran nilai akibat pertemuan dengan budaya Eropa, khususnya melalui pendidikan di Belanda. Namun, di balik kisah cintanya dengan gadis Belanda dan pencariannya akan jati diri, terselip kritik tajam terhadap sistem kolonial yang menindas serta perenungan mendalam tentang pentingnya mempertahankan nilai-nilai kepribadian bangsa.
Semangat Perlawanan Tokoh Utama (Hidjo)
Semangat perlawanan dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo tergambar jelas melalui tokoh utamanya, Hidjo. Hidjo mewakili generasi muda pribumi yang sadar akan ketidakadilan kolonial dan berusaha melawannya dengan cara yang cerdas dan halus. Perlawanan ini tidak dilakukan secara fisik, tapi lewat pemikiran, sikap, dan perjuangan di bidang pendidikan dan budaya.
ADVERTISEMENT
1.Pendidikan sebagai Alat Perlawanan
Orang tua Hidjo mengirimnya ke Belanda untuk menunjukkan bahwa pribumi juga mampu mencapai derajat tinggi melalui pendidikan. Hal ini tercermin dalam percakapan berikut:
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan bahwa ayah Hidjo bukan hanya seorang ayah yang ingin anaknya sukses, tetapi juga seseorang yang sadar akan ketidakadilan sosial dan ingin memperjuangkan kesetaraan melalui pendidikan. Ia melihat bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengubah nasib dan menentang sistem yang menindas, baik yang dibuat oleh penjajah maupun yang dilanggengkan oleh sesama pribumi.
2. Perlawanan melalui Pendidikan
Hidjo dikirim ke Belanda untuk belajar, yang pada saat itu merupakan langkah radikal. Pendidikan dianggap sebagai senjata untuk melawan ketertinggalan pribumi yang dibuat oleh kolonial. Hidjo ingin membuktikan bahwa orang Jawa mampu bersaing dengan orang Belanda.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan bahwa tindakan ayah Hidjo bukan sekadar ambisi pribadi, tapi merupakan bentuk perlawanan diam terhadap sistem kolonial yang tidak adil. Ia ingin membuktikan bahwa melalui pendidikan dan keberanian, pribumi juga pantas dihormati dan diakui sebagai manusia yang setara.
3. Perlawanan terhadap Rasisme
Hidjo mengalami langsung perlakuan diskriminatif dari orang-orang Belanda yang menganggap dirinya lebih rendah. Namun ia tidak membalas dengan kekerasan, melainkan menunjukkan harga diri dan kecerdasannya.
Kutipan ini menggambarkan bentuk nyata dari ketidakadilan dan penghinaan dalam sistem kolonial, di mana pencapaian seseorang dari bangsa jajahan masih dianggap tidak berarti hanya karena asal-usulnya. Ucapan Anna menjadi simbol dari bagaimana kekuasaan kolonial juga berlangsung dalam bentuk verbal dan psikologis — lewat hinaan dan pelecehan yang terus-menerus merendahkan bangsa pribumi.
ADVERTISEMENT
4.Menerima dan Menghormati Kebudayaan Barat dengan Bijak
Hidjo menunjukkan sikap menghormati kebudayaan Barat tanpa kehilangan identitas pribumi. Contohnya, saat berjalan dengan dua wanita Belanda, ia mengikuti adat Eropa dengan berjalan di tengah, meskipun ia merasa tidak nyaman dengan kebebasan yang ditunjukkan:
Kutipan ini menunjukkan identitas ganda yang dimiliki oleh Hidjo — sebagai pelajar modern yang terdidik dalam sistem kolonial, namun tetap memegang nilai-nilai budayanya sendiri. Ia mampu hidup di dunia Barat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai orang Jawa. Ini adalah bentuk perlawanan yang elegan terhadap kolonialisme budaya, yang sering berusaha membuat bangsa jajahan melupakan akar dan budayanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kritik Kolonialisme Tokoh Utama (Hijdo)
Dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, tokoh utama, Hidjo, berfungsi sebagai representasi dari kritik terhadap kolonialisme melalui berbagai aspek kehidupan pribumi yang tergolong dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda pada masa itu. Kritik ini tidak dilakukan secara terang-terangan dengan kekerasan, melainkan melalui pendidikan, pemikiran kritis, serta sikap yang menolak penjajahan secara halus. Berikut adalah cara-cara kritik kolonialisme yang dilakukan lewat tokoh Hidjo:
1. Pendidikan sebagai Senjata untuk Mengkritik Kolonialisme
Hidjo dikirim oleh ayahnya untuk belajar ke Belanda, sebuah langkah yang menantang pandangan kolonial pada waktu itu yang merendahkan kemampuan pribumi. Pendidikan dianggap sebagai jalan untuk membuktikan bahwa orang pribumi bisa sejajar dengan bangsa penjajah. Ayah Hidjo mengirimnya ke Belanda dengan harapan bahwa pendidikan tinggi akan mengubah persepsi orang-orang yang merendahkan pribumi.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan bagaimana pendidikan menjadi alat untuk mematahkan pandangan kolonial yang menganggap orang pribumi lebih rendah. Ini adalah bentuk perlawanan intelektual terhadap ideologi kolonial yang mendiskreditkan kemampuan pribumi.
2. Melawan Stereotip Pribumi yang Dicap Bodoh
Sepanjang novel, Hidjo menghadapi berbagai bentuk diskriminasi rasial yang mencoba merendahkan dirinya hanya karena asal-usulnya sebagai orang Jawa. Dalam interaksi dengan orang-orang Belanda, terutama dalam percakapan dengan tokoh bernama Anna, Hidjo sering dihina karena status sosial dan rasnya.
ADVERTISEMENT
Namun, Hidjo tidak terpancing emosi dan tetap tenang, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara ras dan kecerdasan. Hidjo, meskipun seorang pribumi, mampu belajar dan berprestasi setara dengan orang Belanda. Dalam hal ini, Hidjo menggugat pandangan rasis yang merendahkan pribumi, dan ini adalah kritik langsung terhadap ideologi kolonial yang menganggap bangsa jajahan tidak mampu berkembang.
4. Kesadaran Kelas dan Ketidaksetaraan Sosial
Hidjo juga menghadapi ketidakadilan sosial yang dipicu oleh sistem kasta yang ada dalam masyarakat kolonial. Ayah Hidjo, yang seorang saudagar, merasa dipandang rendah oleh para pegawai kolonial. Meskipun pribumi yang bekerja di bawah pemerintahan Belanda mendapat status lebih tinggi, mereka tetap merasa terpisah dari sesama pribumi yang tidak menjadi bagian dari sistem pemerintahan kolonial.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan ketimpangan kelas yang tercipta karena penjajahan dan bagaimana sesama pribumi ikut saling merendahkan. Melalui kisah ini, Hidjo dan ayahnya mengkritik struktur sosial yang diatur oleh kolonialisme, di mana bangsa jajahan terbagi dalam kelas-kelas yang tidak setara meskipun mereka berasal dari bangsa yang sama.
5. Penggunaan Pendidikan untuk Mewujudkan Kesetaraan
Di sisi lain, ayah Hidjo berusaha menantang struktur sosial kolonial dengan mengirimkan anaknya untuk menuntut ilmu di Belanda. Hal ini bukan hanya untuk memberikan Hidjo kesempatan pribadi, tetapi juga sebagai pernyataan bahwa orang pribumi bisa belajar setinggi bangsa penjajah dan membuktikan bahwa semua manusia setara, terlepas dari status sosial atau rasnya.
ADVERTISEMENT
Ini menggambarkan bahwa pendidikan adalah alat untuk menanggalkan pembatas-pembatas sosial yang dibangun oleh penjajahan. Ayah Hidjo ingin memperlihatkan bahwa setiap orang, tidak peduli latar belakangnya, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk maju.
Melalui tokoh Hidjo, Mas Marco Kartodikromo mengungkapkan kritik yang sangat tajam terhadap kolonialisme, baik dalam bentuk diskriminasi rasial, ketidakadilan sosial, maupun upaya penjajahan budaya. Hidjo tidak hanya melawan dengan senjata, tetapi lebih dengan pendidikan, sikap kritis, dan kesadaran diri. Hidjo menjadi simbol dari kaum terpelajar pribumi yang menuntut hak setara di hadapan bangsa penjajah dan kritik terhadap struktur sosial yang tidak adil.
Dilema Tokoh Utama (Hidjo) antara Urusan Pribadi dengan Perjuangan Nasional
ADVERTISEMENT
Dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, dilema antara urusan pribadi dan perjuangan nasional menjadi salah satu tema yang signifikan bagi tokoh utama, Hidjo. Sebagai seorang pemuda pribumi yang terpelajar, Hidjo harus menghadapi konflik antara tanggung jawab pribadi terhadap keluarga dan tugasnya sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Dilema ini menggambarkan betapa sulitnya memilih antara kepentingan individu dan perjuangan kolektif untuk bangsa.
1. Konflik antara Pendidikan dan Kewajiban Sosial
Selain dilema cinta, Hidjo juga menghadapi konflik antara pendidikan yang ia jalani di Belanda dan kewajiban sosialnya untuk berkontribusi dalam perjuangan Indonesia. Sebagai seorang pelajar yang terdidik di Eropa, Hidjo berada dalam posisi yang menguntungkan untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Namun, ia juga merasa bahwa pendidikannya di Belanda sering kali membawa pertanyaan moral, apakah ia cukup melakukan hal yang benar untuk tanah airnya.
ADVERTISEMENT
2. Dilema Antara Kepentingan Pribadi dan Kepentingan Bangsa
Di satu sisi, Hidjo merasa bahwa pendidikan yang ia peroleh di Belanda akan membawa dampak besar bagi perubahan sosial dan politik di Indonesia. Namun, di sisi lain, ia merasa terisolasi dari perjuangan langsung, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perjuangan di tanah air. Ini menambah dilema batin yang dihadapinya — antara kepentingan pribadi untuk maju dalam kehidupan dan kepentingan nasional yang menuntut pengorbanan pribadi demi kebaikan bersama.
Hubungan Asmara Para Tokoh dengan Latar Perjuangan
Dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, hubungan asmara tokoh utama, Hidjo, dengan latar perjuangan bangsa menjadi salah satu elemen penting yang menggambarkan konflik identitas dan dinamika sosial pada masa kolonial. Melalui kisah cinta segi empat antara Hidjo, Raden Ajeng Biroe, Betje, dan Woengoe, Mas Marco menggambarkan bagaimana perasaan pribadi berinteraksi dengan perjuangan kolektif bangsa.
ADVERTISEMENT
1. Asmara sebagai Cermin Konflik Identitas
Hidjo, yang dijodohkan dengan Raden Ajeng Biroe, bertolak ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Di sana, ia terlibat dalam hubungan asmara dengan Betje, seorang gadis Belanda. Meskipun demikian, ia tetap mempertahankan komitmennya terhadap Biroe. Kisah ini mencerminkan konflik antara perasaan pribadi dan tanggung jawab terhadap keluarga serta bangsa.
2. Perjuangan Melalui Pendidikan
Pendidikan menjadi sarana bagi Hidjo untuk meningkatkan derajat keluarganya. Orang tuanya berharap bahwa dengan pendidikan di Belanda, Hidjo dapat mengangkat martabat keluarga dan membuktikan bahwa orang pribumi juga mampu berprestasi. Namun, di tengah perjuangan tersebut, Hidjo harus menghadapi godaan dan tantangan yang menguji integritasnya.
3. Kembali ke Tanah Air
Setelah mengalami berbagai peristiwa dan konflik batin, Hidjo memutuskan untuk kembali ke tanah air dan menikahi Woengoe, gadis dari keluarga priyayi. Keputusan ini mencerminkan kembalinya Hidjo kepada identitas dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari perjuangan bangsa.
ADVERTISEMENT
Melalui kisah asmara yang kompleks ini, Mas Marco Kartodikromo berhasil menggambarkan bagaimana hubungan pribadi dapat terjalin erat dengan perjuangan kolektif bangsa, serta bagaimana individu menghadapi dilema antara perasaan dan tanggung jawab sosial.
Mengajak Pembaca Berpikir Kritis Tentang Karakteristik Tokoh Utama (Hidjo)
Dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, tokoh utama, Hidjo, digambarkan sebagai individu yang cerdas, berpendidikan, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Melalui karakter Hidjo, penulis mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang identitas, budaya, dan perjuangan bangsa di tengah dominasi kolonial.
1. Kesadaran Sosial dan Keinginan untuk Meningkatkan Derajat
Hidjo berasal dari keluarga saudagar yang merasa dipandang rendah oleh masyarakat kolonial. Orang tuanya mengirimnya ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan, berharap ia dapat mengangkat derajat keluarga dan membuktikan bahwa pribumi juga mampu berprestasi. Seperti yang diungkapkan oleh ayahnya
ADVERTISEMENT
2. Kesetiaan terhadap Nilai Budaya
Meskipun terpapar budaya Barat, Hidjo tetap setia pada nilai-nilai budaya Jawa. Ia menghormati perempuan dan menjaga perilaku sopannya, seperti yang digambarkan dalam novel:
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan karakter dan prinsip moral tokoh Hidjo dalam novel Student Hidjo. Meskipun Hidjo berada di lingkungan budaya Barat yang lebih bebas—terutama dalam hal pergaulan antara laki-laki dan perempuan—ia tetap berusaha menjaga batas dan sopan santun sesuai dengan nilai-nilai yang dia pegang sebagai orang Jawa.
3. Refleksi terhadap Pendidikan dan Kembali ke Tanah Air
Setelah menuntut ilmu di Belanda, Hidjo menyadari bahwa kembali ke tanah air adalah langkah terbaik. Ia ingin menerapkan ilmu yang didapat untuk kemajuan bangsanya. Seperti yang tercermin dalam kutipan berikut
Kutipan ini mengandung makna nasionalisme, tanggung jawab sosial, dan kesadaran identitas. Dalam konteks novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, kutipan ini mencerminkan pesan penting bahwa ilmu dan pengalaman yang didapat dari luar negeri seharusnya dibawa pulang untuk membangun tanah air, bukan sekadar untuk kepentingan pribadi atau hidup nyaman di negeri orang.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo merupakan karya sastra perintis yang menyuarakan semangat kebangsaan dan kesadaran identitas di tengah kuatnya dominasi kolonial. Melalui tokoh Hidjo, seorang pemuda pribumi yang menimba ilmu di Belanda, novel ini menghadirkan berbagai konflik sosial dan budaya yang mencerminkan realitas masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Mas Marco dengan tajam mengangkat tema pertemuan budaya Timur dan Barat, ketimpangan sosial antara kaum bumiputra dan penjajah, serta tantangan yang dihadapi generasi muda dalam mempertahankan jati diri di tengah arus modernisasi. Di balik kisah asmara dan pendidikan, terselip pesan moral yang kuat tentang pentingnya tanggung jawab, integritas, dan semangat untuk kembali membangun tanah air.
Pada akhirnya, Student Hidjo tidak hanya menyajikan narasi fiksi, tetapi juga menjadi media kritik sosial dan perlawanan halus terhadap kolonialisme. Novel ini mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang pendidikan, budaya, dan peran pemuda dalam perjuangan bangsa. Karya ini layak diapresiasi sebagai bagian penting dari sejarah sastra pergerakan Indonesia.
ADVERTISEMENT
.
.
.
Objek Kajian
Kartodikromo, Mas Marco. Student Hidjo. Yogyakarta: Penerbit Narasi. 2022.