Konten dari Pengguna

Kekerasan Seksual di Sekolah, Apa Yang Salah Dalam Materi Pendidikan Agama?

Balqis Nada' Melfirosha
Saya Balqis Nada' Melfirosha, mahasiswa S2 PAI UPI.
24 Oktober 2024 17:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Nada' Melfirosha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto dari Balqis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto dari Balqis
ADVERTISEMENT
Fakta dan Data tentang kekerasan seksual di Indonesia
Salah satu kasus yang sangat populer dilingkungan pendidikan saat ini adalah kasus kekerasan seksual pada anak dibawah umur. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim menyebut kasus ini “darurat” karena tindakan kekerasan seksual anak di satuan pendidikan terus terulang dengan tren meningkat.
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas lebih dalam, penulis ingin mengutip peluncuran catatan tahunan(CATAHU) yang dipublikasikan setiap memperingati Hari Perempuan Internasional tahun 2024. Hasil data kasus yang dilaporkan dan ditangani komnas berasal dari lembaga layanan Masyarakat Sipil dan Pemerintah(pusat dan daerah), Badan Peradilan Agama(Badilag), rumah sakit, pengadilan, kepolisian dan lembaga lain mencatat kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2023 terjadi sebanyak 289.111. Data ini lebih sedikit dibandingkan jumlah kekerasan seksual tahun 2022 sebanyak 338.496. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat setidaknya terjadi 101 korban kekerasan seksual di satuan pendidikan dari Januari hingga Agustus 2024. Adapun sepanjang 2023, jumlahnya tercatat dua kali lipat, yakni 202 anak. Menurutnya kasus kekerasan seksual meningkat karena sanksi oknum yang diberikan ringan sehingga kurang menimbulkan efek jera.
ADVERTISEMENT
Karakteristik pelaku kekerasan seksual dan regulasi kebijakan
Karakteristik tren korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan masih sama, yaitu korban lebih muda atau lebih rendah tingkat pendidikannya daripada oknum. Hal ini menunjukan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Disisi lain, laporan kasus kekerasan seksual lebih banyak dilaporkan dibanding kasus pemerkosaan.
Regulasi Kebijakan tugas guru di Satuan Pendidikan telah dituangkan dalam UU No.14 tahun 2005 bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Adanya aturan tentang guru membawa harapan bahwa Indonesia negara hukum telah mengatur dan memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar aturan. Namun, regulasi kebijakan nyatanya belum mampu memberikan rasa takut kepada pelaku kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Kesalahan fatal mata pelajaran agama disekolah dan upaya memperbaikinya
Penulis mencoba menganalisa berdasarkan fakta dilapangan bahwa kebanyakan sekolah masih sangat cenderung menilai proses keberhasilan belajar dengan tolak ukur pengetahuan. Sekolah lesu dalam penekanan karakter peserta didik. Sehingga keilmuan hanya sebatas teori tanpa diimbangin praktis. Meskipun menerapkan pendidikan agama masih sulit seiring dengan tantangan dunia mulai dari kebebasan akses informasi, meniru role model yang salah, dan faktor latar belakang keluarga, sudah semestinya pembelajaran pendidikan agama mampu melaksanakan nilai-nilai agama untuk dibawa dikehidupan sehari-hari.
Untuk itu, guru bisa mengupayakan beberapa cara memperbaiki pembelajaran pendidikan agama sebagai berikut: Pertama, lakukan pendekatan teori dan praktek dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama sehingga tidak sebatas pengetahuan saja, namun mampu membawa nilai moral dan etika agama dalam kehidupan. Harapannya, pendidikan agama dapat menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan kesucian. Pendekatan secara teori dan praktek harus sesuai dengan usia peserta didik dan berikan edukasi yang mencakup dampak fisik, psikologis, serta spiritual dari kekerasan seksual. Kedua, hilangkan konsep tabu dalam membahas pendidikan seksual agar peserta didik tidak mencari sumber yang salah. Berikan edukasi mengenai bahaya dan dampak seks, baik dari segi kesehatan, moral, sosial, maupun agama. Siswa perlu diajari tentang konsekuensi serius seperti kehamilan di luar nikah, penyakit menular seksual, dan beban moral yang timbul. Ketiga, tekankan pada pembinaan karakter dan pengawasan agar terhindar dari pengaruh negatif lingkungan. Hal ini bisa dilakukan dengan kegiatan pembinaan dan pendekatan personal pelajar. Keempat, komunikasikan pengawasan dan pembinaan orangtua di lingkungan keluarga agar dapat mencontohkan pendidikan moral dan agama di rumah sehingga dapat memberikan perilaku dan pengaruh baik pada anak. Apabila pelajar tidak memiliki orangtua, coba bangun komunikasi dengan kerabat terdekat. Dan yang terakhir, lakukan kampanye atau seminar tentang pentingnya menjaga pergaulan, bahaya seks bebas, serta pentingnya nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari, bisa dengan cara melibatkan alumni atau tokoh agama sebagai pembicara yang dapat memberikan pengaruh positif.
ADVERTISEMENT
Menghadapi fenomena kekerasan seksual bukan hanya tanggung jawab guru pendidikan agama saja, tetapi juga tugas kita bersama sebagai orangtua dan warga negara Indonesia. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bertumbuh peserta didik, kini menjadi tempat di mana terjadi kekerasan seksual. Hal ini sangat meresahkan karena pelaku tidak jarang dari guru, siswa atau bahkan staf pendidikan. Salah satu potensi mudahnya kekerasan seksual yaitu pembelajaran tidak menekankan pada aspek sikap peserta didik dan kurangnya edukasi seputar seksualitas yang sehat dan secara hormat. Padahal dengan memberikan edukasi yang sehat, mereka dapat memahami batas-batas sosial untuk melindungi diri dan menghormati oranglain.
Tips menjaga diri dari kekerasan seksual di lingkungan pendidikan
Menurut Psikolog Sosial asal Solo, Hening Widyastuti, cara untuk menjaga diri dari potensi pelecehan seksual bisa dengan cara mengubah jati diri menjadi pemberani dan laporkan persoalan kepada pihak sekolah. Selain itu, konsep awal penanaman karakter bukan dimulai sejak anak belajar disekolah. Namun permulaan konsep penanaman nilai-nilai moral dan agama berawal dari peran orangtua, keluarga, sekolah, dan lingkungan untuk membentengi generasi muda dari perilaku yang merugikan masa depan.
ADVERTISEMENT