Analisis Perilaku Misoginis dan Pajak Gender Melalui Tren Gamis Shimmer

Balqis Sulistiyani
Sedang menempuh pendidikan S1, Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas Andalas, Padang. Berkegiatan aktif sebagai Public Relations and Community Engagement AIESEC in Unand 2024.
Konten dari Pengguna
23 April 2024 9:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Sulistiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebulan setelah peringatan Hari Perempuan Internasional, fenomena olokan dan candaan terhadap gamis shimmer tiba-tiba muncul di sosial media di perayaan lebaran Idul Fitri 2024 ini. Menariknya, ibu-ibu atau kaum perempuan dikenal “totalitas” di saat hari besar dalam penampilan, seperti saat lebaran. Lucunya, salah satu video di Tiktok yang memperlihatkan bagaimana para ibu berbondong-bondong memilihkan baju shimmer ini sebagai baju lebaran untuk anak gadisnya. Namun yang menjadi sasaran komentar di sosial media tersebut adalah ekspresi wajah dari anak-anak tersebut saat sedang try-on dan suara ibu-ibu “yeaa.. shimmer, shimmer” yang melatarbelakangi video tersebut. Shimmer adalah pakaian berbahan sutra dengan permukaan mengkilat. Bahan ini menambah kilap pada pakaian, terutama bila dikenakan di luar ruangan.
Gambar: Kain berbahan silk yang juga berkilau dan sudah tren dari dulu jug ramai dijual di pasaran. (Dokumen pribadi)
Adapun, di video-video lain yang beredar, beberapa user perempuan mengaku mengalami hal yang menjengkelkan, dimana ia mengenakan pashmina atau baju berbahan silk disaat lebaran 2024 lalu diejek dan diolok memakai outfit berbahan shimmer. Padahal jelas kain silk dan kain shimmer memiliki tekstur yang berbeda, sebab keduanya adalah bahan yang berbeda pula.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia fashion yang terus berubah dan berkembang, tren baju shimmer Lebaran tahun ini menjadi salah satu fenomena yang menarik perhatian. Tren ini mencerminkan dan mempengaruhi persepsi sosial terhadap gender dan femininitas. Fenomena ini tidak lepas dari peran wanita sebagai subjek yang hanya peduli terhadap fashion dan visual, sehingga dinilai "berlebihan" oleh segelintir orang.
Tren gamis shimmer Lebaran juga mencerminkan bagaimana sosial dan budaya dipengaruhi serta mempengaruhi cara kita berpakaian. Dalam konteks ini, tren baju shimmer Lebaran menjadi perwakilan dari misoginis, atau pandangan negatif terhadap wanita, yang terkandung dalam banyak aspek kehidupan sosial, termasuk fashion. Misoginis dalam tren ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari bagaimana baju shimmer dirancang untuk menarik perhatian dan memikat, hingga bagaimana tren ini mungkin mempromosikan stereotip femininitas yang dianggap sebagai "lebih lemah" atau "kurang serius" atau “heboh” dibandingkan dengan gaya pakaian pria yang lebih "maskulin" atau "profesional" di perayaan hari besar.
ADVERTISEMENT
Mungkin sudah sering kita mendengar argumen bahwa perempuan lebih boros dibandingkan laki-laki. Dimana salah satu pembelaan terhadap argumen tersebut adalah karena laki-laki lebih “selow” dan simple dibandingkan perempuan yang lebih ribet dalam merawat diri. Jelas, argumen dan pandangan ini seksis. Padahal sejak bayi perempuan lahir, hal yang terus dibahas terkait perkembangannya adalah penampilan fisiknya saja. Sehingga, topik yang sering jadi pembicaraan kelompok perempuan dari remaja hingga dewasa berputar di kecantikan dan fashion, serta entertainment. Seolah, perempuan tidak seharusnya dan tidak bisa juga mempelajari, memahami, serta membahas topik atau keilmuan yang lain. Sistem inilah juga yang membuat wanita hidup dalam belenggu kecantikan yang harus ia penuhi selama hidup.
Selain itu, peran media juga akhirnya turut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap wanita. Banyak iklan yang menampilkan wanita dengan penampilan sempurna dan menarik secara visual, sehingga memunculkan anggapan bahwa menjadi cantik dan menarik secara visual adalah hal yang paling penting bagi seorang wanita. Padahal, seharusnya wanita lebih dihargai atas prestasi dan kualitasnya, bukan hanya penampilannya. Ironinya, sampai ketika perempuan mencoba untuk terus meningkat penampilannya, contohnya pada tren baju lebaran ini, juga diolok karena usahanya tersebut. Perempuan yang tidak ingin memakai make-up, dianggap tidak bisa mengurus diri. Namun, perempuan yang hobi memakai make-up, dianggap ingin jadi pusat perhatian atau bahkan dinilai mau menggoda laki-laki oleh sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, fakta bahwa perempuan memang dipaksa untuk membayar lebih mahal demi berbagai produk dan jasa yang dipasarkan untuk mereka mungkin tidak dilihat oleh sebagian orang. Fenomena ini disebut dengan istilah pink tax, atau pajak gender.
Pink Tax atau pajak gender adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan harga produk dan jasa yang sama persis, namun dijual dengan harga yang lebih tinggi hanya karena ditujukan untuk wanita. Contohnya, harga produk kosmetik dan perawatan kesehatan wanita yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk serupa yang ditujukan untuk pria. Hal ini menunjukkan bahwa wanita harus membayar lebih mahal hanya karena jenis kelaminnya, padahal hak yang mereka terima seharusnya sama dengan pria.
Pink tax bisa terjadi karena kapitalisme. Namun, banyak merek yang menyatakan bahwa perbedaan harga ini disebabkan oleh perbedaan komposisi produk, fungsi, dan efektivitas yang disesuaikan dengan kebutuhan wanita. Namun, kebutuhan akan perawatan diri harus bersifat universal. Ketimpangan ini bisa dilihat dari adanya produk pemutih kulit dan pembersih kelamin perempuan. Padahal, jika menyangkut perbedaan produk perawatan kulit, para ahli mengatakan tidak ada perbedaan signifikan secara ilmiah yang memerlukan pembedaan antara produk pria dan wanita.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, perempuan secara tidak sadar sudah ikut berfikir misoginis ketika mereka memproyeksikan ide-ide seksis yang tidak baik terhadap perempuan lain. Ini adalah fenomena yang disebut internalized misogyny, yakni tindakan ketika perempuan secara tidak sadar memproyeksikan ide-ide seksis yang berasal dari pendirian yang tidak baik terhadap perempuan. Perempuan yang mengalami internalized misogyny dapat mengalami pengalaman yang tidak baik seperti membenci perempuan yang berbeda, membandingkan dirinya dengan perempuan lain, dan mengutuk perempuan yang tidak sependapat dengan mereka. Misoginis ini dapat berasal dari individu yang tidak memiliki pendirian yang baik terhadap perempuan atau dari individu yang memiliki pendirian yang tidak baik terhadap perempuan dan mencoba untuk mengubah perasaan atau pendirian lainnya.
Namun sebagai manusia, baik pria maupun wanita, seharusnya tidak perlu menyalahkan satu sama lain atas pilihan yang kita buat. Kita harus saling mendukung dan memahami bahwa setiap pria dan wanita memiliki hak untuk memilih dan mengekspresikan diri sesuai dengan keinginannya. Jangan biarkan budaya dan sistem yang misoginis dan merendahkan wanita terus menghambat pertumbuhan kualitas dan kemakmuran hidup masyarakat kita. Dengan demikian, kita dapat mengakhiri siklus yang membuat wanita selalu salah di mata masyarakat. Mari kita bersama-sama memperjuangkan kesetaraan dan hak yang sama bagi wanita maupun pria, agar wanita tidak lagi dianggap sebagai objek yang peduli terhadap fashion dan visual saja, tetapi sebagai manusia yang berhak atas kebebasan dan kesetaraan.***
ADVERTISEMENT
Oleh: Balqis Sulistiyani, Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas