Konten dari Pengguna

Dewan Pers & Etika Profesi Jurnalistik: Peran Penting dalam Menegakkan Kode Etik

Balqis Sulistiyani
Sedang menempuh pendidikan S1, Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas Andalas, Padang. Berkegiatan aktif sebagai Public Relations and Community Engagement AIESEC in Unand 2024.
2 November 2024 19:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Sulistiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi di desain sendiri oleh penulis, Balqis Sulistiyani.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi di desain sendiri oleh penulis, Balqis Sulistiyani.
ADVERTISEMENT
Etika profesi jurnalistik menjadi semakin penting di era multimedia, di mana informasi tersebar dengan cepat dan luas. Di era digital saat ini, media sosial telah mengubah cara orang mengakses dan menyebarkan informasi. Siapa pun dapat menjadi penyebar berita melalui platform seperti Facebook dan Twitter, menjadikan informasi lebih mudah diakses dan tidak lagi mahal. Hal ini memungkinkan individu untuk membuat media kreatif sendiri, seperti Creativox dan Folkative, yang menambah keragaman suara di dunia informasi. Namun, dengan kemudahan ini muncul tantangan besar bagi jurnalis. Mereka harus menjaga kredibilitas di tengah banjir informasi, termasuk berita palsu. Tekanan untuk melaporkan dengan cepat sering kali mengorbankan akurasi, sementara individu tanpa latar belakang jurnalistik sering menyebarkan informasi yang tidak terverifikasi. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam tentang etika profesi menjadi krusial bagi para wartawan.
ADVERTISEMENT
Definisi Profesi
Saks (2012) mendefinisikan profesi sebagai suatu kelompok anggota yang diatur dengan kode etik, serta berkomitmen pada kompetensi, integritas, moralitas, dan altruism. Dalam jurnalisme, ini berarti bahwa wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki keterampilan teknis, tetapi juga harus menjalankan tugasnya dengan integritas yang tinggi. Etika profesi jurnalistik menuntut wartawan untuk mematuhi standar moral dan etis, serta berkomitmen untuk menyajikan informasi yang akurat dan bermanfaat bagi publik.
Klasifikasi Etika: Etika Umum dan Etika Sosial
Etika dapat diklasifikasikan menjadi umum dan sosial, di mana etika sosial meliputi etika profesi. Etika profesi berfokus pada norma dan standar yang berlaku dalam bidang tertentu, termasuk jurnalisme. Wartawan diharapkan untuk memahami dan menerapkan etika profesi agar karya jurnalistik yang dihasilkan tidak hanya informatif tetapi juga mencerminkan tanggung jawab sosial. Kode etik jurnalistik menjadi panduan bagi wartawan untuk menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Data Pengaduan Kasus Pers
Dalam lima tahun terakhir, jumlah pengaduan kasus pers yang diterima Dewan Pers mengalami peningkatan signifikan, terutama terhadap media daring yang semakin berkembang. Pada tahun 2023, Dewan Pers mencatat sebanyak 813 kasus pengaduan, di mana 794 kasus (97,66%) berhasil diselesaikan, dengan 45 kasus melalui pernyataan penilaian dan pendapat karena tidak mencapai kesepakatan dalam mediasi. Peningkatan ini menunjukkan bahwa masalah verifikasi dan pemilihan narasumber tetap menjadi isu yang berulang, dengan (97%) pelanggaran dilakukan oleh media daring.
Jenis-jenis pelanggaran yang dilaporkan mencakup tidak melakukan verifikasi (40%), menggunakan sumber yang tidak tepercaya (40%), serta penyebaran informasi yang tidak diuji (20%).
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengingatkan wartawan untuk meningkatkan kompetensi kerja dan mematuhi kode etik jurnalistik, mengingat aduan kasus yang meningkat tetapi dengan jenis yang relatif sama dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Kode Etik Jurnalistik
Di Indonesia, kode etik ini diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang mana di dalamnya terjadian Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disepakati pada 14 Maret 2006 oleh 29 organisasi wartawan dan perusahaan pers, menetapkan pedoman yang harus diikuti setiap wartawan. Beberapa poin penting dalam KEJ mencakup:
ADVERTISEMENT
Pelanggaran kode etik sering terjadi karena jurnalis mengabaikan etika dengan dalih kebebasan pers, tidak memahami pentingnya etika, atau terbiasa dengan praktik tidak etis.
Studi Kasus Pelanggaran Kode Etik: Kasus Arya Wedakarna dan Republika
Kasus ini berawal dari pemberitaan yang dimuat oleh media Republika pada tanggal 1 Januari 2024 dengan judul "Senator Bali Permasalahkan Jilbab, Ibu Iriana Pun Pernah Berjilbab." Pemberitaan tersebut menyoroti pernyataan Arya Wedakarna, mantan anggota DPD RI dari daerah pemilihan Bali, yang dianggap merendahkan wanita yang mengenakan jilbab. Arya merasa dirugikan oleh berita tersebut dan mengajukan gugatan dimana ia menyatakan bahwa berita tersebut adalah fitnah dan melanggar kode etik jurnalistik. Ia meminta ganti rugi sebesar Rp 118 miliar.
ADVERTISEMENT
Namun, Yadi Hendriana, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, memberikan klarifikasi bahwa Dewan Pers tidak pernah mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa pemberitaan Republika mengandung hoaks atau fitnah. Yadi menegaskan bahwa sengketa antara Arya dan Republika sudah selesai dengan dimuatnya hak jawab oleh Republika dan tidak ada pelanggaran kode etik yang ditemukan dalam pemberitaan tersebut.
Pada 2 Februari 2024, Badan Kehormatan DPD RI memutuskan untuk memberhentikan Arya Wedakarna sebagai anggota DPD karena terbukti melanggar sumpah jabatan dan kode etik. Keputusan ini diambil setelah menerima pengaduan dari masyarakat terkait pernyataannya yang dianggap rasis dan merendahkan.
Kesimpulan
Etika profesi jurnalistik merupakan landasan penting dalam menjalankan tugas kewartawanan, terutama di era percepatan informasi & multimedia yang penuh tantangan. Wartawan diharapkan untuk mematuhi kode etik dan meningkatkan kompetensi mereka agar dapat menghasilkan berita yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan menerapkan etika profesi, jurnalis dapat berkontribusi pada informasi yang lebih akurat dan dapat dipercaya, serta menjaga kepercayaan publik terhadap media.
ADVERTISEMENT